Ibnu Sina (nama lengkap: Abu Ali al-Husain bin Abdullah) adalah seorang ilmuwan luar biasa. Ia memperoleh pendidikan formal dalam waktu singkat, selebihnya autodidak. Ketika masih berusia muda, ia sudah menghafal Al-Qur’an, menguasai ilmu agama, dan ahli dalam matematika, logika, astronomi, serta musik. Namun ia lebih dikenal sebagai seorang dokter dan filsuf. Di Barat, ia dinamai Avicenna.
Ayahnya adalah seorang pegawai tinggi pada Dinasti Samaniyah (204 H/819 M–395 H/1005 M). Sejak kecil Ibnu Sina belajar menghafal Al-Qur’an dan ilmu agama. KemuÂdian ia mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, hukum Islam, teologi, keÂdokÂteran, dan metafisika.
Dengan demikian, ia menguasai berbagai ilmu pengetahuanÂ. ProÂfesinya di bidang kedokteran dimulai sejak ia berumur 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil meÂnyembuhkan Nuh bin Mansur (976–997), salah seorang penguasa Dinasti Samaniyah.
Ia dua kali menjabat sebagai menteri pada Dinasti Hamdaniyah (293 H/905 M–394 H/1004 M). KareÂna terlibat persoalan politik, ia dipenjarakan dan dipecat dari kedudukanÂnya sebagai menteri.
Kebesaran nama Ibnu Sina terlihat dari beberapa gelar yang diberikan orang kepadaÂnya, seperti asy-Syaikh ar-Ra’is (Guru para Raja) di bidang filsafat dan Pangeran para Dokter di bidang kedokteranÂ. Ia meninggalkan banyak karya tulis, tidak kurang dari 200 buah, termasuk buku saku dan kumpulan suratnya.
Kebanyakan bukunya berbahasa Arab, selainnya berbahasa Persia. Bukunya yang terkenal antara lain adalah asy-Syifa’ (Penyembuhan), al-Qanun fi at-Tibb (Peraturan dalam Kedokteran) yang selama 5 abad menjadi literatur penting bagi fakultas kedokteran di Eropa, al-Isyarah wa at-Tanbihat (Isyarat dan Penjelasan), Mantiq al-Masyriqiyyin (Logika Timur), dan ‘Uyun al-Hikmah (Mata Air Hikmah).
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang menÂdalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsaÂfatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd meÂnyebutnya seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya filsuf yang terlalu banyak berpikir.
Mengikuti pendahulunya, al-Farabi, ia mengakui bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateriil dan dari-Nya lah memancar segala yang ada.
Tuhan sebagai al-wujud al-Awwal berpikir tentang diri-Nya, lalu dari pemikiran itu timbullah wujud kedua yang diÂsebut akal pertama. Akal pertama ini mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib al-wujud, dan dirinya sebagai mumkin al-wujud.
Pemikiran akal pertama tentang Tuhan melahirkan akal berikutÂnya sampai kepada akal kesepuluhÂ. Pemikiran akal pertama tentang dirinya sebagai wajib al-wujud memancarkan jiwa dan pemikiran akal tentang diriÂnya sebagai mumkin al-wujud melahirkan semua langit.
Demikianlah seterusnya, setiap akal yang berjumlah sepuluh itu mempunyai tiga objek pemikiran dan dari pemikiran akal inilah kemudian memancar alam ini. KareÂna itu, ia tidak menerima konsep penciptaan alam dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo) seperti yang dipahami kebanyakan teolog Islam.
Baginya, alam ini qadim (tidak mempunyai permulaan dari segi waktu). Antara Tuhan dan terjadinya alam tidak terdapat kesenjangan waktu. Pendapat ini mendapat tantangan keras dari al-Ghazali dalam buku nyaTahafut al-Falasifah (Kekacauan para Filsuf).
Pemikiran filsafatnya yang lain ialah tentang konsep an-nafs (jiwa). Baginya, jiwa itu terbagi tiga: jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia. Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jiwa binatang memiliki dua daya: daya bergerak dan daya menangkap. Daya bergerak dapat berbentuk marah, syahwat, dan berpindah tempat.
Adapun daya menangkap terbaÂgi dua: daya menangkap dari luar dengan mengguÂnakan indra luar yang lazim disebut pancaindra, terdiri atas: penglihatan, penden-garan, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan tubuh; dan daya menangkap dari dalam melalui pancaindra batin, yaitu indra bersama (al-hiss al-musyÂtarak), indra penggambar (al-khayal), indra pereka (al-mutakhayyilah), indra penganggap (al-wahamiyyah), dan indra pengingat (al-hafizah).
Berbeda dengan tumbuhan dan binatang, jiwa manusia hanya mempunyai satu daya, yaitu daya berpikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: akal praktis (‘amilah) yang berhubungan dengan hal yang bersifat konkret dan akal teoretis yang berhubungan dengan hal abstrak.
Akal teoretis mempunyai empat tingkatan, yaitu (1) akal materiil, yakni akal yang baru merupakan potensi untuk menangkap arti murni, yakni arti yang tak pernah berada dalam materi, (2) akal bakat, yaitu akal yang mulai menampakkan kesanggupan berpikir secara murni abstrak, (3) akal aktual, yaitu akal yang telah terlatih untuk menangkap arti murni, dan (4) akal perolehan, yaitu akal yang memiliki daya tertinggi dan terkuat, yakni akal yang di dalamnya arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah.
Akal seruÂpa inilah yang sanggup menerima limpahÂan ilmu pengetahuan dari akal aktif (akal kesepuluh). Menurut penjelasan Ibnu Sina, akal aktif itu adalah Jibril.
Ia menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa binatang dan tumbuhan yang berkuasa pada dirinya, orang itu cenderung menyerupai sifat binatang; sebaliknya jika jiwa manusia yang dominan berpengaÂruh, orang itu cenderung menyerupai sifat malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Jiwa manusia berlainan dengan jiwa binatang dan tumbuhan, ia bersifat kekal. Jika telah mempunyai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, jiwa manusia akan memperoleh kesenangan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna karena terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, jiwa manusia akan sengsara selamanya di akhirat.
Dalam filsafatnya tentang wahyu dan nabi, Ibnu Sina menjelaskan bahwa akal manusia yang telah mencapai derajat akal perolehan dapat mengadakan hubungan dengan Jibril. Komunikasi itu bisa terjadi karena akal perolehan telah begitu terlatih dan memiliki daya tangkap begitu kuat sehingga sanggup menangkap hal yang abstrak murni. Akan tetapi, komunikasi antara seorang nabi dan Tuhan dilaÂkukan bukan melalui akal dalam derajat perolehan, melainkan melalui akal dalam derajat materiil.
Seorang nabi, menurut pendapatnya, dianugerahi Tuhan dengan akal materiil. Meskipun lebih rendah derajatnya dari akal perolehan, akal materiil mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci.
Tidak ada yang lebih kuat dari akal demikian dan hanya dimiliki para nabi. Filsuf yang mempunyai akal perolehan lebih rendah dari nabi yang mempunyai akal materiil. Dengan perkataan lain, filsuf tidak bisa menjadi nabi. Nabi tetap orang pilihan Tuhan. Filsuf hanya dapat menerima ilham, sedangkan wahyu hanya diberikan kepada para nabi.
Bukan dalam filsafat dan kedokteran saja Ibnu Sina memberikan andil dan pemikirannya, ia juga turut serta ambil bagian dan memberikan andil kepada berbagai ilmu pengetahuan pada zamannya, antara lain yang menonjol adalah ilmu astronomiÂ.
Ibnu Sina menambahkan dalam bukunya al-Magest (buku tentang astronomi) berbagai problem yang belum dibahas, mengajukan beberapa keberatan terhadap Euclides (ahli matematika Yunani sekitar 300 SM), meragukan pandangan Aristoteles (filsuf Yunani; 384–322 SM) tentang kesamaan bintang tak bergerak, kesamaan kesatuan jaraknya, dan sebagainyaÂ. Untuk itu dalam buku asy-Syifa’ ia mengÂuraikan bahwa bintang yang tak bergerak tidak berada pada satu globe.
Ibnu Sina juga banyak membuat rumusan tentang pembentukan gunung, barang tambang, di samping meng himpun berbagai analisis tentang fenomena atmosfer, seperti angin, awan, dan pelangi, sementara orang yang sezaman dengannya tidak mampu menambahkan sesuatu ke dalam bidang penelitian mereka.
Ibnu Sina juga mendalami masalah fikih dan menafsirkan ayat Al-Qur’an. Ia banyak menafsirkan ayat Al-Qur’an untuk mendukung pandangan filsafatnya.
Daftar Pustaka
al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. al-Falsafah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Qalam, 1962.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Tahafut al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1966.
Ibnu Sina. Ahwal an-Nafs. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1952.
_______. an-Najah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938.
Rescher, Nicholas. Studies in Arabic Philosophy. Pittsburgh: University of Pitts-burgh Press, 1966.
Syarif, M.M., ed. A History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Otto Harrosowitzs, 1963.
Musdah Mulia