Festival Istiqlal adalah sebuah kegiatan dan pameran hasil kebudayaan Indonesia yang bernapaskan Islam, antara lain penulisan mushaf Al-Qur’an, pameran arsitektur, seni rupa tradisional dan modern, pameran buku, busana muslim, dan seni pertunjukan, baik dari masa lalu maupun kini, yang dipusatkan di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Kegiatan Festival Istiqlal I (FI-I), yang berlangsung selama sebulan sejak 15 Oktober 1991, ditandai dengan (1) penulisan Al-Qur’an Mushaf Istiqlal (mushaf: kumpulan lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis tangan); (2) pameran (arsitektur, seni rupa tradisional dan modern, kitab Al-Qur’an, naskah dan buku, tata boga, dan busana muslimah);
(3) seni pertunjukan (seni baca Al-Qur’an, teater, musik, tari, baca puisi, dan film); (4) forum ilmiah (simposium, diskusi, seminar, dan ceramah); dan (5) perlombaan (azan dan kaligrafi).
Beberapa pementasan seni tersebut dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Selain karya seni Islam Indonesia, FI-I juga menampilkan karya seni Islam dari sejumlah negara sahabat, seperti Malaysia, Pakistan, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Tujuan penyelenggaraan FI-I adalah:
(1) meningkatkan kualitas dan peran serta umat Islam Indonesia dalam proses pembangunan;
(2) meninjau tradisi budaya masa lalu dengan kenyataan dan tantangan masa kini;
(3) menggali dan memperkenalkan khazanah hasil budaya Indonesia, khususnya ragam kebudayaan Islam Indonesia kepada masyarakat luas; dan
(4) menampilkan wajah Islam di Indonesia yang ramah dan penuh toleransi antarsesama dan antarumat beragama lain.
FI-I dikunjungi sekitar enam juta orang, padahal panitia semula hanya menargetkan satu juta pengunjung. Selama dua minggu pertama, pengunjung rata-rata mencapai 200 ribu orang per hari. Pada dua minggu terakhir, pengunjung meningkat hingga 400 ribu orang per hari.
Festival Istiqlal II (FI-II), yang berlangsung empat tahun kemudian (23 September 1995–18 November 1995), diselenggarakan dalam rangka syukuran 50 tahun kemerdekaan RI.
FI-II menjadi pesta rakyat dan dikunjungi sekitar 11 juta orang, lebih satu juta orang dari yang diperkirakan. Mereka bukan saja warga Jakarta, tetapi juga warga dari berbagai daerah di Indonesia. Al-Qur’an Mushaf Istiqlal menjadi primadona FI-II dan peluncurannya diresmikan pada saat upacara pembukaan FI-II.
Selain memamerkan Mushaf Istiqlal, FI-II juga memamerkan karya seni, antara lain Mushaf Usmani (Al-Qur’an baku hasil kerja panitia penulis Al-Qur’an di zaman Khalifah Usman bin Affan) dari Tashkent (Uzbekistan), maket dan foto berbagai bentuk masjid, naskah dan buku kuno, surat para wali dan raja Islam masa lalu, serta seni ukir dan seni lukis kontemporer yang bernapaskan Islam.
Di samping itu, juga diadakan simposium, pembacaan puisi, dan pertunjukan wayang. FI-II yang penyelenggaraannya diketuai menteri keuangan ketika itu, Mar’ie Muhammad diikuti pula masyarakat Islam Turki, Mesir, Inggris, Maroko, India, Yordania, dan Bosnia-Herzegovina.
Pembukaan FI-II ditandai dengan penabuhan beduk Masjid Sunan Ampel oleh Presiden Soeharto, penandatanganan prasasti sebagai tanda selesainya penulisan Mushaf Istiqlal, penandatanganan prangko FI-II, dan pertunjukan multimedia kolosal Semarak Emas Menyulang Emas.
Sajian ini mewakili hampir seluruh wilayah Indonesia, antara lain Aceh, Madura, dan Bali. Upacara pembukaan ini diiringi irama gamelan sekaten.
Penulisan awal Mushaf Istiqlal, yaitu kata “basmalah” dari surah al-Fatihah, dilakukan Presiden Soeharto pada pembukaan FI-I dan kemudian dilanjutkan oleh enam penulis (khaththat) yang diketuai H M. Faiz A.R. Penulisan mushaf ini berpedoman sepenuhnya pada Mushaf Imam dan tulisan naskah sesuai Al-Qur’an Usmani.
Sementara ilustrasi mushaf dikerjakan ilustrator, terutama dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah itu dilakukan pemeriksaan kebenaran tulisan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama. Mushaf ini dapat diselesaikan selama lebih kurang 4 tahun, 2 tahun untuk penelitian serta persiapan dan sisanya untuk penulisan (khat).
Mushaf Istiqlal merupakan karya monumental bangsa Indonesia berukuran 106 x 85 cm dengan tebal 970 halaman yang terdiri atas halaman ayat Al-Qur’an, halaman doa, daftar isi, tanda baca, tanda tashih (pengesahan), dan halaman peresmian.
Secara istilah, “Al-Qur’an Mushaf Istiqlal” diartikan sebagai “Al-Qur’an Mushaf Kemerdekaan” karena kata istiqlal secara bahasa berarti “kemerdekaan”. Kelebihan mushaf ini terletak pada penggunaan ragam hias dari 27 propinsi yang terdiri atas 45 wilayah budaya Nusantara sebagai ornamen pada pinggiran setiap lembaran mushaf.
Setiap 22 halaman, ilustrasi diganti dari wilayah budaya yang satu ke wilayah yang lain. Format penulisannya dibuat agak sentral sehingga ada bagian-bagian tertentu yang dikosongkan. Di samping itu, surah al-Fatihah ditulis dalam dua halaman yang bersebelahan.
Sejak 1996 Festival Istiqlal di bawah Yayasan Festival Istiqlal telah diintegrasikan ke dalam Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Berbeda dengan isi Bayt Al-Qur’an, Museum Istaqlal berisi benda seni yang mempunyai nilai sejarah keislaman, seperti tempat wudu kuno dari Cirebon, duplikat beduk dari Purworejo, dan maket Mesjid Demak.
Namun, baik pada Bayt Al-Qur’an maupun Museum Istiqlal sebenarnya sama-sama merupakan museum tempat menyimpan naskah Al-Qur’an, manuskrip Al-Qur’an, dan benda seni bernilai sejarah lainnya dari seluruh penjuru Nusantara yang bernapaskan agama.
Pada 14 Oktober 2021, Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) menyelenggarakan Webinar Menuju Festival Istiqlal III, guna mendapatkan masukan dari peserta Webinar terutama masukan dari masyarakat.
Kegiatan Webinar ini juga sebagai wujud kesinambungan atas terselenggaranya Festival I dan II pada 1991 dan 1995, sehingga diharapkan nantinya Festival Istiqlal III bisa mencetak sejarah yang bermaslahat bagi warga bangsa, khususnya masyarakat Islam di Indonesia.
Sejarawan Dr Taufik Abdullah menandaskan, proses pembaruan pemikiran kesadaran keagamaan sekarang ialah adanya transformasi kesalehan individual yang transendental menjadi berkonteks sosial serta kultural. Makna simboliknya maupun diistribusi nilai-nilai seni maupun budayanya adalah sebuah transmisi kesadaran intelektualitas umat Islam.
Maka acara semacam Festival Istiqlal ini merupakan sebuah ajang dialog tak ada habisnya melalui berbagai pameran, kerajinan, arsitektur, film, sastra, seni rupa, seni pertunjukan maupun jenis ungkapan artistik lainnya, yang semata mengungkap dualisme antara bertemunya Islam dan Indonesia secara tradisional maupun yang modern.
Menurut Taufik Abdullah, Festival Istiqlal-lah wajah paling otentik, bagaimana Islam telah “kembali” menemukan identitasnya sebagai umat mayoritas. Dengan demikian, Islam dalam perspektif kebangsaan maupun negara, bersama bertemu memaknai spiritualitas kekinian.
Daftar Pustaka
“Kesatuan Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal,” Republika, 20 April 1997.
Mahasin, Ashab, et al., ed. Ruh Islam dalam Budaya Bangsa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
“Memanggungkan Kembali Budaya Islam Nusantara,” Republika, Jakarta, Senin, 21 April 1997.
Yustiono, et al., ed. Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993.
https://istiqlal.or.id/blog/detail/bpmi-selenggarakan-webinar-menuju-festival-istiqlal-iii-tahun-2022.html, diakses pada 16 Maret 2022.
https://entertainment.kompas.com/read/2018/01/29/175727010/seni-bernafaskan-islam-dan-festival-istiqlal?page=all, diakses pada 16 Maret 2022.
Ade Armando
Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)