Idham Chalid

(Setui, Kalimantan Selatan,­ 5 Januari 1921–Jakarta,31 Maret 2004)

Idham Chalid adalah seorang ulama Nahdlatul Ulama(NU) dan tokoh politik yang pernah menduduki berbagai jabatan. Pada 1942 ia menamatkan pendidikan di Kulliyatul Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI Putra) Pondok Modern Gontor (Ponorogo), lalu menjadi guru di almamaternya (1943–1944). Ia juga pernah menjadi guru agama SMA serta direktur SGA di Amuntai dan ketua Badan Wakaf Pondok Gontor.

Idham Chalid mengawali karier politiknya ketika Idham Chalid menduduki jabat­an ketua Masyumi cabang Amuntai (1944–1945). Pada masa kemerdekaan RI, ia aktif sebagai anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR). Akhir Desember 1947 ia menjadi anggota Serikat Kerakyatan Indonesia­ (SKI) yang diketuai Gusti Anwar.

Ia juga pernah duduk sebagai anggota DPR pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dari tahun 1949 hingga 1950 dan ‘sekretaris pribadi’ KH A. *Wahid Hasyim, yang pada saat itu memang­ ku jabatan menteri Agama­ dalam Kabinet Hatta. Hubungan itu cepat menimbulkan­ simpati dari kalangan NU.

Dengan dasar pengalaman di pemerintahan (DPR-RIS) dan hubung­an pribadinya dengan KH A. Wahid Hasyim, ia diangkat menjadi ketua Ma’arif (pendidikan) yang selama ini dipe­gang KH A. Wahid Hasyim. Beberapa tahun ia memperoleh­ kepercayaan menjadi pimpinan Gerakan Pemuda Ansor,dan selanjutnya diangkat menjadi sekretaris umum PBNU (1952–1956).

Pada Muktamar NU ke-21 (1956) di Medan, ia terpilih menjadi ketua umum PBNU. Hal ini terjadi setelah Muktamar NU ke-19 di Palembang (1952) memu­tuskan­ NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik. Idham Chalid menjadi pen­damping KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghadapi perkembangan­ baru itu.

Dalam proses selanjutnya, sebagai ketua umum PBNU, ia mengarahkan langkahnya pada tiga tujuan:

(1) mengam­bil simpati ulama generasi pendiri atau yang memper­oleh­ sosialisasi langsung dengan generasi pendiri;

(2) memperluas­ dan mengembangkan­ cabang NU di daerah, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan luar Jawa; dan

(3) me­ningkatkan­ pendekatan hubung­annya dengan ulama di daerah, khususnya di Jawa Timur. Ketiga cara inilah­ yang memperkuat­ kepemimpinannya­ dalam NU sejak 1956 sampai dengan muktamar NU di Semarang pada 1979.

Dalam pemilihan umum pada 1955 ia berkampanye untuk partai NU. Sebagai hasilnya, ia menjadi wakil perdana menteri (waperdam) II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956–1957). Kabinet­ ini lebih dikenal sebagai Kabinet Ali-Roem-Idham. Se­jak itu, Idham Chalid selalu mendapat jabatan penting­ dalam pemerintahan.

Dalam kabinet berikutnya,­ ia menjabat waperdam II dalam Kabinet Djuanda (1957–1959). Kedudukannya dalam Kabinet Djuanda ini telah mengaburkan ‘ikrar’ yang pernah dibuat bersama Masyumi, Katolik, Parkindo, serta PRI. Ikrar bersama itu berisi, antara lain, me­ nolak konsepsi Soekarno tentang demokrasi terpimpin.

Sebagai konsekuensi atas penerimaan ini, ia melakukan politik penyesuaian diri. Antara lain, Idham Chalid dan KH Saifuddin Zuhri atas nama NU bersedia mendasarkan programnya pada kompromi politik dengan Presiden Soekarno.

Pada 1960, Idham Chalid terlibat dalam penyusunan parlemen untuk angkatan 1960. Setelah Kabinet Presidentil yang lebih dikenal dengan Kabinet Soekarno (1959–1965) diubah pada 1962, ia masuk kabinet (1962) sebagai wakil ketua II MPR(S). Dalam kabinet 1963, ia duduk sebagai menteri ex officio.

Ketika Orde Lama (orla) jatuh pada 1966, ia tetap mampu bertahan dan diangkat menjadi menteri­ Kesejahteraan Rakyat (1967–1970). Pada 1970–1971 ia memperoleh jabatan sebagai menteri Sosial (ad interim), dan sejak 1971 hingga 1977 menduduki jabatan sebagai ketua DPR/MPR.

Melalui fraksi di DPR hasil Pemilu 1971 dimulai proses fusi parpol ke dalam­ wadah baru. Dalam lingkungan parpol Islam, NU yang memperoleh 58 kursi, Parmusi (Partai Musli­min Indonesia) 24 kursi, PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia) 10 kursi, dan Perti (Persatuan Tarbiyah­ Islamiyah) 2 kursi, telah dibentuk gabungan yang diberi nama ‘kelompok spiritual’ yang menjadi motor terciptanya fusi keempat parpol Islam tersebut ke dalam wadah baru, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sebagai realisasi konsep penyederhanaan parpol Islam tersebut, Idham Chalid bersama H M.S. Mintaredja, S.H. menyusun komposisi kepengurusan PPP untuk pertama kalinya pada 1973. Sebagai hasilnya, ia memangku jabatan sebagai presiden partai sedangkan H M.S. Mintaredja, S.H. sebagai wakilnya. Dua tahun kemudian (1975) PPP menyelengga­rakan Musyawarah Nasional (Munas) I.

Sebagai hasilnya, menurut­ anggaran dasar (AD) partai, presiden partai memegang­ peranan kunci dalam proses pengambilan keputusan, bahkan dianggap berhak mengambil keputusan sendiri dalam keadaan darurat. Di samping itu, ada forum yang mengatur proses pengambilan keputusan yaitu Dewan Presidentil­.

Dewan ini terdiri dari 4 unsur: Idham Chalid (wakil NU); Thayeb Mohammad Gobel (PSII); Rusli Halil (Perti); dan Jailani Naro (Parmusi). Namun dalam praktiknya, pe­ranan kunci presiden partai tidak berjalan semestinya. Dalam keadaan semacam itu Idham Chalid kurang berperan karena alasan kesehatan­ yang menurun.

Sejak masa kampanye pemilu­ 1982 Idham Chalid berobat ke luar negeri dan sampai kembali ke tanah air belum juga pulih, sehingga tidak mungkin mengemban amanat muktamar yang dikhawatirkan akan merugikan NU.

Atas dasar pertim-bangan itu, para ulama sesepuh atau ulama generasi pendiri NU memutuskan untuk me­ngirimkan utusan kepada Idham Chalid yang terdiri­ dari KH Ali Maksum, KH Machrus Ali, KH Mujib Ridwan, KH As’ad Syamsul Arifin, dan KH Masykur, memintanya mengundurkan diri serta menyerahkan jabatan ketua umum PBNU kepada Rais Am NU waktu itu, KH Ali Maksum.

Idham Chalid menyetujui konsep tersebut dan me­ nambahkan sendiri diktum dari keputusan peng­unduran diri itu dengan kalimat “atas nasihat dari para alim ulama sesepuh NU”. Peristiwa itu terjadi pada 2 Mei 1982. Ia meminta agar peng­umuman surat pengunduran dirinya yang bertanggal 6 Mei 1982 tidak mengganggu situasi akhir pemilu. Usul Idham Chalid diterima para utusan.

Menjelang pertengahan Mei 1982, ia mencabut surat pengunduran­ dirinya karena para pendukungnya­ (sebanyak 17 wilayah) bereaksi setelah pengunduran diri itu di­umumkan pada 6 Mei 1982. Dari sinilah muncul istilah “Kelompok Cipete” sebagai kubu Idham Chalid dan “Kelom­pok Situbondo” sebagai kelompok lain.

Konflik yang berawal dari perbedaan pendapat tentang rasa­ tidak puas dari sejumlah tokoh NU terhadap daftar calon Pemilu 1982 yang disusun DPP-PPP itu berakhir pada kesempatan ‘tahlilan’ memperingati meninggalnya para pendiri NU (KH A. Wahid Hasyim, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syamsuri) di Surabaya pada September 1984.

Idham Chalid yang menjabat sebagai ketua umum PBNU (1956–1984) menguasai secara aktif bahasa Arab, Inggris, dan Belanda, serta bahasa Jerman dan Perancis secara pasif. Ia memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas al-Azhar, Cairo. Dalam periode 1977–1983 ia menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sampai 1991 ia masih

duduk sebagai salah seorang ketua Tim Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Sejak tidak lagi aktif di bidang politik, ia banyak menujukan perhatian pada perkembangan­ keagamaan dengan memberi ceramah di berba­gai tempat. Ia mendirikan lembaga pendidikan, yakni Perguruan al-Maarif di Cipete, Jakarta Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Abdul Basit. Kemelut di NU antara Kyai dan Politisi. Solo: CV. Mayasari, 1982.

Bulkin, Farchan. “Pengantar,” Analisa Kekuatan Politik di Indonesia: Pilihan Artikel

Prisma. Jakarta: LP3ES, 1985.

Irsyam, Mahrus. Ulama dan Partai Politik: Upaya Mengatasi Krisis. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984.

Mahfudz, Maksoem. Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya: Yayasan Kesatuan Ummat, 1982.

Nakamura, Mitsuo. Agama dan Perubahan Politik Tradisionalisme Radikal Nahdlatul Ulama di Indonesia, terj. Surakarta: Hapsara, 1982.

Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.

Zuhri, KH Saifuddin. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung, 1987.

Budi Sulistiono