Secara umum, janji berarti “hubungan antara dua orang atau lebih yang dinyatakan dengan ucapan atau tulisan dan bersifat mengikat baik secara hukum maupun moral”. Apabila terjadi ikrar perjanjian maka terjalinlah hubungan antara dua orang atau lebih.
Dalam bahasa Arab, janji disebut ‘aqd, ‘ahd, wa‘d, yamin, qasam, dan hilf. Masing-masing kata tersebut mempunyai konotasi yang berbeda. ‘Aqd banyak digunakan dalam hubun gan sosial, seperti dalam urusan transaksi dan hukum kekeluargaan.
‘Ahd dan wa‘d dipakai dalam arti yang lebih umum, mencakup segala bentuk perjanjian, baik dalam hubungan sosial maupun dengan Allah SWT. Yamin, qasam, dan hilf dipakai dalam mengungkapkan janji seseorang terhadap dirinya sendiri dengan Allah SWT sebagai saksi. Janji seperti ini disebut sumpah.
Janji mempunyai tiga unsur, yaitu adanya: (1) dua pihak yang melakukan perjanjian, (2) ikrar perjanjian, dan (3) sesuatu yang dijanjikan.
Adapun syarat sahnya suatu perjanjian secara umum adalah sebagai berikut:
(1) dilakukan secara sadar;
(2) kandungan perjanjian dilakukan dalam hal yang sesuai dengan hukum; oleh sebab itu, tidak sah melakukan janji untuk menjual harta orang lain atau harta wakaf;
(3) tidak bertentangan dengan ketentuan syarak; dan
(4) memenuhi syarat khusus yang diperlukan, seperti perlunya saksi dalam perjanjian perkawinan.
Perjanjian yang telah diikrarkan boleh dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak atau salah satu pihak meninggal dunia. Janji yang telah diikrarkan tidak boleh diingkari. Hukum menepati janji adalah wajib, sesuai dengan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu janji-janji itu” (QS.5:1) dan “…penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS.17:34).
Rasulullah SAW memandang janji yang telah diikrarkan sebagai utang, seperti sabdanya yang diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunia dan ad-Dailami: “Janji itu laksana utang atau bahkan lebih berat dari itu.”
Seterusnya, Rasulullah SAW memandang mengingkari janji sebagai salah satu tanda kemunafikan, sebagaimana sabdanya, “Tanda orang munafik ada tiga yaitu: apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mungkir, dan apabila dipercayai khianat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di samping janji antara sesama manusia, terdapat pula janji Allah SWT terhadap manusia, yang disebut dalam istilah ilmu kalam dengan al-wa‘d wa al-wa‘id. Al-Wa‘d ialah janji Allah SWT untuk memberikan ganjaran kebaikan terhadap hamba-Nya yang berbuat baik dan al-wa‘id ialah janji Allah SWT untuk memberikan azab terhadap hamba-Nya yang berbuat jahat.
Kedua bentuk janji tersebut merupakan dasar ketiga dari lima dasar kepercayaan kaum Muktazilah. Al-Wa‘d wa al-wa‘id ini berkaitan erat dengan keadilan Allah SWT. Allah SWT akan dipandang tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi ganjaran kebaikan terhadap orang yang berbuat baik dan memberi azab terhadap orang yang berbuat jahat. Jika tidak melaksanakan janji-Nya, berarti Allah SWT bersifat dusta.
Keadaan tidak menepati janji bertentangan dengan kemaslahatan dan kepentingan manusia. Oleh sebab itu, menepati janji wajib bagi Allah SWT. Allah SWT mempunyai kewajiban untuk memasukkan orang yang berbuat baik ke dalam surga dan memasukkan orang berbuat jahat ke dalam neraka. Inilah yang disebut adil.
Pandangan kaum Muktazilah di atas berbeda dengan pandangan kaum Asy‘ariyah. Bagi kaum Asy‘ariyah, Allah SWT tidak wajib menepati janji-Nya terhadap siapa pun karena kekuasaan Allah SWT bersifat mutlak. Allah SWT bebas dari segala kewajiban. Allah SWT berbuat sekehendak-Nya sesuai dengan qudrah (kekuasaan)-Nya yang mutlak.
Allah SWT dapat memasukkan orang jahat ke surga atas karunia-Nya. Sebaliknya, Allah SWT dapat pula memasukkan orang baik ke neraka karena kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.
Jika Allah SWT memasukkan orang jahat ke surga dan orang baik ke neraka, Allah SWT tetap dipandang bersifat adil karena itu adalah hak-Nya. Manusia tidak dapat menjangkau hakikat keadilan Allah SWT. Manusia hanya dapat melihat sesuatu dalam ruang lingkup yang amat terbatas.
Di luar dari kedua pandangan di atas terdapat pula pandangan kaum Maturidiyah Bukhara. Bagi mereka, Allah SWT tidak mungkin melanggar janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Sebaliknya, bukan tidak mungkin Allah SWT membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
Sebab itu, nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Allah SWT. Jika Allah SWT berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang melakukan dosa, Allah SWT akan memasukkannya ke dalam surga, dan jika berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya, niscaya Ia akan memasukkannya ke dalam neraka buat sementara atau selama-lamanya.
Allah SWT hanya berkewajiban menunaikan al-wa‘d, teta-pi tidak wajib menunaikan al-wa‘id. Pandangan demikian, dilandasi kehendak kaum Maturidiyah untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak Allah SWT dan sekaligus keadilan-Nya.
Mengatakan bahwa Allah SWT dapat memasukkan orang baik ke dalam neraka bertentangan dengan rasa keadilan. Tetapi mengatakan bahwa Allah SWT berkuasa memasukkan orang jahat ke dalam surga tidaklah bertentangan dengan rahmat Allah SWT.
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang memberikan janji pa-hala terhadap orang yang berbuat baik dan janji ancaman terhadap orang yang berbuat jahat. Dalam berbicara tentang kejahatan, Al-Qur’an senantiasa mengaitkannya dengan neraka; sebaliknya, dalam berbicara tentang kebaikan senantiasa pula mengaitkannya dengan surga.
Di antara ayat yang berbicara tentang janji pahala bagi orang yang berbuat baik adalah surah ar-Rahman (55) ayat 60, surah an-Nisa’ (4) ayat 144, dan surah Taha (20) ayat 112. Ayat yang berbicara tentang janji ancaman antara lain adalah surah an-Nisa’ (4) ayat 123, surah as-Sajdah (32) ayat 20, dan surah Fusiilat (41) ayat 27–28.
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Ibnu Ahmad, Abdul Jabbar. Syarh Usul al-Khamsah. Cairo: Maktabah Wahbah, 1965.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Yunasril Ali