Secara kebahasaan, ijhad berarti “hilang” atau “gugur”. Dalam hukum Islam istilah ijhad berarti “tindak pidana yang dilakukan seseorang terhadap wanita hamil, sehingga janin dalam kandungan wanita tersebut keguguran dalam keadaan meninggal dunia atau dalam keadaan hidup”.
Masalah ijhad merupakan pembahasan dalam hukum pidana Islam. Menurut ulama fikih, jika seseorang memukul atau membunuh seorang wanita yang sedang hamil sehingga janinnya tersebut gugur dalam keadaan meninggal dunia, pelaku tindak pidana ini akan dikenakan hukuman diat. Ia harus menyerahkan budak kesayangannya (laki-laki atau perempuan) kepada ahli waris janin. Budak tersebut senilai dengan 5 ekor unta atau 50 dinar (500 dirham menurut Mazhab Hanafi atau 600 dirham menurut jumhur ulama) tanpa membedakan jenis kelamin janin yang wafat itu.
Ada perbedaan jumlah dirham di kalangan ulama karena ada perbedaan pandangan terhadap nilai tukar dinar. Menurut Mazhab Hanafi, satu dinar senilai dengan 10 dirham sedangkan menurut jumhur ulama senilai 12 dirham.
Menurut ulama fikih, jumlah hukuman tersebut di dasarkan pada hadis Rasulullah SAW tentang dua orang wanita dari suku Huzail yang berkelahi. Salah seorang di antara mereka memukul yang lain dengan batu sehingga wanita yang hamil dan janinnya meninggal dunia. Lalu kasus ini disampaikan orang kepada Rasulullah SAW.
Nabi SAW memutuskan hukuman bagi pembunuh yaitu menyerahkan budak laki-laki atau perempuan kesayangannya atas kematian janin, dan hukuman atas kematian ibu janin adalah diat sebesar 100 ekor unta yang ditanggung keluarga pembunuh (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurai-rah).
Menurut jumhur ulama, pembunuhan yang dilakukan dalam kasus hadis ini termasuk pembunuhan “tidak sengaja” (tidak menggunakan alat untuk membunuh dan tidak berniat membunuh). Karenanya, hukuman yang dikenakan kepada terpidana dalam kaitannya dengan ibu janin yang meninggal adalah diat sebesar 100 ekor unta.
Jika pembunuhan ini berstatus “sengaja” (menggunakan alat yang dapat mematikan dan berniat membunuh), hukumannya adalah kisas. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 178 yang berarti:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama jika pengguguran janin tersebut dilakukan ibunya sendiri, baik dengan cara memukul perutnya atau memakan obat-obatan. Mazhab Hanafi mengatakan jika seorang wanita memukul kandungannya atau meminum obat khusus untuk menggugurkan kandungan tanpa seizin suaminya sehingga janin itu gugur dan wafat, wanita itu dikenakan denda dengan memerdekakan seorang hamba sahaya.
Namun, ia tidak dikenakan kafarat, kecuali jika yang bersangkutan secara sukarela memerdekakan seorang hamba sahaya dalam rangka taqarrub. Mazhab Maliki juga tidak mewajibkan kafarat selain diat yang telah ditentukan, namun mereka tetap menganjurkan kafarat dengan wafatnya janin tersebut.
Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali menyatakan bahwa ibu yang sengaja menggugurkan janinnya, baik hingga wafat maupun bertahan hidup, dikenakan kafarat. Alasannya janin tersebut memiliki jiwa yang diharamkan Allah SWT mem bunuhnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 92:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin secara tersalah (hendaklah) ia merdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbubuh itu) ….”
Menurut Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali, dengan melihat agama orangtuanya maka janin ini dihukumkan mukmin. Jika hamba sahaya wanita tidak ada, kafarat bisa diganti dengan sejumlah uang senilai dengan harga hamba sahaya wanita pada saat itu atau wanita ini dikenakan kafarat puasa dua bulan berturut-turut.
Jika seorang wanita mengalami ijhad yang menyebab kan janinnya gugur dalam keadaan hidup tetapi tidak lama kemudian meninggal dunia, untuk menentukan hukuman bagi pelakunya harus dilakukan penelitian. Apabila hasil penelitian menyimpulkan bahwa kematian janin itu disebabkan pemukulan yang dilakukan orang terhadap ibunya, ada dua kemungkinan hukuman yang dikenakan kepada pelaku pemukulan.
Pertama, jika pukulan itu membawa kepada kematian, menurut Mazhab Maliki hukumannya adalah kisas. Kedua, jika pukulan tersebut tidak membawa kepada kematian hukumannya adalah membayar diat (100 ekor unta). Alasannya, janin yang gugur dan sempat hidup itu termasuk dalam jiwa yang diharamkan syarak untuk membunuhnya.
Mazhab Hanafi, Hanbali, dan salah satu riwayat dari Mazhab Syafi‘i menyatakan pukulan yang menyebabkan janin meninggal dunia tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja, sehingga kisas tidak berlaku dalam kasus ini.
Menurut mereka, pembunuhan seperti ini tergo long kepada pembunuhan semi-sengaja atau tidak sengaja. Karenanya, menurut Mazhab Hanafi, hukuman yang diberikan kepada pelakunya adalah diat penuh; sedangkan menurut Mazhab Syafi‘i dan Hanbali hukumannya adalah diat dan kafarat.
Selanjutnya menurut mereka, jika kemudian ibu janin tersebut juga meninggal setelah pemukulan itu, untuk pelanggaran ini pun terpidana wajib membayar diat penuh.
Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi, apabila ibu janin meninggal dunia karena pemukulan tersebut kemudian janinnya pun lahir dalam keadaan wafat, hukuman bagi pelakunya adalah diat bagi si ibu. Pelaku tidak dikenakan hukuman diat untuk kematian janin. Tetapi menurut mereka, pelaku tersebut tetap dikenakan hukuman takzir.
Namun, jika hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian janin tersebut dise-babkan karena pukulan yang dilakukan pelaku pemukulan, hukumannya kembali seperti semula, yaitu diat untuk ibu dan diat pula untuk janin yang wafat. Adapun menurut Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali, hukumannya adalah diat untuk kematian ibu dan menyerahkan seorang budak laki-laki atau perempuan untuk kematian janin.
Jika janin yang wafat karena pemukulan itu bukan mukmin, menurut Mazhab Hanafi hukumannya tetap seperti yang berlaku bagi janin dari keluarga muslim, karena diat untuk orang yang membunuh atau memukul orang kafir sama dengan diat memukul orang muslim. Pendapat senada dikemukakan Mazhab Hanbali. Menurut mereka, janin yang lahir itu dianggap muslim, karena lahir di negeri muslim.
Akan tetapi Mazhab Maliki berpendapat bahwa terhadap janin bukan mukmin yang hidup di negara Islam dikenakan sepersepuluh diat ibu, yaitu 10 ekor unta. Mazhab Syafi‘i berpendapat, hukuman yang dikenakan bagi pelaku tindak pidana terhadap janin Yahudi atau Nasrani adalah sepertiga hukuman yang dikenakan terhadap janin mukmin.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami. Cairo: Dar al-‘Urubah, 1964.
al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. al- Lu’lu’u wa al-Marjan. Kuwait: Wazarah al-Awqaf asy-Syu’un al-Islamiyah, 1977.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Mazkur, Muhammad Salam. al-Qadha’ fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.
Nasrun Haroen