Ikrah

Secara kebahasaan, ikrah berarti “membenci”, “tidak senang”, “tidak mengakui”, “jijik”, dan “menekan”. Memaksa seseorang­ untuk melakukan suatu tindakan yang tidak dikehendakinya disebut ikrah. Dalam fikih, ikrah berarti “tindakan hukum­ yang dilakukan seseorang atas dasar tekanan dari pihak lain yang disertai ancaman”.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT merangkaikan kata ikrah dan kata al-mahabbah (kecintaan) dalam surah al-Baqarah (2) ayat 216: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu….”

Tidak semua tindakan terpaksa merupakan ikrah. Suatu tindakan dikatakan ikrah jika memenuhi­ syarat sebagai berikut.

(1) Orang yang meng­ancam memiliki kemam­puan untuk melaksanakan ancamannya. Dalam hal ini, Imam Hanafi mengatakan­ bahwa pemaksaan hanya bisa dilakukan pihak penguasa,­ karena hanya mereka yang me­miliki kemampuan serta sanggup melaksanakan­nya.

Adapun menurut Imam Abu Yusuf (113 H/731 M–182 H/798 M) dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (131 H/718 M–189 H/804 M), keduanya­ sahabat Imam Hanafi, dan ulama dari tiga mazhab lainnya (Syafi‘i, Maliki, dan Hanbali), paksaan tidak hanya bisa dilakukan penguasa, tetapi juga dapat dilakukan orang atau pihak lain.

(2) Orang yang dipaksa (mukrah) memiliki keyakinan bahwa ancaman yang diberikan kepadanya­ benar-benar akan di­ laksanakan jika kehendak orang yang mengancam tidak dituruti.

(3) Ancaman­ yang diberikan kepada seseorang terkait dengan nyawa, anggota badan, harta, atau keluarga­ orang tersebut (seperti istri atau anak).

(4) Mukrah telah berusaha melakukan perlawanan sebelum orang yang mengancam menjalankan­ ancaman yang di­paksakan kepa­danya.

(5) Akibat yang akan diterima­ dari perbuatan yang dilakukan lebih berat dari ancaman yang diberikan. Umpamanya,­ seseorang­ dipaksa untuk mencuri harta orang lain dengan­ ancaman jika tidak dilakukan­ ia akan ditampar­. Dalam kasus ini, karena ancamannya lebih ringan dari akibat perbuatan yang akan dilakukan, orang yang diancam tersebut harus memilih risiko yang lebih ringan.

(6) Pelak­sanaan ancaman dilakukan secara langsung. Jika ancaman yang di­kemukakan itu mempunyai teng­gang waktu, hal ini tidak dapat dikatakan sebagai ikrah, karena dalam tenggang waktu tersebut ia bisa menghindarinya dengan berbagai cara, misalnya mengadukan dan memohon­ perlindungan­ kepada pihak berwenang.

(7) Perbuatan yang dilakukan mukrah tidak berbeda dengan kehendak­ pihak yang mengancam, baik dari segi kualitas­ maupun kuantitas. Jika terdapat perbedaan, menurut Mazhab Syafi‘i dan Maliki perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan ikrah. Misalnya, seseorang­ diancam agar ia menjatuhkan talak satu (talak) kepada istrinya, tetapi ia melakukannya­ dengan menjatuhkan­ talak tiga.

Perbuatan ini tidak dapat dikategorikan­ sebagai perbuatan terpaksa karena tindakan yang dilakukan berbeda dengan ancaman yang diberikan­. Mazhab Hanafi dan Hanbali membedakan­ kuantitas yang dikerjakan, apakah lebih sedikit atau lebih banyak dari yang dipaksakan. Jika yang dikerjakan­ oleh mukrah itu lebih kecil dari yang dipaksakan, ia dikatakan dalam keada­an terpaksa. Tetapi jika yang dikerjakannya­ melebihi dari yang dipaksakan, orang tersebut tidak dapat dikatakan terpaksa.

(8) Tindakan pemaksaan dengan­ ancaman kepada seseorang­ bukan merupakan­ hak orang yang memaksa­. Misalnya,­ seorang suami mengancam akan menjatuhkan­ talak kepada istrinya,­ jika sang istri tidak membayarkan­ utang suaminya. Kasus seperti ini tidak dapat­ dinamakan ikrah, karena talak yang menjadi ancaman tersebut merupakan hak suami sehingga tidak dapat digunakan­ sebagai­ ancaman. Ikrah hanya dapat dilakukan dari sesuatu di luar hak orang yang memaksa.

Berdasarkan adanya kemungkinan hak pilih (ikhtiar) bagi seseorang­ untuk melakukan atau tidak melakukan paksaan yang diberikan kepadanya,­ para ulama membagi ikrah atas dua bentuk.

(1) Ikrah al-mulji’, yaitu pemberian ancaman yang membuat seseorang sama sekali tidak memiliki ke­mampuan dan pilihan lain untuk menolak tindakan yang dipaksakan kepadanya. Jika ia tidak me­nuruti kehendak orang atau pihak yang memaksanya, akan terancam keselamatan jiwa atau anggota­ tubuhnya, misalnya­ ancaman akan dibunuh, dilukai, atau dipukul dengan benda keras. Dalam bentuk ini tidak terdapat unsur rida dan ikhtiar.

(2) Ikrah gair al-mulji’ atau an-naqis, yaitu pemberian­ ancaman yang tidak sampai menghilang­kan nyawa atau melukai anggota tubuh, misalnya ancaman­ dipenjarakan, dipukul dengan pukulan yang tidak berbahaya,­ atau diambil sebagian hartanya. Dalam ikrah ini, tidak terdapat unsur rida tetapi unsur ikhtiar.

Dalam beberapa kasus, ikrah al-mulji’ boleh di­jalani oleh mukrah. Contohnya, seseorang diancam akan dibunuh jika tidak mau memakan sesuatu yang haram (seperti bangkai, darah, dan daging babi). Dalam kasus ini, orang tersebut dibolehkan untuk melakukannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah al-An‘am (6) ayat 119: “…Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya bagimu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya….”

Hal ini juga dijelaskan dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan­….” Akan tetapi, jika ancamannya berupa ikrah gair al-mulji’, misalnya hukuman penjara, ia tidak diperkenankan­ makan makanan tersebut.

Contoh lain, jika seseorang dipaksa keluar dari Islam dengan ancaman akan dipotong anggota tubuhnya,­ ia boleh melakukan ikrah tersebut. Dalam hal ini, orang tersebut dianggap tidak berdosa. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah an-Nahl (16) ayat 106:

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurka­an Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)­….”

Namun jika ancaman yang diberikan berupa­ ikrah gair al-mulji’, misalnya akan diambil hartanya, menurut Mazhab Hanafi dan Maliki ancaman­ tersebut tidak boleh dijalani. Adapun menurut­ Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, ancaman tersebut boleh dilakukan dan orang yang melakukannya­ dianggap­ tidak berdosa, mengingat mayoritas ikrÎh yang terjadi pada awal Islam berbentuk ikrah gair al-mulji’.

Terdapat perbedaan antarulama tentang hukuman­ yang diberikan kepada seseorang jika ia dikenakan ikrah al-mulji’ untuk membunuh seseorang­. Menurut Imam Hanafi, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Daud az-Zahiri, Imam Hanbali,­ serta Imam Syafi‘i, dalam kasus tersebut orang yang dipaksa tidak dikenakan kisas, tetapi kisas dikenakan pada orang yang memaksa, karena orang yang dipaksa hanyalah sebagai alat orang yang memaksa.

Pendapat senada dikemukakan Ibnu Hazm. Menurutnya, hukuman kisas diberikan kepada orang yang memaksa, sedangkan orang yang dipaksa tidak dikenakan hukuman, sekalipun statusnya sebagai penyebab. Namun, menurut Imam Abu Yusuf, keduanya tidak dikenakan kisas. Alasannya, keadaan seperti itu menimbulkan adanya­ keraguan dalam menentukan­ siapa yang harus dikatakan pembunuh sebenarnya­. Karena itu, ia berpendapat orang yang dipaksa­ melakukan pembunuhan­ dikenakan hukuman diat, sedangkan yang memaksa tidak dikenakan hukuman apa pun.

Menurut Mazhab Maliki dan Syafi‘i (sesuai dengan pendapat yang terkuat di kalangan mereka), keduanya­ diberi hukuman kisas, karena pembunuh sebenarnya adalah orang yang memaksa dan penyebab­ pembunuhan itu adalah orang yang dipaksa­.

Dalam hubungan ini, mereka menganggap bahwa­ hukuman bagi pembunuhan melalui perantara dan pembunuhan secara langsung adalah sama, yaitu keduanya diberi hukuman kisas. Akan tetapi menurut mereka, jika perbuatan tersebut ti­dak bersifat menghi­langkan nyawa seseorang (seperti­ zina, mencuri, dan meminum khamar), hukuman­ hanya dikenakan kepada­ orang yang memaksa,­ sedangkan orang yang dipaksa tidak dikenakan­ hukuman.

Daftar Pustaka

ad-Duraini, Fathi. Nazariyyah at-Ta’assuf fi Isti‘mal al-haqq. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1977.

Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.

az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi saubih al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1967.

Nasrun Haroen