Organisasi yang menghimpun hakim Peradilan Agama di Indonesia disebut Ikatan Hakim Peradilan Agama. Organisasi ini didirikan oleh para hakim dalam Munas I Peradilan Agama di Bandung pada 27 Desember 1977/16 Muharam 1398. Ikaha bertujuan untuk mewujudkan kesatuan kehakiman yang mampu menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Ide pembentukan Ikaha pertama kali dicetuskan oleh Drs. H Taufiq, S.H. (selama empat perioÂde [1977–1997] sebagai ketua umum) ketika mengikuti penataran hakim Peradilan Agama angkatan ketiga di Solo. Namun saat itu ide tersebut belum mendapat tanggapan yang memaÂdaiÂ. Untuk kedua kalinya gagasan itu disampaikan Drs. Muhammad Djazuli, S.H.
Pada penataran hakim Peradilan Agama angkatan keempat di Jakarta. Dengan suara bulat seluruh haÂkim Peradilan Agama sepakat membentuk organisasi profesi dengan nama Ikatan Hakim Agama (Ikaha). Ikaha secara resmi dibentuk dalam Munas I. Organisasi itu kemudian diresmikan H Alamsjah Ratu Perwiranegara (menteri Agama pada Kabinet Pembangunan III, 1978–1983).
Ikaha secara berturut-turut menyelenggarakan Munas II (6–9 Oktober 1982) di Jakarta, Munas III (8–10 Juli 1987) di Batu (Malang), dan Munas IV (3–6 Juli 1992) di Makassar (dulu: Ujungpandang). Pada Munas IV nama Ikatan Hakim Agama diubah menjadi Ikatan Hakim Peradilan Agama. Perubahan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa yang menjadi anggota Ikaha bukan hanya hakim Peradilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama, melainkan juga haÂkim agung pada Mahkamah Agung RI yang menangani perkara kasasi dari Peradilan Agama.
Ikaha berasaskan Pancasila dan mempunyai tujuan sebagai berikut:
(1) membina dan memelihara ukhuwah islamiah sesama anggota;
(2) menÂingkatÂkan pengabdian, peranan, dan tanggung jawab hakim agama dalam mem berikan darma baktinya kepada negara, bangsa, dan agama;
(3) mewujudkan prinsip peradilan yang bebas, cepat, dan murah, tanpa membedakan orang sebagai sendi negara hukum yang dikehendaki oleh UUD 1945;
(4) menggali dan mengembangkan hukum Islam sebagai hukum yang hidup untuk turut membina hukum nasional;
(5) menÂcapai kedudukan fungsional, ideal, dan materiil sesuai dengan tugasnya sebagai penegak hukum.
Untuk mencapai tujuan tersebut Ikaha melakukan berbagai usaha:
(1) menyelenggarakan pertemuan, ceramah, seminar, diskusi, penelitian, penerbitan, dan siaran;
(2) mengusahakan kesejahteraan dan memperhatikan hak para anggota;
(3) meÂnyampaikan usul dan saran kepada pemerintah dan badan serta lembaga lain, baik diminta mauÂpun tidak;
(4) mengadakan kegiatan lain yang sah dan berguna bagi pencapaian tujuan. Usaha tersebut dijabarkan dalam program kerja Ikaha.
Ada lima program kerja Ikaha:
(1) konsolidasi organisasi, yang melipuÂti tertib administrasi, tertib raÂpat organisasi, pengadaan atribut, hubungan kerjasama dengan organisasi lain yang asas dan profesinya sama, penyusunan buku Ikaha, pengadaan konferensi pers, dan persiapan munas;
(2) kesejahteraan anggota, yang meliputi kerjasama dengan bank (khususnya bank muamalat), taÂbungan haji, kredit perumahan, pembangunan wisma Ikaha di Jakarta, peÂningkatan kegiatan olahraga, pembinaan karier hakim, dan pemberian santunan;
(3) proÂfesionalisme hakim, yang meliputi peningkatan jenjang karier, pe ningkatan kualitas keilmuan hakim, penguasaan bahasa asing, kerjasama dengan para profesional di bidang hukum internasional serta regional, dan kepengacaraan sarjana fakultas syariah;
(4) peningÂkatan peranan hakim dalam pembinaan hukum nasional, yang meliputi penyusunÂan rancangan peraturan yang ditunjuk oleh Undang-Undang No. 7 tahun 1989 dan pembinaan hukum nasional; dan
(5) peningkatan citra dan wibawa hakim.
Struktur organisasi Ikaha terdiri dari pengurus pusat, pengurus wilayah, dan pengurus cabang. Pengurus pusat berkedudukan di ibukota negara dan kekuasaannya meliputi seluruh wilayah RI. PengurusÂnya terdiri dari seorang ketua umum, tiga ketua, seorang sekretaris umum dan tiga sekretaris, dua bendahara, dan bebeÂrapa orang yang memimpin beberapa departemen menurut kebutuhan. Ketua Mahkamah Agung RI dan menteri Agama RI adalah pelindung pengurus pusat.
Pengurus pusat juga membentuk dewan pembina yang ketua dan jumlah anggotanya ditetapkan oleh pengurus pusat dan unsur pimpinan Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Pengurus wilayah berkedudukan di ibukota propinsi dan kekuasaannya meliputi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama. Pengurusnya terdiri dari seorang ketua umum, dua ketua, seorang sekretaris umum dan dua sekretaris, dua bendahara, dan beberapa orang yang memimpin beberapa bidang menurut kebutuhan.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama adalah pembina pengurus wilayah. Adapun pengurus cabang berkedudukan di ibukota kabupaten dan kekuasaannya meliputi wilayah hukum Pengadilan Agama atau gabungan dari beberapa wilayah hukum Pengadilan Agama. Cabang dapat dibentuk apabila beranggotakan minimal 5 orang. Pengurus cabang terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, dan seorang bendahara. Ketua Pengadilan Agama adalah penasihat pengurus cabang. Masa jabatan pengurus pusat, wilayah, dan cabang berlangsung selama 5 tahun.
Kode etik hakim meliputi sifat batiniah dan sikap lahiriah yang harus dimiliki dan diamalkan oleh hakim. Sifat hakim adalah bertakwa kepada Allah SWT, adil, bijaksana, berwi bawa, berbudi luhur, tepercaya, perwira, dan jujur (amanah)Â.
Sifat ini diungkapkan dalam lambang Ikaha. Lambang Ikaha terdiri dari beberapa unsur:
(1) Bintang (kartika) melambangkan sifat takwa kepada Allah SWT.
(2) Senjata (cakra) melam bangkan alat keadilan yang ampuh untuk memusnahkan segala kebatilan, kezaliman, dan ketidakadilan.
(3) Bulan (canÂdra) melamÂbangkan sifat bijakÂsaÂna dan berwibawa.
(4) Bunga (sari) melati melambangkan sifat budi luhur, tepercaya, dan perwira.
(5) Kitab Al-Qur’an melam-bangkan sifat yang jujur. Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT dan sumber hukum yang melandasi kejujuran setiap hakim dalam mengambil keputusan.
(6) Kata hikmah merupaÂkan rangkuman seluruh arti lambang.
Adapun sikap hakim mencakup baik sikap dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Sikap hakim dalam kedinasan meliputi: sikap dalam persidangÂan; sikap terhadap atasan, sesama rekan, dan bawahan; serta sikap terhadap instansi lain. Adapun sikap hakim di luar kedinasan meliputi sikap sebagai pribadi, kepala rumah tangga, dan anggota masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Hakim Peradilan Agama Pimpinan Pusat. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan Kode Etik Hakim Peradilan Agama. Jakarta: t.p., 1993.
–––––––. Laporan Seminar Sehari Pengadilan Agama Sebagai Peradilan Keluarga dalam Masyarakat Modern. Jakarta: t.p., 1993.
–––––––. Realisasi Keputusan Munas IV Ujung Pandang. Jakarta: t.p., 1992.
–––––––. Riwayat Singkat Ikatan Hakim Peradilan Agama. Jakarta: t.p., 1994.
Husmiaty Hasyim