Ihtikar

(Ar.: al-ihtikar)

Ihtikar adalah sebuah istilah perekonomian yang berarti “menyimpan atau menimbun barang dagangan­ untuk menunggu lonjakan harga”. Secara etimologis, ihtikar berasal­ dari kata hakara yang berarti­ az-zulm (aniaya)­ dan isa’ah al-mu‘asyarah (merusak pergaulan).

Menurut Imam asy-Syaukani (w. 1250 H/1834 M), ahli hadis dan usul fikih, ihtikar berarti “penim­bunan barang dagangan dari peredarannya”. Imam al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M) mengartikannya­ sebagai “penjual makanan yang menyimpan barang dagangannya dan menjualnya setelah harga­nya­ melonjak”. Adapun menurut ulama Mazhab Maliki, ihtikar berarti “penyimpanan barang oleh produsen, baik berupa makanan, pakaian, maupun segala­ barang yang dapat merusak pasar”.

Ketiga pendapat tersebut secara esensial mempunyai­ pengertian yang sama, yaitu “menyimpan barang­ yang dibutuhkan oleh masyarakat dan memasarkannya­ setelah harga melonjak”, namun dari jenis barang yang disimpan atau ditimbun terjadi perbedaan. Imam asy-Syaukani dan ulama Mazhab Maliki tidak memerinci barang apa saja yang disimpan­ tersebut. Berbeda dengan pendapat keduanya, Imam al-Ghazali mengkhususkan ihtikar kepada jenis­-jenis makanan.

Dengan menganalisis berbagai pengertian tentang ihtikar yang dikemukakan ulama dan memperhatikan situasi perekonomian pada umumnya,­ Fath ad-Duraini (guru besar bidang fikih dan usul fikih di Fakultas Syariah Universitas Damascus) memberikan suatu pengertian.

Menurutnya,­ ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, serta enggan untuk menjual dan memberikan­ harta atau jasanya kepada orang lain, sehingga harga pasar melonjak secara drastis karena­ persediaan terbatas atau stok hilang sama se­kali dari pasar, sementara kebutuhan masyarakat, negara atau hewan amat mendesak untuk mendapatkan­ barang, manfaat, atau jasa tersebut. Peng­ertian yang dikemukakan ad-Duraini lebih luas, ka­rena tidak saja menyangkut komoditi, tetapi juga man­faat suatu komoditi dan bahkan jasa para pem­beri jasa.

Misalnya, seorang pedagang kacang tanah tidak­ mau menjual barang dagangannya­ pada awal bulan Ramadan karena pada akhir Ramadan orang sangat membutuhkan kacang tanah dan saat itu ia menjual dagangannya­ dengan menaikkan harganya. Dalam masalah jasa, contohnya adalah jasa penerbangan, transportasi atau buruh; ketika terjadi “embargo”, harga jasa ini akan naik dan pada saat itulah mereka mulai menawarkan jasanya.

Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, para ahli fikih menghukumkan­ ihtikar sebagai salah satu perbuatan­ yang dilarang oleh agama. Dasar hukum pelarangan­ ihtikar adalah kandungan­ Al-Qur’an yang menyatakan­ bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di da­lamnya kegiatan ihtikar, diharamkan agama (QS.2:279, QS.5:2 dan 6; dan QS.22:78). Di samping itu dalam sunah Rasulullah SAW banyak dijumpai hadis yang tidak membenarkan perbuatan ihtikar, misalnya:

“Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam,­ Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat” (HR. at-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar).

Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa yang melakukan penimbunan ba­rang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, ia telah berbuat salah” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Dalam riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah SAW juga dikatakan:

“Para pedagang yang me­nimbun barang makanan (kebutuhan pokok ma­nusia) selama 40 hari, ia terlepas dari (hubungan­ dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)nya.”

Berdasarkan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW di atas, ulama sepakat bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang atau haram. Meskipun demikian, terdapat sedikit perbedaan pendapat di antara mereka tentang cara menetapkan hukum tersebut, sesuai dengan sistem pemahaman hukum yang mereka miliki.

Menurut jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Maliki, Syafi‘i, Hanbali, dan Zaidiyah sertaImam al-Kasani (ahli fikih Mazhab Hanafi), ihtikar itu hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat dan hadis di atas. Menurut ulama Mazhab Maliki, ihtikar tersebut hukumnya­ haram dan harus dapat diken­dalikan peme­rintah dengan segala cara. Oleh sebab itu, pihak penguasa harus segera turun tangan­ untuk mengatasinya.

Ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa hadis di atas mengan­dung peng­ertian yang dalam. Orang yang melakukan­ ke­salahan (al-khata’) dengan sengaja berarti telah mengingkari ajaran syarak (hukum Islam) dan sya­riat. Kalangan Mazhab Hanbali juga mengatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan yang diharam­kan syarak, karena membawa­ mudarat yang besar terhadap masyarakat dan negara.

Ibnu Qudamah (tokoh Mazhab Hanbali, 541 H/1147 M–620 H/1223 M) mengemukakan sebuah hadis yang intinya Nabi SAW melarang (nahÎ) untuk melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia (HR. Asram dari Abu Umamah).

Adapun para ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perbuatan ihtikar itu adalah perbuatan makruh tahrim (larangan yang didasarkan pada dalil yang zanni). Menurut mereka, larangan se­cara te­gas hanya muncul dari hadis ahad (Hadis). Karena itu, mereka tidak mengatakan­­haram.

Apabila penimbunan suatu barang telah terjadi di pasar, maka pemerintah berhak memaksa pe­dagang untuk menjualnya dengan harga normal pada saat itu. Bahkan menurut ulama fikih, para pedagang menjual barang tersebut dengan harga modal sebagai hukumannya, karena mereka tidak berhak mengambil untung.

Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa hakim berhak menyita barang tersebut dan mem­bagikannya kepada masyarakat yang sangat membutuhkannya apabila pedagang enggan menjual barang itu dengan harga modal.

Di samping harus bertindak tegas, pemerintah sejak sem-ula seharusnya dapat melakukan antisipasi agar tidak terjadi ihtikar dalam setiap komoditi, manfaat, atau jasa, yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bahkan ad-Duraini berpendapat bahwa pemerintah tidak boleh mengekspor barang-barang kebutuhan­ warganya sehingga­ tidak ada lagi barang yang dapat dikonsumsi­ masyarakatnya. Hal ini, tentu saja dapat menimbulkan mudarat terhadap kehidupan masyarakat­nya.

Daftar Pustaka

ad-Duraini, Fathi. al-Fiqh al-Islami al-Muqaran ma‘a al-Madzahib. Damascus: Matba‘ah Tarriyin, 1399 H/1979 M.

Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1981.

Ibnu Taimiyah. al-hisbah fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.

al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. at-turuq al-hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah.

Cairo: Mu’assasah al-‘Arabiyyah li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1961.

asy-Syaukani, Imam. Nail al-Autar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Nasrun Haroen