Idrak mempunyai arti ilhaq bi asy-syai’, wa nailuhu, wa asy-syu‘ur bihi, wa ‘alamahu (mendapatkan, mencapai, merasakan, dan mengetahui sesuatu). Dalam kajian filsafat Islam, istilah idrak banyak digunakan dengan arti “mengetahui sesuatu melalui usaha yang mengerahkan segenap potensi rohani yang dimiliki manusia”.
Ibnu Sina (Afsyanah, Bukhara, 370 H/980 M–Hamdan, 428 H/1037 M), filsuf dan dokter muslim kenamaan, ketika membahas masalah jiwa mengatakan bahwa idrak merupakan gambaran mengenai sesuatu yang serupa dengan apa yang diamati.
Hasil gambaran itu terkadang berhubungan dengan hakikat sesuatu yang tidak memiliki wujud dalam kenyataan, seperti gambaran mengenai hitungan. Idrak yang demikian disebut tasawwur. Jika dapat diwujudkan, maka idrak tersebut disebut tasdhiq al-juz’i (pembenaran sesuatu secara terperinci). Idrak dalam pengertian terakhir dianggap sama dengan ilmu pengetahuan yang meliputi seluruh potensi pengamat tersebut.
Ibnu Sina menjelaskan proses kerja idrak sebagai berikut. Idrak terjadi dari dua segi: Pertama, melalui masukan yang diperoleh dari luar dengan menggunakan pancaindra; kedua, melalui masukan yang diperoleh dari dalam, yaitu pengertian yang sudah terlepas dari materinya dengan menggunakan enam macam daya:
(1) al-hiss al-musytarak (indra bersama), (2) common sense (Ing.: menerima segala apa yang ditangkap pancaindra), (3) al-quwwah al-khayal (representasi, yaitu menyimpan segala yang diterima oleh indra bersama), (4) al-quwwah al-mutakhayyilah (imajinasi, yaitu menyusun segala yang disimpan dalam representasi),
(5) al-quwwah al-wahmiyyah (estimasi, yaitu daya yang dapat menangkap hal abstrak yang terlepas dari materinya), dan (6) al-quwwah al-hafizah (rekoleksi, yaitu daya yang dapat menyimpan hal yang abstrak yang diterima oleh estimasi).
Terdapat perbedaan tentang alat yang digunakan dalam idrak. Pendapat pertama dari ahli filsafat, antara lain al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M), seorang sufi dan filsuf Islam kenamaan, memasukkan akal sebagai alat idrak, sedangkan pendapat kedua tidak memasukkannya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa idrak terbatas pada apa yang dapat dicapai as-sam‘u (pendengaran), asy-syumm (penciuman), adz-dzauq (perasaan lidah), dan al-lams (perabaan atau sentuhan). Idrak yang bersifat fisik yang dicapai pancaindra disebut ilmu. Informasi yang dicapai akal yang ditampakkan oleh panca indra disebut makrifat. Dari segi alat dan jangkauan yang dicapai, makrifat itu lebih dalam daripada idrak.
Ibnu Sina mengatakan bahwa idrak yang menggunakan panca indra bisa terjadi pada binatang dan manusia. Adapun idrak yang dicapai dengan akal khusus terjadi pada manusia. Idrak yang di capai manusia bersifat pengertian yang sudah terlepas dari pancaindra. Idrak seperti itulah yang dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. Idrak itu pula yang dapat dicapai manusia, khususnya para filsuf.
Al-Ghazali mengatakan bahwa idrak dapat pula dicapai ahli tasawuf dengan adz-dzauq (indra batin). Ada pula idrak yang khusus dicapai para nabi dengan al-hadas (intuisi). Sufi yang telah mencapai idrak adz-dzauq dapat mencapai pengetahuan yang hakiki dari Allah SWT disertai perasaan kehadiran Allah SWT dalam dirinya.
Seorang nabi yang telah mencapai idrak al-hadas dapat memahami wahyu yang diberikan Allah SWT dan dapat memperoleh mukjizat (kemampuan yang luar biasa yang tidak bisa dicapai manusia biasa).
Idrak ada empat macam:
(1) idrak al-hissi, yaitu perolehan pengetahuan yang dicapai melalui pancaindra yang terjadi pada binatang dan manusia;
(2) idrak al-‘aqli, yaitu pengetahuan yang dicapai melalui akal yang terjadi pada manusia, khususnya para filsuf;
(3) idrak adz-dzauq, yaitu pengetahuan yang dicapai melalui perasaan batin yang khusus dicapai para ahli tasawuf; dan
(4) idrak al-hadas, yaitu pengetahuan yang dicapai melalui intuisi yang terjadi pada para nabi. Dari keempat macam idrak tersebut muncullah ilmu, makrifat,hakikat, dan mukjizat.
Berbagai pengertian dan pemahaman tentang sesuatu yang diperoleh manusia sesungguhnya merupakan hasil dari proses idrak tersebut. Hal ini sebenarnya dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari, khususnya oleh orang yang melakukan pengkajian terhadap suatu masalah atau oleh orang yang berpikir.
Daftar Pustaka
Abu Rayyan, Muhammad Ali. Qira’at fi al-Falsafah. Iskandariyah: Dar al-Qaumiyyah, 1967.
al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. Risalah fi an-Nafs wa Baqa’uha wa Ma‘adiha li asy-Syaikh Ibn Sina. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1952.
Ibnu Sina. al-Isyarat wa at-Tanbihat. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1947.
–––––––. asy- Syifa’ (al-Mantiq). Cairo: al-Hai’ah al-‘Ammah li asy-Syu’un al-Matabi‘i al-‘Amiriyat, 1964.
al-Iraqi, Muhammad ‘Atif. al-Falsafah at-tabi‘iyyah ‘inda Ibn Sna. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr, 1970.
Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri, 1978.
Abuddin Nata