Secara harfiah, al-jahiliyyah berarti “kebodohan”; menurut istilah berarti “penyembahan berhala (watsaniyyah) di Semenanjung Arabia pra-Islam”. Jahiliah diambil dari kata jahila (bodoh), kebalikan ‘alima (pandai). Istilah jahiliah menggambarkan “masa kebodohan” atau “masa kegelapan” ketika bangsa Arab tidak memiliki aturan hukum, nabi, dan kitab suci.
Masa Jahiliah merupakan salah satu dari tiga periode sejarah bangsa Arab berikut ini.
Periode pertama dikenal sebagai periode Saba dan Himyar. Periode ini terbatas pada sejarah Yaman dan Arab Selatan dan tidak banyak diketahui kecuali melalui beberapa tulisan kuno, di samping informasi lain yang diperoleh dari Al-Qur’an dan tradisi yang masih terpelihara dan berkembang, seperti syair pra-Islam dan literatur Islam yang datang kemudian.
Periode kedua adalah periode pra-Islam. Periode ini disebut Zaman Jahiliah dan Abad Kebodohan. Ciri-ciri masa ini tercermin dalam lagu atau syair pra-Islam yang masih ada sampai sekarang. Pada saat itu tidak terdapat literatur dalam bentuk prosa kecuali syair tertentu yang menggambarkan sejarah, nasab, ucapan selamat atas kepahlawanan, dan sanjungan atas kebaikan orang atau suku bangsa Arab.
Walaupun bukti istimewa pra-Islam telah hilang, dari bukti yang masih tersisa dan sempat dikumpulkan ahli filologi muslim, gambaran bangsa Arab pada masa Jahiliah tersebut dapat dijadikan data yang memadai.
Periode ketiga adalah periode Islam. Periode ini meru pakan masa penting dalam sejarah bangsa Arab di bawah kekuasaan Islam. Gambaran kondisi bangsa Arab pada masa Jahiliah itu dilukiskan Majid Ali Khan (seorang ahli sejarah) dalam tiga kondisi, yakni kondisi sosial, politik, dan keagamaan.
Ditinjau dari kondisi sosial, keadaan bangsa Arab pada saat itu semakin hari semakin buruk. Minuman keras lebih disukai daripada keselamatan diri sendiri. Hampir seluruh literatur kuno diwarnai sanjungan terhadap minuman keras.
Di samping itu, perjudian merupakan kesenangan mereka sehingga upaya menghapuskannya dipandang sebagai perbuatan tidak terpuji. Para penjudi mempertaruhkan seluruh kekayaannya, meski setelah menderita kekalahan kembali dengan penuh kekecewaan.
Keadaan ini mengakibatkan tumbuhnya praktek riba di kalangan bangsa Arab, sungguh pun mereka sadar harus membayar dengan harga tinggi kepada para rentenir.
Pada masa itu, para wanita sangat menderita karena tidak memiliki hak dan tidak memperoleh rasa hormat di kalangan masyarakat. Kaum laki-laki mempunyai kebebasan mengawini beberapa orang istri dan menceraikannya sekehendak hati.
Kaum wanita tidak diberi hak memperoleh harta waris. Para janda diwariskan dan tidak dibenarkan menikah lagi tanpa izin pewarisnya. Di samping poligami, seorang laki-laki, tanpa ada aturan, dapat berhubungan dengan beberapa wanita yang disukainya.
Sebaliknya, wanita yang bersuami pun diperbolehkan suaminya berhubungan dengan laki-laki lain untuk memperoleh keturunan yang lebih baik. Selain itu, seorang laki-laki dapat mengawini ibu tiri dan saudara perempuannya sendiri. Anak laki-laki tertua mengambil janda ayahnya sebagai harta warisan.
Bangsa Arab sebelum Islam tidak menyukai kelahiran bayi perempuan. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur’an surah an-Nahl (16) ayat 58 yang berarti: “Dan apabila mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitam (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”
Senada dengan ayat di atas, Allah SWT menjelaskan dalam surah az-Zukhruf (43) ayat 17 yang berarti:
“Apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan misal bagi Allah Yang Maha Pemurah jadilah mukanya hitam pekat sedangkan dia amat menahan sedih.”
Yang dimaksud dengan “apa yang dijadikan misal bagi Allah” pada ayat di atas ialah kelahiran anak perempuan. Karena mempertahankan kehormatan diri dan kabilahnya di samping takut jatuh miskin, mereka tidak segan-segan membunuh anak perempuan dengan menguburnya hidup-hidup.
Tradisi lain yang berlaku umum adalah perbudakan. Budak bagai barang dagangan dan diperlakukan semena-mena. Sebaliknya, para majikan memiliki otoritas yang mutlak atas hidup dan matinya budak itu.
Ditinjau dari kondisi politik, seluruh masyarakat di Semenanjung Arabia menikmati kemerdekaan mutlak dan tidak pernah dijajah oleh negara mana pun saat itu. Hal ini terjadi karena kedua negara adikuasa, yakni Persia (Iran) dan Bizantium, tidak menaruh perhatian kepada bangsa Arab yang dipandangnya sebagai kaum barbar, miskin, dan ke laparan.
Di dalam tubuh bangsa Arab sendiri tidak terdapat persatuan. Mereka terpecah-pecah menjadi beberapa suku yang masing-masing dipimpin seorang syekh. Alasan yang sepele atau kecil dapat menimbulkan peperangan antarsuku yang turun-temurun. Setiap orang tidak merasa aman karena perampokan dan pembunuhan dapat terjadi di mana-mana.
Seseorang bisa saja dibunuh saat melakukan perjalanan dagang bersama kafilahnya. Kondisi ini mendorong pentingnya suatu pengawalan yang ketat untuk menjamin keselamatan perjalanan perniagaan.
Ditinjau dari kondisi keagamaan, pada masa itu bangsa Arab pada umumnya adalah penyembah berhala. Status berhala yang semula dijadikan medium penyembahan kepada Tuhan diangkat menjadi Tuhan. Ada beberapa dewa atau dewi yang khusus untuk suatu kota, daerah atau suku tertentu. Berhala itu dibuat berdasarkan khayalan para pe nyembahnya.
Dengan demikian adalah wajar dan masuk akal apabila Ka’bah, rumah Allah SWT yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim AS, telah dihuni tidak kurang dari 360 berhala. Empat dari sekian banyak berhala itu merupakan yang terpenting: Lata, Uzza, Manat, dan Hubal.
Selain itu terdapat pula dewa yang menjadi milik perseorangan atau pribadi. Apabila akan melakukan suatu perjalanan, orang melakukan kegiatan ter akhir di rumahnya, yakni memohon rahmat dan keselamatan dari dewa tersebut. Kedudukan dewa ini dilukiskan dalam Kitab al-Asnam (kitab yang berbicara mengenai berhala) karangan Hisyam al-Kalabi (seorang ahli sejarah; w. 819).
Di sekitar Ka’bah terdapat pula pura atau candi. Setiap orang ber-lomba-lomba mengumpulkan berhala dan meletakkannya di dalam pura yang mereka bangun. Mereka pun percaya kepada malaikat, jin, bintang, matahari, dan bulan.
Daftar Pustaka
Ali Khan, Madjid. Muhammad, The Final Messenger. New Delhi: Idarah Adabi, 1980.
Haekal, Muhammad Husain. hayah Muhammad. Cairo: Matba‘ah as-Sunnah al-Muhammadiyah, 1968.
Hitti, Philip K. The History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam al-Himyari. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halami, 1355 H/1936 M.
Ibnu Kasir. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lugah wa al-‘alam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1982.
Nicholson, Reynold A. A Literary History of the Arabs. Cambridge: Cambridge University Press, 1969.
Agus Halimi