Ibrahim Hosen

(Bengkulu, 1 Januari 1917–Singapura, 7 November 2001)

Ia adalah seorang ulama fikih, pemrakarsa­ berdirinya sekaligus rektor (1971–1977) PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) dan pendiri serta rektor IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) di Jakarta­ sejak tahun 1977–2001. Ia juga pemrakarsa pembaruan pemikiran di bidang hukum Islam di Indonesia. Sejak 1980 ia menduduki jabatan­ ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia­.

Ibrahim Hosen adalah anak kedelapan dari pasang­an KH Hosen, seorang ulama dan saudagar ke­turunan Bugis, dan Siti Zawiyah, seorang ketu­runan ningrat dari Kerajaan Salebar. Ketika berusia 5 tahun, Ibrahim Hosen dibawa ayahnya merantau ke Jakarta.

Di sini sang ayah berdagang sambil mengawasi anaknya yang ketiga, Otsman Hosen, menuntut ilmu di Jami’at Khair, Tanah Abang. Dalam usia 8 tahun Ibrahim Hosen mengikuti orangtuanya pindah ke Singapura. Selang beberapa tahun ke­mudian­ keluarganya­ pindah lagi ke Lampung.

Pendidikan resmi yang pertama­ kali dimasuki Ibrahim Hosen ialah Madrasah Assagaf (setingkat­ ibtidaiyah) di Singapura sampai duduk di kelas empat karena harus mengikuti keluarganya pindah ke Lampung­. Di kota ini ia masuk sekolah­ Mu’awanatul Khair Arabische School (MAS), sekolah yang didirikan­ ayahnya.

Setamat­ dari MAS, Ibrahim Hosen melanjutkan pendi­dikan­­nya ke tingkat tsanawiyah pada 1932 di Teluk Betung. Ia kemudian melanjutkan­ pendidikannya­ di SMP Darul Muallimin Jakarta dan tamat dari sana pada 1934. Untuk ting­kat lanjutan atas, ia belajar di SMA Pesantren Menengah, Sukabumi.

Di samping belajar secara for­ mal di sekolah, Ibrahim Hosen pun belajar agama dan bahasa Arab dari para kiai pesantren, misalnya dari KH Abdul Latif di Pesantren Cibeber, Cilegon, Banten. Di pesantren ini ia hanya belajar selama kurang lebih 2 bulan, lalu pindah ke Jami’at­ Khair di Tanah Abang, Jakarta. Tetapi, di tempat ini ia malahan ditawari untuk mengajar, bukan belajar sebagai siswa.

Dari Tanah Abang, Ibrahim Hosen melanjutkan pengembaraannya ke Pesantren Lontar di Serang, Banten. Di pesantren ini, ia belajar kiraat dan tilawah­ Al-Qur’an dari KH T.B. Shaleh Ma’mun, di samping juga belajar ilmu agama lainnya.

Kemudian ia pindah ke Pe­santren Buntet di Ci­rebon yang dipimpin KH Abbas, pesantren di Solo yang dipimpin Sayid Ahmad Assegaf, dan Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi yang dipimpin Kiai Sanusi. Di Pesantren Gunung Puyuh, Ibrahim Hosen mempelajari kitab al-’Umm (Induk), ilmu balaghah, dan kitab lainnya.

Lepas dari Pesantren Gunung Puyuh, ia diberi kesempat­an oleh Jepang yang saat itu menjajah Indonesia untuk belajar di sekolah Gunsei Gakko, yang mendidik para siswa yang sudah menjadi pegawai untuk menjadi asisten wedana. Dari sekolah ini ia banyak mempelajari ilmu pemerintahan serta persoalan adminis­trasi­. Pendidikan formal terakhir yang disele­saikan Ibrahim Hosen adalah Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Cairo (1960).

Pengalaman Ibrahim Hosen menyangkut­ masalah tugas pemerintahan­ antara lain adalah sebagai berikut: (1) koor­dinator Urusan­ Agama Keresidenan Bengkulu (1950–1955); (2) dekan Fakultas Syariah IAIN Palembang me­rangkap IAIN Jambi (1962–1964); (3) rektor IAIN Raden Patah Palembang (1964–1966); (4) kepala Biro Humas & Luar Negeri Departe­men Agama RI (1966–1971); (5) penasihat ahli menteri Agama RI (1971–1982); (6) guru besar Fakultas Syariah­ IAIN Jakarta (1979–1982); dan (7) anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (1993).

Pengalamannya dalam kemasyarakatan­ antara lain meliputi tugas sebagai: (1) dosen terbang UISU (Universitas Islam Sumatera Utara) Medan sejak 1961; (2) anggota delegasi Indonesia ke Konferensi Penelitian Islam di Cairo, ke Konferensi Islam di Islamabad, ke Konferensi Islam Tingkat Pemerintahan di Malaysia (1969); dan (3) ketua delegasi BKKBN ke Timur Tengah (1985).

Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) yang didirikannya memiliki kurikulum yang mirip dengan IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Yang khas, kedua­ perguru­an­ tinggi swasta ini mewajibkan mahasiswanya untuk menghafal­ seluruh­ juz Al-Qur’an. Ciri khas lain, PTIQ diperuntukkan khusus untuk pria, sedangkan IIQ khusus untuk wanita.

Ibrahim Hosen dikenal sebagai seorang ulama yang ikut mempra­karsai pembaruan pemikiran di bidang hukum Islam dengan me­nempuh langkah awal, antara lain: (1) menggalakkan­ lembaga ijtihad; (2) mendudukkan fikih pada proporsi yang sebenarnya, yaitu sebagai hukum yang harus digali­ melalui ijtihad, karena belum ditegaskan oleh nas; sedangkan hukum syariat adalah hukum Islam yang telah dijelaskan secara tegas oleh nas;

(3) membebaskan orang awam dari keterikatan dengan suatu mazhab (aliran); artinya, mereka boleh berpindah mazhab; dan (4) menum­buhkan sikap tole­ransi di dalam bermazhab. Beberapa pemikiran Ibrahim Hosen tentang pembaruan hukum Islam antara lain adalah membolehkan wanita menjadi hakim­ pengadilan agama, membolehkan melakukan KB terutama pemakaian spiral, melakukan ijtihad tentang asuransi, dan meluruskan kriteria judi.

Menurut Ibrahim Hosen, ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan sebelum se­seorang melakukan pembaruan di bidang fikih, yaitu eksistensi berbagai agama, Islam sebagai agama dakwah, dan hubungan muslim dengan nonmuslim.

Mengenai eksistensi berbagai agama, Ibrahim Hosen menjelaskan bahwa adanya berbagai agama itu merupakan sunatullah; dengan demikian, wajarlah apabila di muka bumi ada berbagai agama yang dianut manusia. Ia mendasarkan pendapatnya itu pada surah Yunus (10) ayat 99, surah Hud (11) ayat 118, dan surah an-Nahl (16) ayat 92.

Tentang Islam sebagai agama dakwah, Ibrahim Hosen merujuk kepada Al-Qur’an surah al-Ma’idah (5) ayat 99, surah al-Baqarah (2) ayat 256, dan surah an-Nahl (16) ayat 125. Sementara mengenai prinsip hubungan muslim dengan nonmuslim, ia mendasarkannya pada surah al-Mumtahanah (60) ayat 8, surah al-MÎ’idah (5) ayat 8, surah al-æajj (22) ayat 39, dan surah an-Nisa’ (4) ayat 144.

Dari prinsip dasar tersebut di atas, Ibrahim Hosen mem­buat kerangka landasan pemi­kiran­ pembaruan di bidang fikih, yaitu pemahaman­ terhadap kitabullah (Al-Qur’an), pemahaman­ terha­dap­ hadis Nabi Muhammad SAW, pen­dekatan ta‘aqquli (penalaran), masalah ijmak, pendekat­ an zawajir (pencegahan) pada hukum pidana, penggalakan­ al-maslahah al-mursalah (kemas­la­hatan­ umum), peng­gunaan kaidah irtikab akhaffi adh-dhara­rain­ (memilih­ satu hal yang kemudaratannya­ paling ringan), penggunaan dalil sadd adz-dzari‘ah (mencari inti permasalahan dan dampak­ suatu perbuatan), dan pemfikihan yang qat‘i (pasti).

Sebagian karya ilmiah Ibrahim Hosen diterbitkan dalam bentuk buku dan sebagian lagi ditulis dalam bentuk makalah. Karya dalam bentuk makalah berjumlah sekitar dua ratus buah, sementara dalam bentuk buku antara lain adalah:

(1) Sahkah Khutbah dengan Bahasa Ajam? (1940),

(2) Tuntutan Sabil (Bengkulu, 1946),

(3) Penjelasan tentang Hukum Bir (1969);

(4) Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Ruju’ dan Kewarisan (1971),

(5) Ma Huwa al-Maisir (Apakah Judi Itu?) (1987),

(6) Sekitar­ Masalah Syubhat (1989), dan

(7) Bunga Rampai Filsafat Hukum Islam (1997).

Daftar Pustaka

Hosen, Ibrahim. Prof. KH Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Putra Harapan, 1990.

Atang Abd. Hakim