Ihya’ ‘Ulum ad-Din secara kebahasaan berarti “menghidupkan ilmu agama”. Istilah ini menjadi judul salah satu buku karya al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M). Ia dikenal sebagai hujjah al-Islam (Hujjatul Islam) karena berjasa membela Islam dari serangan dan pengaruh rasional-isme Yunani (Helenisme). Buku ini dianggap sebagai salah satu sumber penting ilmu akhlak dan tasawuf.
Ihya’ ‘Ulum ad-Din merupakan karya al-Ghazali terbesar dan berpengaruh di dunia Islam. Kitab ini ditulis setelah ia kembali dari pengembaraannya di Nisabur (Iran timur laut) dalam usia 50 tahun. Sampai sekarang buku ini menjadi bacaan sebagian umat Islam dan merupakan jawaban atas berbagai paham dan aliran. Kitab Ihya’ terdiri dari 16 jilid den-gan kurang lebih 3.085 halaman. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Ihya’ memberi corak dan karakter Islam dalam ilmu akhlak, sehingga dianggap sebagai salah satu sumber ilmu akhlak dan tasawuf. Kandungan kitab Ihya’ meliputi ibadah dan muamalah. Uraian fikihnya bercorak Syafi‘i dan teologinya bercorak Asy‘ari. Selain itu al-Ghazali membagi ilmu atas yang lahir dan yang batin. Yang lahir mencakup ibadah dan muamalah, sedangkan yang batin mencakup ilmu untuk membersihkan hati dari sifat tercela dan ilmu untuk meng-hiasi hati (qalb) dengan sifat yang terpuji.
Dalam kitab Ihya’, ilmu dibagi menjadi ilmu yang fardu ain (kewajiban individual) dan fardu kifayah (kewajiban kolektif). Ihya’ menjelaskan bahwa ilmu yang wajib dicari menurut Islam adalah ilmu untuk mengetahui pelaksanaan kewajiban syariat Islam dan harus diketahui dengan pasti, misalnya pengetahuan zakat bagi seorang peternak atau pengetahuan riba bagi seorang pedagang.
Al-Ghazali juga membagi ilmu pada ilmu agama dan ilmu nonagama. Keduanya diklasifikasikan pada yang terpuji (mahmud) dan yang tercela (madzmum). Dalam hal ilmu agama yang terpuji tercakup antara lain: (1) usul (dasar) yang mencakup Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan tradisi sahabat Nabi SAW; (2) furuk (cabang) seperti fikih, etika, dan tasawuf; (3) pengantar, seperti kaidah bahasa Arab, nahu, dan sharaf; dan (4) pelengkap, seperti mempelajari ilmu usul fikih dan ilmu hadis.
Ditinjau dari uraian pembahasannya, al-Ghazali membagi Ihya’ menjadi empat bagian uraian, yakni tentang: (1) ibadah,
(2) muamalah, (3) hal yang dapat merusak tata kehidupan manusia, dan (4) hal yang dapat menyelamatkan manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
Uraian ibadah meliputi sepuluh bahasan, yaitu ilmu, kaidah tentang akidah (keyakinan), rahasia bersuci, rahasia salat, rahasia zakat, rahasia puasa, rahasia haji, tentang membaca Al-Qur’an, berzikir serta berdoa, dan urutan ketika berwirid (bacaan yang terpuji).
Uraian tentang muamalah meliputi sepuluh bahasan, yaitu etika makan, etika nikah, etika bekerja, etika berteman, etika bepergian, etika mendengarkan dan bersenang-senang, etika amar makruf nahi mungkar (mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran), tentang moral (yang halal dan haram), tentang uzlah (menjauhkan diri dari keramaian dunia untuk bermunajat kepada Allah SWT), dan tentang akhlak kenabian.
Uraian tentang hal yang dapat merusak sendi kehidupan manusia meliputi penjelasan tentang keajaiban hati, riadat (olah jiwa), bahaya dari keinginan perut dan kemaluan, bahaya lisan (mulut), bahaya amarah, bahaya dengki dan hasut, tercelanya urusan dunia, tercelanya harta kekayaan dan kebakhilan, tercelanya kedudukan (pangkat) dan ria (pamer), tentang kesombongan, tentang takabur, dan tentang penipuan.
Adapun uraian yang membahas hal yang dapat men jadikan manusia selamat di dunia dan akhirat meliputi tobat, mahabah, niat, sabar, dan syukur kepada Allah SWT, takut dan berharap, fakir dan zuhud, tauhid dan tawakal, rindu dan rida, berbuat benar dan ikhlas, muraqabah (pendekatan diri pada Allah SWT) dan muhasabah (introspeksi diri), dan tentang berpikir serta mengingat mati.
Pembahasan al-Ghazali dimaksudkan untuk menunjukkan kepada pembaca nya agar menjalankan ibadah tidak hanya formalitas, tetapi dapat menang kap rahasia (asrar) ibadahnya, mulai dari ibadah yang wajib sampai yang sunah. Bahwa ibadah bukan sekadar memenuhi kewajiban melainkan untuk mendekat kan diri kepada Allah SWT. Rahasia ini penting dalam ibadah hati untuk dapat mencapai makrifat.
Untuk masalah muamalah al-Ghazali mengingatkan agar diperhatikan akhlak yang tercela, yang ditolak Al-Qur’an untuk mem bersihkan jiwa dan hati, sebab-sebab yang timbul serta bahayanya yang akan muncul. Al-Ghazali juga menunjukkan bagaimana cara mengatasi perbuatan tercela dengan bersandar pada dalil yang berupa ayat Al-Qur’an dan sunah.
Pembahasan mengenai hal yang dapat menyelamatkan manusia pada dasarnya merupakan etika manusia berhubungan dengan Allah SWT untuk mendekat-kan diri kepada-Nya. Al-Ghazali mengemukakan hakikat dan batasannya, hasil atau faedah dari pemenuhan etika tersebut, tanda yang dapat diketahui serta keutamaannya dengan pertimbangan syarah dan akal.
Ihya’ ‘Ulum ad-Din disusun setelah al-Ghazali berkecimpung dalam ilmu fikih, teologi, filsafat, mantik, retorika, dan lain-lain, tetapi bagi al-Ghazali semuanya itu tidak mem-berikan kepuasan batin. Mulai dari sinilah ia meninggalkan urusan keduniaan untuk hidup zuhud dan makrifat kepada Allah SWT. Ia telah memperoleh ilmu secara langsung dari Allah SWT yang tak terbantah lagi oleh siapa pun.
Dengan Ihya’ inilah al-Ghazali dinilai Abdullah al-Yafi‘i sebagai tokoh para pengarang. Al-Yafi‘i, menurut riwayat al-Id-rus, menceritakan bahwa ada seorang ulama besar ahli fikih terkenal di Maroko (salah satu wilayah Magribi) bernama Abu Hasan Ali bin Harzaham yang membenci dan mengingkari kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Karena benci, ia memerintahkan untuk membakar seluruh naskah kitab Ihya’ tersebut. Pada malam harinya Ibnu Harzaham melihat dalam mimpinya seolah-olah ia masuk masjid, di situ terdapat Nabi SAW, Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, dan al-Ghazali di sisi Nabi SAW. Dalam mimpinya, ia melihat bahwa Nabi SAW dan para sahabat terdekatnya tersebut membenarkan isi kitab Ihya’ dan memberikan penilaian baik.
Kemudian Ibnu Harzaham bertobat kepada Allah SWT atas kekeliruannya. Setelah itu tidak henti-hentinya Ibnu Harzaham mem-pelajari kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din sampai Allah SWT membukakan hatinya dan mencapai makrifat, sehingga ia termasuk guru besar dan ahli ilmu lahir dan batin.
Banyak pula pujian-pujian yang senada, misalnya orang yang mendalami dan mengamalkan isi kitab Ihya’ akan memperoleh rida Allah SWT, dan Allah SWT akan mengabulkan cintanya. Di dalamnya ter kandung pula syariat, tarekat, dan hakikat di dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Namun demikian, tentu ada yang mengkritik dan mengecamnya. Zaki Mubarak, misalnya, adalah salah satu pengecam utama dari paham akhlak al-Ghazali. Karena pendekatan-nya yang sufistik, orang awam tidak mudah menangkap isyarat yang ada di dalamnya.
Daftar Pustaka
Ali, Nawab. Some Moral and Religion Teaching of al-Ghaz-ali. Lahore: Moh. Ashraf, 1920.
Ba’alawi, Abdul Qadir bin Abdullah al-Idrus. Kitab Ta‘rif al-Ahya’ bi Fadha’il al-Ihya’. Cairo: Dar asy-Sya’b, t.t.
Dunia, Sulaiman. al-haqiqah fi Nazar al-Gazali. Cairo: Dar al-Ma’arif, t.t.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1929.
Quasem, M. Abul. Etika al-Ghazali. Bandung: Penerbit Pustaka, 1988.
as-Suhrawardi, Abu Hafs ‘Umar. ‘Awarif al-Ma‘arif, pada catatan pinggir Ihya‘ Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Watt, Montgomery. The Faith and Practice of al-Gazali. Oxford: Oneworld, 1994.
Ahmad Rofiq