‘Iffah adalah dorongan syahwat pada posisi pertengahan (ugahari) antara kedurhakaan karena penggunaan yang berlebihan dan ketidakberdayaan karena pengendalian terlalu ketat. Ini sejalan dengan pendapat Ibnu Maskawaih (330 H/941 M–421 H/1030 M), ahli sejarah dan filsafat. Menurutnya, ‘iffah berarti “sikap ugahari antara menuruti dorongan syahwat secara berlebihan dan mengekangnya secara terlampau ketat”.
Memperturutkan dorongan syahwat yang berlebihan dipandang buruk karena membawa sikap melanggar dan melampaui batas ketentuan agama, kesopanan, dan akal sehat. Demikian pula mengekang syahwat yang terlampau ketat akan membawa keburukan, karena dapat mematikan gerak dan aktivitas manusia dalam memenuhi kenikmatan yang diperlukan anggota tubuh.
Al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M), seorang sufi dan filsuf muslim, memberi istilah ‘iffah. Adapun Ahmad Amin, pakar di bidang ilmu akhlak, memberi istilah syaja‘ah (keperwiraan). Namun, keduanya sepakat untuk menempatkan ‘iffah sebagai salah satu dari induk akhlak yang terdiri dari: hikmah (kebijaksaan), syaja‘ah, ‘iffah, dan keadilan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa apabila syahwat tersebut disalurkan dengan tidak berlebihan sesuai dengan perintah syariat, akal sehat, dan tata krama kesopanan, akan timbul dua keuntungan: (1) kenikmatan dan kebahagiaan fisik tercapai, dan (2) keturunan serta perkembangan umat manusia menjadi lestari. Dorongan syahwat yang terlepas dari bimbingan agama dan akal sehat akan menimbulkan suatu keburukan.
Ahmad Amin dalam bukunya al-Akhlaq (Ilmu Etika) mengatakan bahwa mengekang nafsu dalam arti luas adalah keinginan sederhana untuk mengenyam kelezatan dan keinginan untuk tunduk kepada hukum akal. Kelezatan ini mengenai tubuh dan jiwa. Seseorang disebut dapat mengekang nafsunya apabila ada keseimbangan dalam kelezatan tubuh dan emosinya.
Al-Ghazali dan Ahmad Amin sepakat menyatakan bahwa ‘iffah muncul dari dorongan hawa nafsu syahwat yang berjalan sesuai dengan tuntunan agama, akal sehat, dan sopan santun.
Dari ‘iffah dapat muncul akhlak yang terpuji lainnya, seperti al-haya’ (perasaan malu melanggar larangan Allah SWT dan peraturan sosial), as-sabr (kesediaan menghadapi ujian), pemaaf, qanaah (merasa cukup atas segala pemberian Allah SWT), warak (menjauhkan diri dari makanan, minuman, dan sesuatu yang haram), berperasaan halus, rela menolong, dan tidak terlalu mengharapkan bantuan orang lain.
Sebaliknya, kedua tokoh tersebut mengatakan bahwa jika sifat ‘iffah itu hilang dari diri seseorang, akan timbul akhlak yang buruk seperti tamak, rakus, tidak mempunyai rasa malu, boros, keji, lengah, suka pamer, merusak diri sendiri, gila hormat, suka berkata yang tidak berarti (omong kosong), mengambil muka (menjilat), dengki, menghina orang lain, dan bergunjing.
Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa dari sifat ‘iffah akan muncul berbagai fadha’il (akhlak utama, istimewa, dan terpuji), antara lain al-haya’ (rasa malu), as-sabr (sikap sabar), asy-syakha’ (rasa kasih sayang dan kedermawanan), al-hurriyyah (rasa bebas dari perasaan berdosa), qanaah (rasa cukup puas atas segala pemberian Allah SWT), al-intizam (hidup tertib dan teratur), husn al-hadyi (pertimbangan yang baik), dan warak (menjauhkan diri dari yang haram dan subhat).
Lebih lanjut Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa bebe rapa sikap yang utama tersebut berada pada posisi dua keburukan, misalnya asy-syakha’ adalah sikap pertengahan antara sikap at-tabdzir (boros) dan sikap al-bukhl (kikir). Ia kemudian mengatakan bahwa setiap orang yang tidak melampaui batas keseimbangan terhadap yang dimakan, diminum, dikerjakan, dan ditempuh, dapat disebut orang yang ‘afÓf.
Sikap ‘iffah dalam arti wasatan (pertengahan, ugahari) sejalan dengan tuntunan dalam Al-Qur’an. Menurut Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, seorang pakar tafsir Al-Qur’an, kata wasatan di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak empat kali dan diberi pengertian bersikap adil dan wajar di dalam melak sanakan segala keinginan (QS.2:143; 5:89; 7:31; dan 25:67).
Pelaksanaan sikap ‘iffah dalam Al-Qur’an dicontohkan pada pribadi Nabi Yusuf AS. Al-Qur’an menyebutkan bahwa ketika tinggal serumah dengan Nabi Yusuf, Zulaikha menggoda Yusuf agar mau memenuhi keinginan syahwatnya. Zulaikha mengurung Yusuf dalam kamar dan menguncinya dari dalam sambil berkata, “Marilah ke sini.” Namun Yusuf enggan mengikuti keinginannya sambil berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik” (QS.12:23).
Sikap ‘iffah selanjutnya disebut dalam hadis yang diriway atkan Bukhari dan Muslim, yang berarti:
“Ada tujuh golongan yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yaitu: imam yang adil; pemuda yang dibesarkan dalam beribadah kepada Allah; orang yang hatinya terpaut pada masjid mulai ia keluar sampai masuk ke masjid itu; dua orang yang saling mencintai, hidup dan berpisah bersama-sama karena Allah; seseorang yang selalu berzikir kepada Allah dalam keadaan sepi sehingga mengalir air matanya; seseorang yang diajak (berhubungan badan) oleh seorang wanita yang terhormat, kaya raya, dan cantik namun orang itu mengatakan bahwa ia takut kepada Allah yang menguasai seluruh alam; dan seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.”
Daftar Pustaka
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaˆ Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Amin, Ahmad. al-Ahklaq, atau Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma‘ruf. Jakarta:Bulan Bintang, 1983.
Bek, Ahmad al-Hasyimi. Mukhtar al-Ahadits an-Nabawiyyah. Cairo: Matba‘ah Hijazi, 1948.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’z Ulum ad-Din. Beirut:
Dar al-Kitab al-Islami. t.t.
–––––––. Khuluq al-Muslim. Kuwait: Dar al-Bayan, 1956.
Ibnu Maskawaih. Tahdzib al-Akhlaq wa Ta’khir al-A‘raq. Cairo: Maktabah al-Misriyah, 1934.
Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitab, 1979.
Abuddin Nata