Ibtikar

Ibtikar berarti “hasil ciptaan seseorang untuk pertama kali”. Ibtikar berasal dari kata bakara yang berarti “awal sesuatu”. Ulama fikih klasik, tidak berbicara tentang hak cipta. Dalam buku al-Fiqh al-Islami al-Muqaran ma‘a al-Madzahib (Fikih Islam dalam Perbandingan Mazhab) karya Fath ad-Duraini (ahli fikih dan usul fikih), ibtikar adalah “gambaran pemikiran sebagai kreasi pertama dari seorang ilmuwan­ melalui kemampuannya”.

Dari segi hak, definisi ibtikar menunjukkan bahwa hasil ciptaan atau kreasi ini tidak berbentuk materi yang berdiri sendiri yang dapat diraba dengan­ alat indra manusia. Ibtikar baru akan berbentuk dan mempunyai pengaruh­ bila di­ tuangkan ke dalam tulisan seperti buku atau media lainnya.

Ciptaan ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali, tetapi dapat pula berbentuk suatu penemuan­ sebagai perpanjangan dari teori ilmuwan sebelumnya. Demikian juga halnya dengan terje­mahan, termasuk dalam kategori ciptaan, karena adanya kemampuan bahasa dan usaha penerjemah untuk menyebarluaskan suatu karya ilmiah meskipun­ pemikiran asalnya tidak muncul dari penerjemah­.

Dari sisi fikih, ibtikar disamakan dengan manfaat­ hasil tanaman setelah hasil pemikiran tersebut tertuang dalam bentuk buku atau karya seni. Hanya saja perbedaan antara hasil tanaman dan hasil pemikiran­ seorang ilmuwan terlihat dari segi sumber dan pengaruhnya. Hasil tanaman mempu­ nyai asal yang bersifat materi, sedangkan hasil cip­taan/kreasi ilmuwan tersebut tidak berupa materi.

Dengan­ demikian, hasil tanaman dapat berdiri sendiri­ dan langsung bermanfaat bagi manusia, se­dangkan hasil pemikiran manusia tidak dapat berdiri­ sendiri sebagai benda dan akan ada manfaat­nya jika hasil pemikiran tersebut di­tuangkan dalam buku atau media lainnya.

Hasil ciptaan atau kreasi itu sendiri merupa­kan suatu lambang yang membedakan­ antara seorang ilmuwan dan manusia lainnya,­ sebagaimana firman Allah SWT dalam surah az-Zumar (39) ayat 9 yang berarti: “…apakah sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui…?” Jika hak cipta dikaitkan dengan pengertian harta dalam Islam, ulama Mazhab Syafi‘i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat­ bahwa harta tersebut bukan hanya berbentuk materi, tetapi juga berbentuk manfaat yang jelas.

Imam Syafi‘i mengatakan­ bahwa yang dikatakan harta itu adalah yang dapat dimanfaatkan manusia,­ baik berupa benda atau manfaat. Sehubungan­ dengan hal ini, hak cipta atau kreasi seorang ilmuwan atau seniman juga bernilai harta dan dapat­ diperjualbelikan. Orang yang sewenang-we­nang terhadap hak cipta atau kreasi orang lain da­pat dituntut secara perdata.

Oleh sebab itu dalam ijtihad ulama Mazhab Syafi‘i, Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali, dan sebagian ulama Mazhab Hanafi, ciptaan atau kreasi ilmuwan­ atau seniman termasuk ke dalam pengertian harta yang berman­faat setelah hasil pemikiran tersebut dituang­kan ke dalam buku atau media lainnya.

Landasan ciptaan dalam fikih Islam adalah ‘urf (adat-istiadat) dan al-maslahah al-mursalah. Keduanya dapat dijadikan landasan dalam­ menetapkan­ hukum selama tidak bertentangan dengan­ ayat Al-Qur’an atau hadis dan hukum yang ditetapkan­ tersebut merupakan persoalan­ duniawi.

Dari segi ‘urf, kreasi tidak hanya berlaku dan bernilai harta dalam masyarakat tertentu, tetapi dianggap pula bernilai harta oleh seluruh umat manusia­. Adapun dari segi al-maslahah al-mursalah, kreasi merupakan suatu kemaslahatan yang amat berharga bagi umat manusia serta memberikan manfaat­ yang amat besar dalam memajukan dan menyejahterakan­ umat manusia yang merupakan tujuan yang hendak dicapai syariat Islam.

Menurut­ Imam Izzuddin bin Abdus Salam (w. 660 H), ahli fikih Mazhab Syafi‘i, ketenteraman, kesejahte­­ra­an, dan kebahagiaan manusia merupakan tuju­an utama diturunkannya syariat Allah SWT. Oleh se­bab itu, dari segi landasan hukum, kedudukan hak cipta sebagai sesuatu­ yang bermanfaat dan bernilai harta sangat kokoh.

Kreasi memenuhi segala persyaratan dari suatu harta dalam fikih Islam dan berkedudukan sama dengan harta halal lainnya­. Ciptaan atau kreasi dapat dijadikan objek transaksi, diwariskan jika pemiliknya meninggal dunia, dan dijadikan wasiat jika seseorang ingin berwasiat. Oleh sebab itu, kreasi ini harus mendapatkan perlin­dungan hukum yang sama dengan hak lain yang dimiliki seseorang.

Fikih Islam juga membahas hubungan antara pemilik hak cipta dan penerbit. Dari segi transaksi, hak cipta atau kreasi termasuk ke dalam akad jual-beli, bukan sewa-menyewa. Dengan kata lain, hasil pemikiran seorang ilmuwan yang akan dituangkan dalam bentuk buku hanya dapat diperjualbelikan, bukan disewakan.

Jual-beli di sini dapat berarti karya tersebut dibeli seluruhnya dan selanjutnya menjadi milik penerbit. Penerbit bebas mencetak dan memperjual­belikannya. Selain itu, dapat juga dibuat perjanjian jual-beli dengan sistem bagi hasil dengan kesepakatan kedua belah pihak (sistem royalti)­.

Untuk sistem royalti, jika pemilik hak cipta meninggal dunia, hak royalti menjadi milik ahli warisnya. Dalam kaitan ini, para ahli fikih Islam menekankan perlunya perjanjian yang jelas mengenai bentuk transaksi yang dilakukan, se­hingga tidak muncul kecurangan dari kedua belah pihak.

Akan tetapi, karena pencetakan buku berke­mungkinan dalam waktu yang amat panjang dan pertimbangan keadilan dalam bermuamalah, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jangka waktu hak pengarang dan ahli waris terhadap hasil karyanya perlu dibatasi.

Dalam kaitan ini Fath ad-Duraini lebih cenderung menyerahkan persoalan ini kepada­ pemerintah yang mengaturnya melalui perundang­-undangan. Ia mengu­sulkan, hak ahli waris da­lam mendapatkan royalti tersebut maksimal­ 60 tahun,­ karena ahli waris tersebut akan turun-temurun­ dan masa depannya sulit untuk diprediksikan.

Ada kemungkinan ahli waris pada generasi cucu sudah terlalu banyak, sehingga pembagian hak royalti­ ini dapat menim-bulkan perpecahan keluarga penga­rang sendiri. Menurutnya, masa 60 ta­hun masih dalam batas generasi anak dan cucu yang belum begitu banyak.

Apabila terjadi kecurangan dari pihak penerbit dalam pencetakan buku yang melebihi kesepakatan­ kedua belah pihak, sedangkan pemilik hak cipta tidak diberitahu dan tidak dimintakan izinnya terlebih dahulu, pemilik hak cipta dapat menggugat­ penerbit secara perdata ke pengadilan.

De­mikian juga halnya dengan upaya suatu penerbit yang melakukan penjiplakan terhadap hak cipta atau kreasi seseorang. Sebaliknya, apabila pemilik hak cipta atau kreasi telah menjual hasil karyanya itu kepada satu penerbit untuk diterbitkan dan kemudian­ menjual pula hasil karyanya kepada penerbit lain tanpa sepengetahuan dan seizin pe­nerbit pertama, penerbit tersebut berhak me­nuntut pemilik hak cipta atau kreasi tersebut ke pengadilan secara perdata.

Berkaitan dengan hal itu, ad-Duraini mengajukan­ pembatasan­ waktu hak waris selama 60 tahun untuk menghindari­ kasus seperti tersebut di atas. Pembatasan waktu ini juga berlaku bagi pe­nerbit;­ penerbit berhak menerbitkan buku tersebut selama 60 tahun. Apabila jangka waktu itu berakhir,­ penerbit mana pun mempunyai­ hak yang sama dalam mencetak dan menerbitkan buku itu, karena karya itu telah menjadi milik masyarakat­ luas.

Mengingat landasan hak cipta adalah ‘urf dan al-maslahah al-mursalah, yang memegang pe­ranan penting dalam menentukan segala persyaratan,­ bentuk perjanjian, dan jangka waktu berlakunya perjanjian sepenuhnya adalah adat kebia­saan­ masyarakat setempat, sejalan dengan ke­ maslahatan yang harus dicapai.

Oleh sebab itu, banyak di antara ahli fikih berpendapat bahwa hak cipta atau kreasi itu harus diatur oleh pemerintah dalam undang-undang dengan mempertim­bangkan kemaslahatan kedua belah pihak selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat.

Daftar Pustaka

ad-Duraini, Fathi. al-Fiqh al-Islami al-Muqaran ma‘a al-Madzahib. Damascus: Matba‘ah Tarriyin, 1399 H/1979 M.

–––––––. haqq al-Ibtikar fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

–––––––. al-haqq wa Mada Sultan ad-Daulah fi Taqyidih. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1978.

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr, 1970.

Salam, Izzuddin bin Abdus. Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.

asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari‘ah. Beirut: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, t.t.

Zakaria, Ahmad bin Faris. Mu‘jam Maqayis al-Lugah. Beirut: Dar al-Jail, 1991.

Nasrun Haroen