Imam Bonjol

(Alahan Panjang, Sumatera Barat, 1772 – Manado, Sulawesi Utara 8 November 1864)

Imam Bonjol adalah seorang ulama dan pemimpin Perang Paderi melawan Belanda pada abad ke-19 di Minangkabau, Sumatera Barat. Pada mulanya ia hanyalah tokoh Gerakan Paderi di desanya. Karena sulit ditaklukkan, ia diajak berdamai, lalu ditangkap, ditawan, dan diasingkan ke Cianjur, Ambon, dan Manado. Ia wafat di pengasingan.

Imam Bonjol dilahirkan dengan nama Muhammad Syahab, yang kemudian diganti dengan Peto Syarif. Ayahnya bernama Tuanku Nuddin, seorang guru mengaji, dan ibunya bernama Hamatun. Peto Syarif mulai mengaji di surau pada usia 7 tahun.

Selain diajarkan membaca dan menulis huruf Al-Qur’an, di situ juga diajarkan ilmu agama, seperti tauhid dan fikih. Karena kecerdasannya, Peto Syarif diangkat sebagai guru bantu oleh ayahnya. Ia juga mempeoleh pelajaran silat di sana.

Gerakan Paderi mulai muncul di Minangkabau setelah kepulangan tiga orang haji (1803), yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Luhak Agam; Haji Abdul Rahman dari Piobang, Luhak Lima Puluh Kota; dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik, Luhak Tanah Datar. Kedatangan mereka memperkuat usaha pembaruan yang telah dirintis Tuanku Nan Renceh.

Atas ajakan Datuk Bandaharo, seorang ulama yang juga kepala adat, Peto Syarif datang mempelajari usaha pembaruan agama di Luhak Agam. Sekembalinya ke Alahan Panjang, usaha pembaruan mereka ditentang oleh Datuk Sati, kepala adat yang lain. Perang saudara pun terjadi.

Datuk Bandaharo dan Peto Syarif mulai mencari tempat yang sesuai untuk dijadikan benteng. Tetapi, tempat baru ini pun tak luput dari serangan Datuk Sati dan pengikutnya. Dalam salah satu serangan tersebut Datuk Bandaharo tewas. Peto Syarif, yang sementara itu telah bergelar Tuanku Muda, membawa pengikutnya ke daerah baru, yaitu lereng Bukit Tajadi (Bukit Terjadi) di daerah Bonjol, yang biasa digunakan oleh kaum penyamun mengintai kuda beban yang membawa barang dagangan dari Minangkabau ke Tapanuli.

Daerah ini dapat dikuasai Malin Basa (Tuanku Muda) melalui kerjasama dengan Tuanku Rao dan kemudian dibangun menjadi sebuah perkampungan, persawahan subur, dan benteng. Di sekeliling perkampungan itu dibuat parit besar yang dipagari dinding tanah dengan ketinggian 4 m dan ketebalan 6 m. Di atas dinding itu ditanam aur berduri.

Dalam benteng yang berwujud perkampungan itu terdapat masjid, rumah penduduk, kandang kuda, dan lumbung padi (rangkiang). Benteng itu dikelilingi pula dengan sembilan puluh buah kubu pertahanan dan menara pengintai. Bersama keluarga dan pengikutnya, Malin Basa menetap di benteng. Ia diangkat sebagai pemimpin daerah itu pada 1808 dengan gelar Tuanku Imam Bonjol. Selain Benteng Bonjol, di Pasaman dan sekitarnya terdapat pula Benteng Dalu-Dalu yang dipimpin Tuanku Tambusai dan Benteng Rao yang dipimpin Tuanku Rao.

Imam Bonjol dan para panglimanya mengadakan gerakan ke luar Minangkabau. Tuanku Rao, Tuanku Lelo, dan Tuanku Tambusai mengarahkan gerakan ke Tapanuli Selatan pada 1816. Merekalah yang menyebarkan Islam di daerah ini.

Bonjol sendiri telah berkembang menjadi pusat perdagangan, penyebaran, dan pengembangan pengetahuan agama. Di saat inilah Belanda, yang telah kembali bercokol di Padang, mengadakan intervensi militer dengan dalih ingin menolong penguasa Minangkabau yang sah, yaitu keluarga raja di Pagaruyung dan para penghulu adat. Perang Paderi melawan Belanda pun terjadi.

Belanda mula-mula melancarkan serangan di daerah Tanah Datar, di sekitar pusat kerajaan Minangkabau. Kemudian mereka berhasil melumpuhkan perlawanan Tuanku Halaban di Luhak Lima Puluh Kota dan dilanjutkan ke Luhak de Kock (Bukittinggi). Setelah itu daerah Bonjol merupakan sasaran utama pihak Belanda.

Pada 1833, Belanda memusatkan kegiatannya ke Alahan Panjang dan mengincar Benteng Bonjol yang terpisah dari daerah lain. Pada 10 September 1833 Belanda menyerang Bonjol dari tiga jurusan, yaitu dari Bukittinggi ke Matur dan Pantar terus ke Bonjol di bawah pimpinan Van den Bosch; dari Pariaman ke Manggopoh di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout; dan dari Tapanuli Selatan dan Rao di bawah komando Mayor Eilers.

Akhirnya Benteng Bonjol jatuh. Masjid dan rumah penduduk dijadikan asrama serdadu. Namun atas persetujuan Elout dengan Tuanku Imam Bonjol, putra Tuanku Imam diangkat menjadi bupati Alahan Panjang.

Pada saat pendudukan Bonjol itu, Komisaris Jenderal Van den Bosch mengeluarkan “Plakat Panjang” (25 Oktober 1833), yang antara lain menyatakan bahwa Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan Belanda tidak akan membebankan pajak kepada rakyat. Tetapi, rakyat diminta menanam kopi dan menjualnya hanya kepada kompeni.

Tindakan sewenang-wenang serdadu Belanda akhirnya menyebabkan rakyat memberontak. Bonjol bergerak dan segera diikuti daerah lain. Hal ini terjadi Januari 1834. Seluruh Minangkabau bergerak. Perang Paderi telah memasuki tahap perang anti-penjajahan. Raja Minangkabau, Sultan Begagar Syah, dibuang ke Batavia. Beberapa orang penghulu adat dan ulama digantung. Mereka dicurigai telah ikut barisan Paderi. Tuanku Imam Bonjol kembali memimpin perjuangan.

Bantuan militer didatangkan dari Jawa. Apalagi pada saat ini Perang Diponegoro (1825–1830; lihat Diponegoro) telah berakhir. Secara perlahan Belanda kembali mendekati Bonjol. Belanda menyerang dan menduduki Matur dan Pantar pada 3 dan 4 Juni 1834. Pada 30 April 1835 Belanda mulai menyerang Bonjol dari jurusan Matur dan Palembayan dan dari jurusan Tapanuli Selatan. Bonjol terkepung dan ruang gerak pasukan Tuanku Imam Bonjol menjadi sempit. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.

Belanda kembali membangun serangan besar-besaran ke Bonjol dan bahkan berhasil membangun sebuah kubu yang berdekatan dengan Benteng Bonjol. Pada Agustus 1835 datang pula bantuan Belanda sehingga jumlah personelnya mencapai 14.000 orang. Benteng Bukit Tajadi terancam. Sesudah 10 bulan Bonjol dikepung, Belanda dapat menguasai daerah barat daya Bonjol.

Karena sulit menaklukkan Bonjol, residen Belanda di Padang mengirim surat kepada Tuanku Imam Bonjol yang berisikan ajakan untuk berunding. Tawaran itu diterima Tuanku Imam Bonjol dengan syarat: (1) jalan dari Bukittinggi ke Rao tidak boleh melewati Bonjol; (2) rakyat Minangkabau tidak boleh dipaksa untuk ikut kerja rodi; dan (3) Belanda harus menghentikan campur tangannya di Minangkabau. Dengan syarat tersebut, terjadilah gencatan senjata antara kedua belah pihak.

Secara tiba-tiba, di akhir November 1836 Bonjol diserang kembali oleh Belanda. Benteng Bonjol dihujani meriam sehingga terbakar. Pada 3 Desember 1836, kira-kira pukul 03.00 dini hari, pasukan Belanda masuk ke dalam benteng melalui dinding yang rusak karena meriam dan langsung menuju rumah Tuanku Imam Bonjol.

Kaum wanita yang ada di rumah itu diseret ke luar. Mahmud, putra bungsu Tuanku Imam Bonjol, gugur. Tuanku Imam Bonjol, yang pada malam itu tidak tidur di rumah, segera datang dan terjadilah perkelahian. Dengan pedang terhunus, Tuanku Imam Bonjol mengejar tentara Belanda. Usaha untuk merebut Benteng Bonjol kembali gagal.

Melihat keadaan yang begitu sulit untuk menduduki Bonjol, panglima tentara Hindia Belanda, Mayor Jenderal Cochius, datang ke Padang dan terus ke Bonjol 9 Maret 1837. Panglima mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding, namun ia tetap menolaknya.

Peperangan terjadi kembali dan benteng dihujani tembakan yang tiada henti-hentinya. Akibatnya, pada Agustus 1837 benteng itu rusak berat. Bukit Tajadi jatuh 15 Agustus 1837 dan sehari kemudian Benteng Bonjol pun jatuh pula. Tuanku Imam Bonjol dapat meloloskan diri dan langsung memimpin perang gerilya di hutan.

Dalam perang gerilya itu Tuanku Imam Bonjol dapat menyingkir ke Koto Marapak. Kemudian ia bersembunyi di Bukit Gadang. Tempat itu dikepung Belanda, namun ia bisa meloloskan diri ke Tujuh Lurah. Sebulan kemudian, datang undangan dari residen Sumatera Barat untuk berunding di Padang (28 Oktober 1837). Undangan itu dikabulkannya. Sesampai di Padang, bukan residen yang ia temui, tetapi tentara Belanda yang siap untuk menangkapnya. Tuanku Imam Bonjol dikhianati dan ditawan.

Mula-mula Imam Bonjol dipenjarakan di Bukittinggi. Khawatir akan pengaruh ulama pejuang ini, ia pun dipindahkan ke Padang. Karena kekhawatiran juga, ulama ini dibuang ke Cianjur (Jawa Barat) 23 Januari 1838. Karena memiliki kharisma yang bisa membangkitkan semangat jihad masyarakat, ia lalu dibuang ke Ambon 19 Januari 1839. Pada 1841 ia dipindahkan ke Manado. Di tempat inilah ia meninggal dalam usia 92 tahun, sesudah selama 27 tahun menjadi tawanan. Imam Bonjol dimakamkan di Kampung Lutak, Minahasa, Manado.

Tuanku Imam Bonjol telah ditetapkan pemerintah sebagai salah seorang “Pahlawan Perintis Kemerdekaan”. Di Padang, namanya diabadikan pula pada sebuah perguruan, yakni Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.

Amran, Rusli. Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

HAMKA. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.

Kuntowidjojo. “Perang Paderi,” Sejarah Perlawanan-Perlawanan terhadap Kolonialisme, ed. A. Sartono Kartodirdjo. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1973.

Kutojo, Sutrisno dan Mardanus Safwan. Tuanku Imam Bonjol: Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Bandung: Angkasa, t.t.

Mansoer, M.D., dkk. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara, 1970.

Parve, H.A. Steijn. “Perang Padari (Padri) di Padang Barat Pulau Sumatera,” Sejarah Lokal di Indonesia, ed. Taufik Abdullah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.

Sagimun. Pemberontakan Pangeran Diponegoro Melawan Penjajah Belanda. Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1981.

Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Helmi Karim