Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah seorang pelopor pembaruan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-20 dan ahli ilmu falak terkemuka. Ia keturunan penghulu dan masih berdarah bangsawan. Ayahnya, Saleh Datuk Maleka, adalah seorang kepala nagari Kurai, dan ibunya berasal dari Sunda.
Syekh Muhammad Jamil Jambek mengawali pendidikan dasarnya pada Sekolah Rendah yang mempersiapkan para pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Pada usia 22 tahun, ia mulai tertarik pada agama. Pada 1896 ia dibawa ayahnya ke Mekah dan belajar di sana sampai 1903.
Pada awalnya, di Mekah ia berusaha mendalami ilmu sihir. Akan tetapi Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, gurunya, berhasil menyadarkan dan menginsafkannya. Dari Syekh Ahmad Khatib inilah ia banyak menimba ilmu agama Islam di Mekah.
Selama berada di Mekah, ia mempelajari tarekat secara mendalam dan memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut ia menjadi ahli dalam bidang tarekat dan bahkan memiliki ijazah dari Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah.
Ilmu yang didalaminya dan membuatnya terkenal di kemudian hari adalah ilmu falak. Dalam bidang ini ia sempat pula mengajar para penuntut ilmu dari Sumatera Barat yang belajar ke Mekah, antara lain Ibrahim Musa Parabek (pendiri Perguruan Thawalib Parabek) dan Abbas Abdullah (pendiri Perguruan Thawalib Padangpanjang).
Sepulang dari Mekah, ia mulai mengajar mengaji. Ia mengajar sekitar masalah tauhid. Muridnya kebanyakan adalah guru tarekat, karena itu ia dihormati sebagai seorang syekh tarekat. Namun Syekh Muhammad Jamil Jambek tidak senang dengan keadaan itu. Hatinya tertarik kembali untuk menyebarkan pengetahuannya walaupun tidak melalui suatu lembaga yang terorganisasi.
Pusat perhatiannya terutama tertuju pada usaha untuk meningkatkan iman seseorang. Untuk itu, pada 1918 ia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang, yang keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek.
Di Sumatera Barat, Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah orang yang pertama kali memperkenalkan cara bertabligh di muka umum. Barzanji atau marhaban (lagu puji-pujian) yang biasanya dibaca di surau pada waktu memperingati maulid (hari lahir) Nabi Muhammad SAW digantinya dengan tabligh yang menceritakan riwayat lahirnya Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Melayu.
Begitu pula kebiasaan membaca riwayat isra mikraj Nabi Muhammad SAW dari kitab berba-hasa Arab digantinya dengan tabligh yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu yang dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tradisi membaca kitab digantinya dengan membahas masalah hidup sehari-hari. Hal tersebut dilakukan karena, menurutnya, agama itu hanya diperuntukkan bagi siapa yang dapat memahaminya.
Sejalan dengan langkah pembaruannya tersebut, Syekh Muhammad Jamil Jambek tidak menyukai tarekat. Pada 1905 di Bukit Surungan, Padangpanjang, diadakan pertemuan ulama untuk membicarakan keabsahan tarekat.
Syekh Muhammad Jamil Jambek hadir dalam pertemuan itu. Dalam hal ini ia berdiri di pihak nontarekat berhadapan dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas dari pihak pembela tarekat. Dalam kesempatan itu ia melakukan koreksi total terhadap tarekat.
Di masa selanjutnya, kritiknya terhadap tarekat itu ditulisnya dalam sebuah buku yang diberi judul Penerangan tentang Asal-Usul Thariqatu al-Naqsyabandiyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, yang terdiri dari dua jilid. Dalam buku itu ia menjelaskan bahwa tarekat Naqsyabandiyah dibuat oleh orang India dan Persia, orang yang negerinya penuh takhayul dan khurafat, yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Meskipun demikian, tidak seperti Syekh Ahmad Khatib, ia tidak bersikap memusuhi adat Minangkabau secara terbuka. Pada 1929, bersama pembesar masyarakat yang lain, ia membentuk satu organisasi yang diberi nama Persatuan Kebangsaan Minangkabau.
Tujuannya ialah memelihara, menghargai, dan mencintai adat yang baik; memelihara serta mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang menghalangi dan merusaknya; mengusahakan agar seluruh putra-putri Minangkabau mencintai dan menghargai agama Islam; dan memajukan pendidikan, pengajaran, pertukangan serta memelihara kekayaan alam Minangkabau termasuk adatnya.
Syekh Muhammad Jamil Jambek sendiri duduk sebagai salah seorang pengurus. Ia juga menghadiri Kongres Pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (15–19 Maret 1939).
Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah seorang yang aktif berorganisasi. Sekitar 1913 di Bukittinggi ia mendirikan Samaratul Ikhwan, sebuah organisasi yang bersifat sosial. Melalui organisasi ini ia menerbitkan kitab kecil dan brosur tentang pelajaran agama.
Pada 1921 ia menjadi pengurus Organisasi Kombinasi Minangkabau. Ia adalah pendiri dan anggota pengurus Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI), yang berdiri dan tumbuh di Sumatera Barat. Ia juga seorang aktivis Komite Permusyawaratan Ulama Minangkabau yang memprotes Ordonansi Guru.
Ketika Sumatra Thawalib berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PMI, 1930), Syekh Muhammad Jamil Jambek duduk sebagai penasihat. Ia pernah menguraikan bahwa faktor ekonomi rakyat perlu mendapat perhatian serius. Untuk ini ia mengusulkan terbentuknya koperasi dan mengimbau semua orang bekerjasama dalam koperasi untuk menghidupkan kegiatan Dewan Perusahaan PERMI (PMI yang sudah berpolitik).
Pada masa pendudukan Jepang, ia bersama Syekh Daud Rasyidi mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) yang berpusat di Bukittinggi untuk mengimbangi usaha Jepang yang membentuk Komite Rakyat yang berpusat di Padang.
Ia juga membentuk barisan pemuda Sabilillah yang langsung dipimpinnya sendiri untuk mencegah tindakan semena-mena Jepang terhadap rakyat. Meskipun demikian, ia juga dilibatkan Jepang dalam Kerukunan Minangkabau, organisasi yang dibentuk Jepang.
Ia juga menjadi anggota Hookokai, organisasi pembela pejuang yang dibentuk Jepang (1944) untuk membantu usaha mobilisasi umum guna memenang-kan perang. Karena berpengaruh besar di kalangan rakyat, ia diberi pangkat Penasihat Agama Gunseikanbu. Setelah Indonesia merdeka, MIT meleburkan diri ke dalam Masyumi.
Syekh Muhammad Jamil Jambek tidak banyak menulis. Kritik terhadap tarekat ditulisnya dalam buku yang berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat, yang ditulis dalam usaha mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Selain itu ia juga menulis beberapa artikel dalam majalah al-Munir.
Ia dikenal sebagai orang yang lebih banyak bergerak dalam kegiatan tabligh dan ceramah. Melalui tabligh dan ceramahnya, ia menyebarkan usaha pembaruannya, mem bantah paham tarekat, dan menyerang takhayul, khurafat, dan bid’ah.
Sebagai ahli falak, ia juga aktif menyebarluaskan pemakaian hisab dalam menyusun jadwal waktu salat dan penentuan awal Ramadan dan Syawal. Jadwal itu diterbitkan tiap tahun atas namanya sendiri sejak 1911.
Daftar Pustaka
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra
Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990.
HAMKA. Ayahku. Jakarta: UMMINDA, 1982.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1980.
Badri Yatim