Ihsan

(Ar.: al-ihsan)

Ihsan berasal dari akar kata ahsana-yuhsinu­-ihsan yang berarti “berbuat baik”. Orang yang beribadah kepada Allah SWT dapat melihat-Nya (dengan mata hati). Jika tidak melihat-Nya, ia yakin Allah SWT melihatnya. Dengan­ demikian,­ ihsan berarti “suasana hati dan perilaku untuk senantiasa merasa dekat dengan Tuhan,­ sehingga tindakan sesuai de­ ngan hukum Allah SWT.

Pengertian tersebut di atas dapat ditunjukkan dalam dialog antara Malaikat Jibril dan Rasulullah SAW. Malaikat Jibril bertanya, “Apa ihsan itu?” Nabi SAW menjawab, “(Yaitu) apabila kamu menyembah (beribadah)­ kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya maka apabila ka­mu tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Ia me­lihatmu” (HR. Bukhari).

Dalam Al-Qur’an terdapat 11 tempat yang menyebutkan­ kata “ihsan” dengan berbagai konteks dan 40 tempat yang menggunakan kata itu sebagai sebutan pelaku ihsan (orang yang berbuat baik/muhsin) serta masih banyak lagi sebutan lain.

Mengenai yang pertama, dapat disebut­kan sebagai berikut: pembayaran diat (tebusan) oleh pelaku tindak pidana yang dimaafkan keluarga korban (QS.2:178), penyelesaian rujuk atau cerai secara baik (QS.2:229), orang yang dengan baik mengikuti orang yang pertama masuk Islam di antara kaum Muhajirin dan Ansar (QS.9:100), perbuatan baik kepada kedua orangtua dan keluarga (QS.2:83, QS.4:36, QS.6:151, dan QS.17:23), permintaan­ damai dari orang munafik (QS.4:62), balasan kebaikan tidak lain hanyalah kebaikan (QS.55:60), dan perintah untuk berbuat adil dan baik, sebagaimana firman Allah SWT dalam­ surah an-Nahl (16) ayat 90 yang berarti:

“Sesung­guhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemung­karan­ dan permusuhan. Dia memberi peng­ajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Adapun ihsan sebagai sebutan bagi pelaku kebaikan berhubungan dengan:

1) kepasrahan kepada Allah SWT (QS.2:112, QS.4:125, dan QS.31:22);

2) Allah SWT yang senantiasa menyertai orang yang berbuat kebaikan (QS.16:128);
3) orang yang sedikit­ tidur malam untuk berdoa kepada Allah SWT (QS.51:17 dan 18);
4) Allah SWT yang akan menambah nikmat kepada orang yang berbuat kebajikan (QS.2:58, QS.7:161, dan QS.33:29);

5) Allah SWT yang mencintai orang yang berbuat kebai-kan (QS.7:161, QS.5:13, QS.2:236, QS.3:134 dan 148, dan QS.5:96);
6) balasan surga kepada orang yang berbuat baik (QS.5:85; QS.39:34; QS.6:84; QS.12:22; QS.28:14; QS.37:80, 105, 110, 121, dan 131; dan QS.77:44);
7) rahmat Allah SWT yang amat dekat dengan orang yang berbuat baik (QS.7:56);
8) tidak adanya alasan untuk menyalahkan orang yang berbuat baik (QS.9:91);
9) Allah SWT yang tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik (QS.9:120, QS.11:115, QS.12:56 dan 90);

10) orang yang menakbirkan (menerangkan, menjelaskan) mimpi (QS.12:36);
11) orang yang berlaku baik kepada orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat baik serta bersedia me­ nyembelih binatang kurban (QS.22:37);

12) Allah SWT yang senantiasa menyertai orang yang berbuat baik dengan berjihad fi sabilillah (di jalan Allah) (QS.29:69); dan
13) Al-Qur’an yang merupakan petunjuk dan rahmat bagi orang yang berbuat baik (QS.31:3) dan juga kabar gembira bagi mereka (QS.46:12).

Ihsan dijadikan motto oleh para sufi dalam­ menempuh kehidupan tasawufnya. Tasawuf bertujuan untuk mende­katkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan melalui akidah (keimanan), pengamalan syariat Islam, dan akhlak. Akhlak ini­lah yang men­jadi prinsip utama ihsan. Seorang sufi setelah melalui stasiun (maqam), seperti tobat, zuhud, fakir, sabar, tawakal, rida, mahabah,­ dan makrifat, dapat melihat Tuhan dengan mata hati (sirr) yang terdapat dalam roh atau kalbu.

Karena itu untuk memperoleh ihsan, sebagaimana digambarkan dalam hadis Rasulullah SAW, diperlukan usaha yang berat lagi tidak mudah. Namun pada dasarnya manusia dengan roh, kalbu, atau sirrnya dapat dekat sekali dengan Tuhan, karena Tu­han Yang Maha Suci hanya bisa didekati roh, kalbu, atau sirr yang suci.

Abdul Karim al-Jili (tokoh tasawuf) memasukkan ihsan sebagai salah satu stasiun (maqam) yang harus dilalui calon sufi dalam mencapai derajat­ insan kamil (manusia yang sempurna). Setelah sampai pada derajat tersebut, calon sufi menempuh­ taraqi (jalan naik) untuk memperoleh nur Muhammad, dengan melalui tiga tahap, yaitu bidÎyah­ (permulaan), tawassut (pertengahan), dan khitam (terakhir).

Daftar Pustaka

Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu‘jam al-Mufahras li AlfΈ Al-Qur’an al-Karim.Cairo: Dar asy-Syi’bi, 1938.

Ibnu Kasir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr, 1966.

al-Jili, Abdul Karim bin Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma‘rifah al-Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.

Nasr, Sayid Hossein. Living Sufisim. London: Unwin Paperbacks, 1980.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

–––––––. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986. al-Qardawi, Muhammad Yusuf. al-hman wa al-hayah, atau Iman dan Kehidupan, terj. H. Fakhruddin H.S. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.

ar-Razi, Muhammad Fakhruddin bin Umar. Tafsir al-Fakhr ar-Razi. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Cairo: Dar al-Manar, 1948–1956.

Schimmel, Annemarie. Mystical Dimention of Islam. North Carolina: The Univer-sity of North Carolina Press, 1975.

az-Zamakhsyari. Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Ahmad Rofiq