Secara kebahasaan, ikhlas berarti “membersihkan sesuatu hingga bersih”. Orang ikhlas melakukan sesuatu semata-mata dengan mengharapkan rida Allah SWT. Menurut ahli tasawuf, ikhlas merupakan syarat sah ibadah, Ahli fikih tidak berpendapat demikian. Jika amal merupakan badan jasmani, ikhlas adalah jiwanya.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Allah SWT senan tiasa akan menyertai orang yang ikhlas dalam melakukan perbuatan, tujuan, cita-cita, dan amalannya, semata-mata hanya karena Allah SWT.
Ayat yang dijadikan dasar niat yang ikhlas antara lain adalah surah an-Nisa’ (4) ayat 146, surah al-A‘raf (7) ayat 29, surah az-Zumar (39) ayat 2 dan 11, surah al-Baqarah (2) ayat 139, surah Luqman (31) ayat 32, dan surah al-Bayyinah (98) ayat 5. Perintah ikhlas dikemukakan dengan tegas pada surah al-Bayyinah (98) ayat 5 yang berarti:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Adapun yang dijadikan dasar tentang niat yang ikhlas adalah hadis riwayat Bukhari yang berarti:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat, sungguh bagi seseorang (melakukan perbuatan) menurut apa niatnya. Barangsiapa hijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka ia berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia ia akan memperolehnya atau kepada perempuan yang ia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada yang diniatkannya itu.”
Begitu juga halnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali dalam kitabnya yang berjudul al-Musnad (kitab yang memuat segala macam hadis) yang berarti:
“Sungguh berbahagialah seseorang yang ikhlas hatinya untuk beriman, menjadikan hatinya pasrah, lisannya benar, jiwanya tenang, menjadikan telinganya mendengar, matanya melihat. Telinga merupakan corong, mata menjadi pengakuan kepada apa yang telah dipelihara hati.”
Dalam tasawuf, ikhlas termasuk salah satu bagian dari maqam atau station yang perlu dilalui sufi untuk bisa men dekatkan diri kepada Allah SWT. Ada pula yang menyebutnya sebagai hal (keadaan jiwa) atau batin seseorang. Menurut Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (tokoh tasawuf), maqam berbeda dengan Hal. Maqam diperoleh melalui upaya manusia, sedangkan hal diperoleh sebagai anugerah dan rahmat Allah SWT. hal bersifat sementara, datang dan pergi dalam perjalanan seorang sufi mendekati Tuhan.
Daftar Pustaka
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. sahih al-Bukhari. Beirut:Dar al-Fikr, 1981.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo:Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Ibnu Hanbal, Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad ibn hanbal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al ‘alamin. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
as-Sadlan, Salih bin Ghanim. an-Niyyah wa Atsaruha fi al-Ahkam asy-Syar‘iyyah.
Juz 1. Riyadh: Maktabah al-Khariji, 1984.
Ahmad Rofiq