Imam Zarkasyi

(Gontor, Jawa Timur, 21 Maret 1910–30 Maret 1985)

Imam Zarkasyi adalah seorang kiai ternama, pemikir, dan pembaru pendidikan Islam di Indonesia. Ia juga merupakan salah seorang pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Ia adalah putra bungsu dari tujuh orang bersaudara (4 laki-laki dan 3 perempuan) pasangan Kiai R. Santoso Anombesari dan Nyai Sudarmi.

Ayah Imam Zarkasyi adalah kiai terakhir Pondok Gontor lama, pondok pesantren yang didirikan Kiai Sulaiman Djamaluddin. Disebut “kiai terakhir” karena ia meninggal dunia pada 1918 ketika pondoknya mengalami kemunduran dan belum meninggalkan seorang kader penerus pun.

Kakeknya adalah R. Arham Anombesari, putra Kiai Sulaiman Djamaluddin. Jika ditarik ke atas, garis keturunannya akan sampai pada Kanjeng Pangeran Adirejo Adipati Anom Cirebon dan Kiai Ageng Muhammad Besari, pendiri Pondok Pesantren Tegalsari. Pesantren ini terkenal dan terbesar pertama di Jawa pada abad ke-18 yang mendapat pengakuan dari Sri Sunan Paku Buwono I (raja Mataram).

Zarkasyi memperoleh pendidikan pertama di Gontor, di bawah asuhan ibunda dan atas bimbingan kakaknya. Setelah menginjak usia belajar, ia “nyantri” di beberapa pesantren di kabupaten sekitar Gontor, seperti Pesantren Malo, Josari, Joresan, Durisawo, dan Tegalsari. Pada waktu yang sama ia juga menuntut ilmu pada sebuah sekolah di desanya selama 3 tahun, kemudian melanjutkan studi ke Sekolah Ongko Loro di Jetis, Ponorogo, sekitar 3 km di sebelah barat Gontor.

Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Ongko Loro bersama dua kakaknya, KH Ahmad Sahal dan KH Zainuddin Fanani, Imam Zarkasyi bertekad menghidupkan kembali Pondok Gontor yang telah dibina ayah dan kakek mereka. Pendirian kembali Pondok Gontor itu diilhami oleh Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya (1926) yang diikuti KH Ahmad Sahal.

Kongres itu dihadiri tokoh umat Islam, seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansur, dan H Agus Salim. Kongres memutuskan agar umat Islam Indonesia mengutus wakilnya ke muktamar Islam sedunia di Mekah. Salah satu kriteria utusan adalah kemahiran dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari sekian banyak peserta, tak seorang pun yang menguasai kedua bahasa itu sekaligus. Akhirnya HOS Tjokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris dan KH Mas Mansur yang mahir berbahasa Arab dipilih sebagai utusan.

Kelangkaan tokoh umat Islam yang menguasai kedua bahasa itu membuat KH Ahmad Sahal, yang hadir dalam kongres tersebut, terdorong untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang mempersiapkan ulama yang mampu menguasai dua bahasa internasional tersebut. Gagasan itu kemudian disepakati kedua adiknya.

Pendirian kembali Pondok Pesantren Gontor terjadi pada 12 Rabiulawal 1345/9 Oktober 1926 yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Pondok Gontor. Sejak itu tiga bersaudara tersebut dikenal dengan julukan Trimurti (menggambarkan kesatuan ide, cita-cita, dan langkah perjuangan tiga orang pendiri Pondok Gontor yang baru).

Gagasan luhur itu mendorong mereka mengutus Imam Zarkasyi untuk terus menuntut ilmu. Ketika menginjak usia 16 tahun, Imam Zarkasyi mulai keluar dari kota kelahirannya, Gontor. Sebagaimana lazimnya seorang santri pengembara pada zamannya, ia pergi ke daerah yang lebih jauh untuk menimba ilmu di berbagai pesantren serta lembaga pendidikan yang ada.

Pertama-tama ia melanjutkan studi ke Solo, yakni ke Pondok Pesantren Jamsaren, Madrasah Manba’ul Ulum, dan Madrasah Arabiyah Islamiyah, yang dikenal juga dengan Arabische School, yang dipimpin KH Mohammad Oemar al-Hasyimi, alumnus Universitas Zaitunah, Tunisia. Al-Hasyimi juga dikenal sebagai seorang aktivis politik dan sastrawan Tunisia yang diasingkan kolonial Perancis ke wilayah jajahan Belanda.

Setelah menyelesaikan studi di Madrasah Arabiyah Islamiyah, ia ingin melanjutkan studi ke Mesir, tetapi tidak mendapat kesempatan untuk itu karena tergeser calon lain, seorang keturunan Arab. Karena itu, gurunya, al-Hasyimi, menyarankan agar ia melanjutkan studi ke Sumatera Barat dengan alasan sudah banyak guru yang belajar di Mesir dan sudah banyak pula lembaga pendidikan Islam modern di daerah ini. Imam Zarkasyi pada 1930 berangkat ke Sumatera Barat menuju Padangpanjang.

Di perantauan ini pertama-tama ia belajar di Thawalib School di kelas VI (setingkat kelas II tsanawiyah sekarang) dan 2 tahun kemudian berhasil menyelesaikan pendidikan di lembaga ini. Setelah itu, ia melanjutkan studi di Normal Islam School (Kulliyatul Mu‘allimin al-Islamiyyah) yang dipimpin Mahmud Yunus, pendiri Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang pada 1931. Lembaga pendidikan ini dikenal modern, dilihat dari kurikulum maupun metode belajar-mengajarnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Normal Islam School ini dan sebagai bentuk pengakuan Mahmud Yunus atas prestasinya, Imam Zarkasyi diangkat sebagai pemimpin Kweekschool Muhammadiyah di Padangsidempuan, Sumatera Utara. Ia menjalani tugas itu selama 1 tahun, kemudian kembali ke Gontor untuk mengembangkan pesantren yang didirikannya bersama kakaknya.

Setelah 10 tahun menimba ilmu di perantauan, pada 1936 ia mulai membenahi Pondok Pesantren Gontor. Pada saat yang sama, ia juga menjalankan tugas yang didasarkan pada panggilan dan tanggung jawab keumatan dan kebangsaan Indonesia.

Dalam perjalanan hidupnya ia sempat menduduki beberapa jabatan di pemerintahan dan aktif dalam berbagai organisasi keagamaan. Pada 1943 ia diangkat menjadi kepala Kantor Agama (Shumuka) Karesidenan Madiun, dan pada 1944 menjadi kepala Bagian Pengajaran Kantor Agama Pusat (Shumubu).

Masih pada zaman pendudukan Jepang, ia juga ikut aktif membina barisan Hizbullah, organisasi ketentaraan di bawah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah Indonesia merdeka, ia diangkat menjadi kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama (sekarang Departemen Agama) dan berpartisipasi dalam perencanaan pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Yogyakarta.

Ia pun pernah menjadi anggota Komite Penelitian Pendidikan pada 1946, ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII) pada 1948–1955, kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama, kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama, anggota Badan Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan dan Pengajaran Agama, anggota Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan, dan anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Pusat (1975–1985).

Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota delegasi Indonesia ke negara-negara Uni Soviet dan anggota delegasi Indonesia dalam Mu’tamar Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah di Cairo.

KH Imam Zarkasyi juga banyak menulis, terutama untuk kebutuhan pengajaran di Pondok Pesantren Gontor, antara lain Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, dan Kursus Agama Islam. Ketiga buku itu ditulis bersama kakaknya, KH Zainuddin Fanani.

Karyanya yang lain adalah Ushuluddin, Bimbingan Keimanan (2 jilid); Pelajaran Bahasa Arab (2 jilid) berikut kamus, dan buku fikih. Buku ini sampai sekarang masih dipergunakan di Pondok Modern Gontor Ponorogo dan pesantren lain, terutama yang didirikan alumni Pesantren Gontor di berbagai pelosok Indonesia.

Meskipun aktif dalam berbagai kegiatan pada taraf nasional, perhatian utama KH Imam Zarkasyi tetap tercurah pada pembinaan pondok. Ilmu dan pengalamannya dari beberapa lembaga pendidikan Islam tradisional dan modern telah memperkaya khazanah pemikiran dan wawasannya sehingga ia mampu melakukan banyak pembaruan dalam lembaga pendidikan itu.

Dapat dikatakan bahwa kedatangannya ke Gontor dari Padangpanjang dan Padangsidempuan betul-betul membawa perubahan mendasar bagi perjalanan Pondok Gontor. Ia berhasil mewujudkan “mimpi” Trimurti, yakni mendirikan pondok modern yang santrinya mampu berdialog dalam bahasa Arab dan Inggris.

Ia berhasil menggabungkan dua sistem pendidikan Islam di Indonesia: sistem pesantren dan sistem madrasi. Pesantren disebut juga “lembaga pendidikan tradisional”, tetapi mengandung hal positif, seperti pendidikan budi pekerti yang berlangsung selama 24 jam sehari di bawah kontrol kiai.

Adapun sistem madrasi adalah lembaga pendidikan atau sekolah modern. Ia menamai lembaga pendidikan itu Kulliyatul Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI), sama dengan nama lembaga pendidikan yang dimasukinya di Sumatera Barat. Ia langsung bertindak sebagai direktur, jabatan yang disandangnya sampai wafat. Kakaknya, KH Ahmad Sahal, bertindak sebagai pengasuh.

Sepanjang hidupnya ia terjun langsung melakukan pembinaan dan peningkatan pesantren. Sebelumnya Pondok Gontor hanya membuka tingkat Tarbiyatul Athfal (pendidikan tingkat dasar) dan Sullamul Muta‘allimin (tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama [SLTP]). Setelah pulang dari Sumatera Barat, ia meningkatkan pesantren dengan membuka KMI setingkat SLTP dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Kurikulum dan metode pengajaran pada lembaga pendidikan KMI itu pada prinsipnya sama dengan yang berlaku di Normal Islam School, Sumatera Barat. KH Imam Zarkasyi melakukan sedikit perubahan di sana sini dengan mengambil sisi baik dari pola pesantren tradisional yang menurutnya patut dipertahankan karena masih relevan dan bernilai positif.

Sebagaimana lembaga pendidikan modern di Sumatera Barat, ilmu pengetahuan umum pun banyak dimasukkan ke dalam kurikulum pesantren ini. Dalam pandangannya tidak ada dikotomi ilmu pengetahuan dalam Islam. Karena itu, KH Imam Zarkasyi sering kali menyatakan bahwa kurikulum KMI yang diterapkannya adalah 100% agama dan 100% umum.

Menurutnya, ilmu pengetahuan umum adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan agama. Tidak ada perbedaan antara ilmu pengetahuan agama dan umum, keduanya sama penting.

Di luar jam belajar KMI, pesantren juga memberikan banyak jam tambahan untuk proses belajar dan pembinaan kepemimpinan santri. Semua itu bertujuan memenuhi pengembangan minat dan bakat mereka. Sebagai contoh, para santri dilatih berorganisasi dalam organisasi pelajar yang bernama Organisasi Pelajar Pondok Modern/OPPM (sebelumnya Raudhatul Muta’allimin, kemudian menjadi Pelajar Islam Indonesia [PII]) dan kepramukaan, serta berpidato. Di samping itu tersedia pula waktu bagi santri untuk berolahraga dan latihan kesenian tertentu.

Masyarakat luas lama-kelamaan mengenal Pondok Gontor dan kemudian menjulukinya “pondok modern”. Julukan itu melekat dan menjadi identitas resmi pondok ini hingga sekarang. Santrinya bukan saja datang dari berbagai penjuru Indonesia, tetapi juga dari berbagai negara Asia Tenggara dan negara muslim lainnya. Pada 17 November 1963/1 Rajab 1383 didirikan perguruan tinggi yang bernama Institut Pendidikan Darussalam (IPD), yang dibuka secara resmi 10 hari kemudian.

Pondok Modern Gontor, Ponorogo, telah melahirkan banyak tokoh, baik yang bertaraf nasional maupun lokal. Banyak dari tokoh itu berkecimpung di berbagai bidang kehidupan, seperti politik, organisasi keagamaan, dan pendidikan pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. Mukti. Ta‘lim al-Muta‘allim: Cermin Imam Zarkasyi. Gontor: Trimurti, 1991.

Chirzin, M. Habib. “Agama dan Ilmu dalam Pesantren,” Pesantren dan Pembaruan, ed. M. Dawam Rahardjo. Jakarta: LP3ES, 1985.

KH Imam Zarkasyi, dari Gontor Merintis Pesantren Modern. Ponorogo: Gontor Press, 1996.

Saifullah, Ali. “Darussalam, Pondok Modern Gontor,” Pesantren dan Pembaruan, ed. M. Dawam Rahardjo. Jakarta: LP3ES, 1985.

Zarkasyi, KH Imam, dan KH Ahmad Sahal. Wasiat, Pesan, Nasihat, dan Harapan Pendiri Pondok Modern Gontor. Gontor: t.p., t.t.

Badri Yatim