Ibnu Batutah adalah seorang pengembara dan penjelajah muslim terkenal dari Maroko. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim at-Tanji, yang bergelar Syamsuddin bin Batutah. Dalam pengembaraannya ia pernah mampir ke Samudera Pasai di Sumatera.
Ibnu Batutah dibesarkan dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Ilmu fikih dipelajarinya dari beberapa fakih (ahli fikih) yang sebagian besar menduduki jabatan kadi (hakim). Ia juga mempelajari sastra dan syair Arab. Pada masanya dunia Islam terbagi atas kerajaan dan dinasti.
Ia sendiri mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Magrib (Maroko) pada abad ke-13 ke-14 serta pernah beberapa kali menyeberangi lautan untuk memerangi Perancis. Ibnu Batutah terkenal sebagai petualang dan penjelajah muslim yang memanfaatkan tidak kurang dari 25 tahun wak-tunya untuk melakukan perjalanan dan kunjungan ke hampir seluruh wilayah Islam di zamannya: dari Afrika Utara ke Timur Tengah, Persia, India, sampai ke Cina, dan Spanyol.
Sekembalinya dari perjalanannya yang lama, ia menyusun dan menulis buku pengalaman perjalanannya dengan judul Tuhfah an-Nazzar fi Gara’ib al-Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar (Persembahan seorang Pengamat tentang Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan). Karya ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris.
Petualangan dan perjalanan panjang ini pada mulanya dilatarbelakangi oleh niat tulus serta keinginan kuat Ibnu Batutah untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Mekah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Peristiwa terjadi pada 726 H/1326 M, ketika ia berusia sekitar 22 tahun.
Ibnu Batutah berangkat meninggalkan kampung halaman, Tanger (Tanjah), menuju Mekah melalui Afrika Utara dan Mesir, Palestina, dan Syam (Suriah). Setelah menunaikan ibadah haji, ia kemudian mengadakan perjalanan ke Irak dan mengunjungi kota Mosul (utara Irak) serta negeri al-Ajam (non-Arab).
Kemudian ia kembali ke Mekah untuk me nunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Setelah itu, ia pergi ke daerah Semenanjung Arabia bagian selatan, Afrika timur, dan Persia (Iran). Dari Hormuz (kota pelabuhan kuno di mulut Teluk Persia, di pesisir selatan Iran) ia kembali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya.
Dari Mekah ia kemudian pergi ke Asia Kecil melalui Mesir dan Syam. Lalu ia berangkat ke Constantinopel bersama rombongan istri Sultan Muhammad Uzbek yang bermaksud mengunjungi orangtuanya di Yunani. Dari Volga (selatan Rusia) ia berangkat melalui Khawarizm dan Bukhara di Uzbekistan, ke Afghanistan, dan menuju India. Di India ia menetap cukup lama dan pernah menjadi kadi di Kesultanan Delhi.
Kemudian, sultan Delhi, Muhammad bin Tugluq (725 H/1325 M–752 H/1351 M), mengutusnya dalam suatu misi ke negeri Cina. Ketika tiba di Kepulauan Maladewa Ibnu Batutah menjadi kadi selama 1,5 tahun. Lalu ia melanjutkan perjalanan ke Cina dan berhasil sampai ke kota pelabuhan Canton (Guangzhou). Dalam perja lanan ke Cina itu ia mampir di Kerajaan Samudera Pasai di Pulau Sumatera.
Dalam buku pengalaman perjalanannya, Pulau Sumatera disebutnya dengan “Pulau Jawa yang menghijau” (pada Zaman Pertengahan seluruh kepulauan Indonesia dan Filipina disebut Jawa). Ia sampai di pelabuhan Kerajaan Samudera Pasai yang terletak di salah satu sungai, yaitu Sungai Pisangan yang mengalir dari pegunungan di daerah pedalaman sebelah barat laut. Kota Samudera Pasai, menurutnya, adalah kota besar yang indah.
Ibnu Batutah kemudian disambut oleh Amir (panglima) Daulasah, Kadi Syarif Amir Sayyir asy-Syirazi, Tajuddin al-Asba-hani, dan beberapa ahli fikih atas perintah Sultan Mahmud Malik Zahir (1326–1345) yang memerintah pada saat itu. Menurutnya, Sultan adalah seorang penganut Mazhab Syafi‘i. Ia sering menyelenggarakan pengajian, pembahasan, dan muzakarah tentang inti hukum Islam di istana bersama para ahli fikih.
Penduduk Samudera Pasai sangat taat kepada Sultan dan aktif dalam jihad, sehingga kerajaan Islam ini dapat mengalahkan negeri tetangga yang masih kafir, membawa rampasan perang dalam jumlah yang banyak, termasuk tawanan, dan memaksa mereka untuk membayar jizyah sebagai tanda ketundukan.
Menurutnya, Sultan Mahmud Malik Zahir sangat rendah hati. Sultan berjalan kaki ke masjid untuk menunaikan salat Jumat. Setelah menunaikan salat Jumat berjemaah, Ibnu Batutah mendapat kesempatan untuk mengikuti iring-iringan Sultan berkeliling kota.
Dalam iringan-iringan itu Sultan selalu diikuti para menteri, panglima, penulis, tentara, ahli fikih, pemikir, penyair, dan pembesar kerajaan lainnya. Dalam acara seperti ini terdapat juga hiburan musik, nyanyian, dan tarian, yang menurutnya, sama dengan apa yang disaksikannya di kerajaan di India.
Ibnu Batutah menetap di Kerajaan Samudera Pasai lebih dari 15 hari. Sebelum melanjutkan perjalanannya ke Cina, ia mampir di Mul Jawa (pedalaman Sumatera) dan disambut dengan hormat oleh pemimpin setempat yang masih kafir. Penyambutan itu dilakukan karena rasa hormatnya kepada tamu yang datang sebagai utusan Sultan Mahmud Malik Zahir, penguasa paling berpengaruh di kawasan itu.
Pada kesempatan itu Ibnu Batutah menyaksikan praktek kanibalisme terhadap budak yang bunuh diri. Ini merupakan perwujudan rasa cinta kepada pemimpinnya.
Ketika pulang dari Cina, ia kembali singgah di Kerajaan Samudera Pasai. Ketika itu Sultan Mahmud Malik Zahir baru pulang dari peperangan dengan membawa harta rampasan dan tawanan perang yang banyak. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke negeri Arab.
Setelah menempuh perjalanan pulang melalui negeri al-Ajam, Syam, dua sungai (Eufrat dan Tigris), dan Mesir, ia menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya. Dari Mekah ia pergi ke Afrika Utara dan sampai di Fez (Maroko). Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Granada (Spanyol). Setelah itu ia kembali ke Afrika Utara dan menetap di Maroko sampai akhir hayatnya.
Dalam kunjungannya ke berbagai daerah Islam, Ibnu Batutah mempunyai rencana dan kecenderungan tertentu. Ia menetapkan siapa dan apa yang akan menjadi prioritas kunjungannya. Tokoh yang mesti dikunjunginya adalah tokoh-tokoh termahsyur seperti para wali atau sufi dan para sultan. Di samping itu, ia juga gemar mengunjungi kadi dan fakih yang menegakkan dan menjalankan syariat Islam di setiap daerah atau negeri.
Ia juga tertarik mengunjungi tempat yang mempunyai nilai religius dan historis tertentu, seperti makam para wali, masjid, istana, dan sekolah. Ia mendeskripsikan hasil pengamatan dan pengalamannya yang sangat berharga bagi dunia ilmu pengetahuan.
Dalam deskripsinya, ia mempunyai ciri tersendiri. Ia sering memberikan informasi tentang para pelancong yang mendahuluinya. Misalnya, ia menyebut nama tokoh Ibnu Jubair, seorang pelancong muslim kenamaan sebelum dirinya dalam deskripsinya tentang Damascus dan Baghdad.
Selain itu ia mengikuti pola penulisan geografi yang memberikan informasi penting sehingga membangkitkan minat pembaca untuk mengunjungi daerah tertentu. Ia juga berupaya memberikan informasi historis yang berharga di bidang kemajuan dan peradaban dunia Islam di zamannya. Menurut Brockelmann (sejarawan), Ibnu Batutah hanya dapat dibandingkan dengan pelancong kenamaan Eropa, Marcopolo (1254–1324).
Ibnu Batutah berjasa memberikan data geografis dan topografis penting serta menyumbangkan ilmu pengetahuan yang berharga mengenai budaya setiap daerah dunia Islam yang dikunjunginya.
Daftar Pustaka
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl Ibnu Hajar. ad-Durar al-Kaminah. Hyderabad: t.p., 1349 H/1930 M.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1980.
Harb, Talal. Rihlah Ibn Batutah al-Musammah Tuhfah an-Nazzar fi Gara’ib al-Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987.
Hrbek, I. The Chronology of Ibn Battuta’s Travels. t.tp.: t.p., 1962.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah al-Jadidah, t.t.
Suryan A. Jamrah