Secara etimologis, isra berarti “berjalan atau membawa berjalan pada malam hari”. Isra dalam kajian sejarah Islam berarti “perjalanan pribadi Nabi SAW pada malam hari dalam waktu singkat dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di Yerusalem”. Adapun kata mikraj berarti “tangga atau alat untuk naik”. Secara terminologis, mikraj berarti “perjalanan pribadi Nabi SAW dari bumi ke langit ke tujuh dan Sidratulmuntaha”.
Dalam istilah lain disebut bahwa mikraj adalah kenaikan Nabi SAW dari Masjidilaksa di Yerusalem ke alam atas melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, Sidratulmuntaha, arasy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah SWT.
Perjalanan ini mengandung perintah mendirikan salat lima waktu sehari-semalam. Karena peristiwa isra bersamaan dengan mikraj, pemakaian kedua kata itu senantiasa digabungkan menjadi isra mikraj. Isra mikraj terjadi pada 27 Rajab, setahun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan terjadinya peristiwa isra mikraj adalah surah al-Isra’ (Bani Isra’il) (17) ayat 1, yang berarti: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Peristiwa ini juga disebut dalam surah an-Najm (53) ayat 1–8 yang berarti:
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedangkan dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukannya. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di sidratulmuntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika sidratulmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”
Awal surah al-Isra’ dan beberapa ayat awal surah an-Najm memberitakan apa yang dilihat Nabi SAW dalam peristiwa isra dan mikraj. Awal surah al-Isra’ berbicara tentang isra dan beberapa ayat awal surah an-Najm berbicara tentang mikraj.
Peristiwa isra mikraj itu diterangkan oleh beberapa hadis yang panjang. Dari hadis itu dapat disimpulkan bahwa pada suatu malam ketika Nabi SAW sedang berada di Hatim (dekat Ka’bah), tiba-tiba Malaikat Jibril datang dan membelah dada Nabi SAW. Hati Nabi SAW dikeluarkannya dan disucikannya dengan air Zamzam, kemudian ke dalam hati tersebut dimasukkannya iman dan hikmah yang telah disediakannya dalam bejana emas.
Dengan dibimbing Jibril, Nabi Muhammad SAW berangkat menuju Baitulmakdis. Setelah sampai di Baitulmakdis, Nabi Muhammad SAW terus masuk ke Masjidilaksa dan melakukan salat dua rakaat yang diikuti para nabi terdahulu. Setelah selesai salat, Jibril datang lagi sambil membawa dua gelas minuman. Gelas yang satu berisi susu dan yang satu lagi berisi arak. Malaikat Jibril mempersilakan Nabi Muhammad SAW meminumnya.
Nabi Muhammad SAW memilih susu. Melihat itu Malaikat Jibril mengatakan, “Tuan di atas fitrah. Seandainya tuan memilih arak, niscaya sesatlah umat tuan.” Sampai di sini berakhirlah perjalanan isra Nabi SAW di permukaan bumi.
Kemudian berangkatlah Nabi Muhammad SAW bersama Malaikat Jibril naik ke langit dunia. Sesampai di langit, Malaikat Jibril meminta kepada penjaga supaya dibukakan pintu. Akan tetapi sebelum masuk Jibril ditanya, “Siapakah ini?” Jibril menjawab, “Jibril.” Ia kemudian ditanya pula, “Siapakah yang bersama engkau?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Ia kemudian ditanya lagi, “Apakah dia telah mendapat panggilan?” Jibril menjawab, “Ya, dia telah mendapat panggilan.” Setelah mendengar jawaban itu, penjaga langit dunia itu membuka pintu untuk Nabi Muhammad SAW dan Malaikat Jibril, sambil mengucap sambutan terhadap kedatangannya.
Di langit pertama itu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Adam AS dan memberinya salam. Nabi Adam AS menjawab salam Nabi SAW dan mendoakannya. Sesudah itu tiba-tiba Nabi SAW melihat secara samar-samar wujud berwarna hitam yang ada di sebelah kanan dan kiri tempat duduk Nabi Adam AS. Apabila melihat ke sebelah kanan, Nabi Adam AS kelihatan tertawa. Tetapi apabila melihat ke arah kiri ia tampak menangis. Yang berada di sebelah kanan adalah ahli surga dan di sebelah kiri adalah ahli neraka.
Kemudian Malaikat Jibril beserta Nabi Muhammad SAW naik pula ke langit kedua. Keduanya disambut pula seperti pada langit pertama. Di sini Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Isa AS dan Nabi Yahya AS. Nabi Muhammad SAW mengucapkan salam kepada keduanya. Salam ini disambut dengan baik serta dengan rasa hormat.
Keadaan seperti ini terjadi pula pada langit ketiga sampai langit ketujuh. Di langit ketiga Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Yusuf AS, di langit keempat beliau bertemu dengan Nabi Idris AS, di langit kelima dengan Nabi Harun AS, di langit keenam dengan Nabi Musa AS, dan di langit ketujuh dengan Nabi Ibrahim AS yang sedang bersandar ke Baitulmakmur.
Dari langit ketujuh Nabi SAW naik ke Sidratulmuntaha, yaitu sebuah pohon besar yang rindang. Dari pokoknya mengalir empat sungai, dua di surga dan dua di luarnya. Di sini diperlihatkan pula bermacam-macam warna yang menutupi pohon Sidratulmuntaha tersebut. Di sini pula Nabi SAW melihat Jibril dalam bentuknya yang asli.
Di sidratulmuntaha Nabi SAW meninggalkan Jibril dan berangkat ke Mustawa, kehadirat Allah SWT. Di hadirat Allah SWT Nabi SAW menerima wahyu kewajiban salat lima puluh kali sehari-semalam. Akan tetapi ketika turun dan sampai di langit keenam, Nabi Musa AS menyarankan agar salat yang lima puluh kali itu dikurangi, mengingat kemampuan umat Nabi Muhammad SAW amat terbatas. Atas saran itu Nabi SAW kembali ke hadirat Allah SWT dan memohon dikurangi salat yang lima puluh kali itu. Akhirnya Allah SWT berkenan menguranginya menjadi lima salat dalam sehari-semalam.
Kejadian yang luar biasa ini sudah melampaui batas hukum alam materi. Oleh karena itu sebagian ulama memandang kejadian tersebut bukan dilaksanakan oleh Nabi SAW dengan jasadnya, tetapi hanya dengan rohnya.
Di samping itu ada pula yang berpendapat bahwa peristiwa itu hanya dilakukan Nabi SAW dalam mimpi. Akan tetapi jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa peristiwa itu dilakukan Nabi SAW dengan roh dan jasadnya. Seandainya hal itu dilakukan hanya dengan rohnya, apalagi hanya dengan mimpi, orang tidak perlu merasa kagum karena roh memang mudah melakukan demikian, sehingga tidak menjadi peristiwa luar biasa lagi.
Apalagi yang diterima Nabi SAW adalah perintah salat, yang bukan hanya wajib dilakukan secara rohani, tetapi juga secara jasmani. Oleh sebab itu bagi jumhur ulama, peristiwa itu memang terjadi dengan roh dan jasad Nabi SAW. Pada waktu itu roh Nabi SAW telah dapat menguasai jasadnya sehingga hukum yang mempengaruhi jasadnya telah dapat dilebur oleh rohnya. Karena itu dengan mudah ia melakukan isra dan mikraj.
DAFTAR PUSTAKA
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Chalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
_________. Peristiwa Isra dan Mi’raj. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
al-Gaiti, Najmuddin. Qissah al-Mi‘raj. Singapura: Sulaiman Mar’i, t.t.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Sirah Sayyidina Muhammad Rasul Allah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
Ibnu Qayyim, Syamsuddin Abu Abdullah al-Jauziyah ad-Dimasqi. Zad al-Ma‘ad fi Huda Khair al-‘Ibad. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1324 H/1906 M.
Rids, Muhammad. Muhammad Rasul Allah SAW. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1966.
Yunasril Ali