Ikhtiar

(Ar.: al-ikhtiyar)

Secara kebahasaan, istilah ikhtiyar berarti “memilih”. Dalam teologi, ikhtiar berarti “kebebasan memilih”. Menurut Ibnu Sina (ilmuwan muslim dari Bukhara; 980–1037), ikhtiar adalah “kekuatan memilih berdasarkan daya dan pengeta­huan yang diberikan Allah SWT melalui upaya dan intelek manusia, sehingga ia dapat memilih mengerjakan sesuatu atau tidak”.

Al-Qur’an menggunakan kata ikhtiyar pada beberapa tempat, tiga di antaranya sebagai berikut: (1) Surah Taha (20) ayat 13 yang berarti:

“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).”

Ayat ini memuat­ pernyataan Allah SWT mengenai pemilihan Nabi Musa AS sebagai utusan-Nya. (2) Surah ad-Dukhan (44) ayat 32 yang berarti:

“Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan penge­tahuan (Ka­mi) atas bangsa-bangsa.”

Ayat ini menjelaskan pemilihan­ Bani Israil sebagai bangsa yang selamat dari siksaan Fir’aun, penguasa yang lalim dan sewenang­-wenang. (3) Surah al-Qasas (28) ayat 68 yang berarti:

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” Ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa ikhtiar merupakan­ sifat Allah SWT.

Dalam Islam dikenal istilah Ahl al-Ikhtiyar (istilah­ dalam fikih: siyasi atau politik), yakni badan yang memilih seorang imam atau khalifah pada suatu negara atau pemerintahan Islam. Dalam pemahaman golongan Suni, seorang imam atau khalifah menduduki jabatan tersebut melalui pemi­lihan yang dilakukan secara musyawarah oleh Ahl al-Ikhtiyar atau disebut juga Ahl al-hall wa al-‘Aqd (Badan Pengurai dan Pengikat).

Menurut al-Mawardi (ahli fikih), anggota Ahl al-Ikhtiyar harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) bersifat adil, (2) mengetahui hal yang berguna untuk dapat menentukan­ persyaratan seorang calon imam atau khalifah, dan (3) mempunyai kearifan dan wawasan yang luas serta bijaksana dalam memilih seorang imam.

Berbeda dengan golongan Syiah. Menurut go­longan ini, Ahl al-Ikhtiyar tidak ada karena seorang imam telah ditunjuk atas dasar wasiat oleh imam sebelumnya. Pe­nunjukan itu tidak bisa batal meskipun­ imam yang terpilih telah meninggal sebelum yang berwasiat meninggal. Ia tetap diyakini sebagai imam al-Muntazar (yang ditunggu-tunggu) untuk membimbing umat pada saat mereka berada dalam kekacauan.

Seperti dalam Syiah Sab’iyah atau disebut­ Syiah Ismailiyah, Ismail menerima wasiat dari Imam Ja‘far as-Sadiq. Meskipun Ismail telah meninggal­ lebih dahulu, ia tetap diyakini sebagai seorang imam yang sah dan tidak berpindah kepada yang lain. Syiah Dua Belas (Itsna ‘Asyariyyah)­ berpendapat bahwa keimaman Ismail berpindah kepada Musa al-Kazim sampai imam yang kedua belas.

Mengenai Ali bin Abi Thalib, menurut golongan Syiah, ia berhak sebagai khalifah pertama atas dasar wasiat. Syiah yang ekstrem menyebut Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan sebagai perebut jabatan kekhalifahan­.

Adapun Syiah yang moderat berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib menggunakan taqiyah (menyembunyikan­ diri karena ada bahaya yang mengancam)­ karena ia adalah imam afdal (baik, utama).

Dalam ilmu kalam (teologi), ikhtiar berarti ke­bebasan untuk memilih (hurriyyah) atau free will. Ini terdapat dalam aliran Kadariyah yang dipelopori Ma’bah al-Juhani (w. 80 H/700 M) dan Gailan ad-Dimasyqi. Menurut paham ini, manusialah yang mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya.

Daya telah diberikan Allah SWT sebelum manusia bertindak. Oleh karena itu manusia­ bebas memilih dan berkehendak. Kebebasan memilih (seperti berbuat ses-uatu atau tidak, beriman­ atau kafir, berbuat baik atau jahat) dengan segala konsekuensinya­ terlihat dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 164, ar-Ra‘d (13) ayat 11, al-Kahfi (18) ayat 29, dan Fussilat (41) ayat 40.

Kebalikan dari paham Kadariyah adalah paham Jabariyah. Menurut paham ini, segala kehendak dan perbuatan­ manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Allah SWT. Paham demikian dapat diketahui dari teori kasb Abu Hasan al-Asy‘ari. Paham­ kasb menjelaskan bahwa perbuatan manusia tidak efektif.

Kehendak dan kemauan manusia adalah­ juga kehendak dan kemauan Allah SWT. Menurut­ al-Asy‘ari, kasb hanya dimaksudkan sehubungan­ dengan pertanggungjawaban manusia, karena memang hanya Tuhan yang berkehendak mutlak.

Adapun al-Baqillani membedakan kasb atas kasb ikhtiyar dan kasb idhtirar. Dalam kasb ikhtiyar masih terdapat usaha manusia meskipun tidak efektif­. Namun dalam kasb idhtirar manusia sama sekali tidak punya pilihan lain. Misalnya,­ orang yang menggigil­ karena demam atau kedinginan. Ini tidak dapat­ dielakkan. Kendatipun berbeda, pada hakikatnya keduanya merupakan perbuatan Allah SWT.

Daftar Pustaka

al-Baghdadi, Abu Mansur Abdul Qahir bin Tahir at-Tamimi. al-Farq Bain al-FirÎq. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1977.

al-Farra‘, Abu Ya’la. al-Ahkam as-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ’Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.

Ibnu Sina. asy-Syifa’ (al-Mantiq). Cairo: al-Hai’ah al-‘Ammah li asy-Syu’un al-Mat-abi‘i al-‘Amiriyat,­ 1964.

Khan, Qamaruddin. al-Mawardi’s Theory of the State. India: Idarah-i Adabiyat, 1979.

Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lugah wa al-Alam. Beirut: Darul Masyriq, 1986.

al-Mawardi. al-Ahkam as-Sultaniyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.

–––––––. Teologi Islam: Aliran‑Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.

Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri, 1979.

Ahmad Rofiq