Ibnu Arabi

(Murcia, Andalusia, Spanyol, 17 Ramadan 560/28 Juli 1165– Damascus, 28 Rabiulawal­ 638/16 November 1240)

Ibnu Arabi adalah seorang sufi dan pemikir mistik terbesar dunia Islam. Nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi­ at-Ta’i. Ia sering mengemukakan pemikiran yang kontroversial sehingga dikafirkan oleh beberapa ulama besar, antara lain Ibnu Taimiyah­ dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

Pada usia 8 tahun keluarganya pindah ke Sevilla, tempat Ibnu Arabi kecil mulai belajar Al-Qur’an dan fikih. Karena kecerdasannya yang luar biasa, dalam usia belasan tahun ia pernah menjadi sekretaris (katib) beberapa gubernur di Sevilla. Di kota ini pula ia berkenalan dengan Ibnu Rusyd, yang menjadi kadi di Sevilla, dan berguru kepadanya­.

Ibnu Rusyd juga menjadi teman ayahnya. Ini menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga terpandang. Falsafah Ibnu Rusyd kelak banyak mempengaruhi falsafahnya, sekalipun tidak sama dengan falsafah tasawufnya.

Setelah usianya menginjak 30 tahun, Ibnu Arabi mulai berkelana untuk menuntut ilmu. Mula-mula ia mendatangi kota pusat ilmu pengetahuan Islam di Semenanjung Andalusia. Kemudian ia pergi ke Tunis untuk menemani Abdul Aziz al-Mahdawi (seorang ahli tasawuf). Pada 594 H/1198 M ia pergi ke Fez, Maroko.

Di sini ia menulis­ kitab al-Isra’ (Perjalanan Malam). Tahun berikutnya­ ia kembali ke Cordoba dan sempat menghadiri­ pemakaman gurunya, Ibnu Rusyd. Kemudian­ ia pergi ke Almeira dan di sini ia menulis kitab Mawaqi‘ an-Nujum (Posisi Planet).

Pada 598 H/1202 M, Ibnu Arabi pergi lagi ke Tunis, Cai-ro, Yerusalem, dan Mekah untuk menunaikan­ ibadah haji. Ketika berada di Tunis, ia sempat mempelajari kitab Khal‘u an-Na‘laini karya Abdul Qasim bin Qisyi yang kemudian disyarah­ (diberi uraian penjelasan tertulis) olehnya. Menurut­ Ibnu Khaldun, kitab yang sudah disyarah tersebut seharusnya dimusnahkan karena isinya penuh dengan bid’ah yang dapat menyesatkan.

Menurut pengakuan Ibnu Arabi, keberangkatannya­ ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji didasarkan­ pada ilham yang diterimanya dari Allah SWT. Ia tinggal di Mekah selama dua tahun. Hari-hari kehidupannya dekat Ka’bah tersebut diisi dengan­ kegiatan tawaf, memba­ca­ Al-Qur’an, dan iktikaf (menciptakan suasana kerohanian yang syahdu, membuat­ adanya kontak antara dia dan Yang Gaib).

Berdasarkan­ kontak itu, Ibnu Arabi menulis kitabnya, yaitu Taj ar-Rasa’il (Mahkota Risalah), Rus al-Quds (Roh Suci), dan Futuhat al-Makkiyyah (Penaklukan Mekah). Menurutnya,­ karya terakhir mer-upakan yang terbesar­ karena diterima langsung dari Allah SWT melalui ilham samawi.

Di Mekah ini pula Ibnu Arabi ber­temu dengan seorang pemudi cantik, cerdas, salihah, dan takwa, yakni suatu­ figur wanita ideal yang bernama Ain Syams Nizam­. Wanita itu menjadi sumber inspirasi baginya dalam menggubah syair yang kemudian dihimpun­ dalam kitab Turjuman al-Asywaq (Terjemahan­ Rasa Cinta). Ibnu Arabi juga bertemu dengan sejumlah jemaah haji yang berasal dari Konya dan Malatya (sekarang daerah Anatolia atau Asia Kecil), yang dipimpin Majiduddin Ishaq.

Ibnu Arabi bergabung dan mengikuti perjalanan mereka melalui Baghdad dan Mosul sampai ke Malatya (Zulkaidah 601/Juni–Juli 1205). Ibnu Arabi disambut dengan penuh kehormatan dan diberi hadiah oleh sultan Konya.

Tahun berikutnya Ibnu Arabi pergi ke Yerusalem, Cairo, dan Mekah untuk kembali menunaikan ibadah­ haji. Pada 606 H/1209 M ia kembali lagi ke Konya dan Anatolia. Kali ini ia sempat menyelesaikan­ karyanya yang berjudul Risalah al-Anwar (Risalah­ tentang Nur).

Pada 608 H/1211 M ia kembali ke Baghdad bersama Majiduddin Ishaq sebagai­ utusan kesultanan untuk melapor kepada pe­merintah pusat tentang bertakhtanya Kay Ka’us I sebagai sultan Konya. Kemudian ia bermukim di Aleppo dan Damascus (609 H/1211 M–612 H/1215 M) serta sempat mensyarah kitab syair Turjuman al-Asywaq ke dalam pengertian mistik.

Pada 612 H/1215 M, Ibnu Arabi pergi lagi ke Malatya dan bermukim sampai 618 H/1221 M. Di sini ia sempat menikah dengan janda Majiduddin Ishaq dan mempunyai anak yang bernama Sa’addin Muhammad­ (l. 618 H/1221 M). Ibnu Arabi disebut-sebut­ pernah beberapa kali menikah dan mempunyai beberapa orang anak. Tetapi anaknya yang dikenal dalam sejarah hanya ada dua orang, yaitu Sa’addin Muhammad dan Imaddin Abu Abdullah (w. Damascus, 667 H/1269 M).

Tidak diketahui secara pasti mengapa dan ka­pan Ibnu Arabi meninggalkan Anatolia untuk ke­mudian menetap di Damascus sampai akhir hayatnya. Tetapi catatan sejarah menun­jukkan bahwa pada 627 H/1230 M Ibnu Arabi sudah berada di Damascus di bawah perlindungan Ibnu Zaki, seorang keluarga kadi setempat dan masih anggota keluarga Dinasti Ayubiyah yang sedang berkuasa pada waktu itu.

Di hari tuanya, Ibnu Arabi menghabiskan­ waktunya dengan membaca, mengajar, dan menggubah­ syair. Di Damascus Ibnu Arabi menulis satu lagi karya monumen­ talnya yang me­nurutnya diterima langsung dari Rasulullah SAW melalui mimpinya, yaitu kitab Fusus al-Hikam (Permata Hikmah). Di sini pula Ibnu Arabi menyempurnakan kitab Futu­hat al-Makkiyyah.

Pemikiran tasawufnya yang terkenal ialah pa­ham wahdatul wujud, yakni yang ada itu hanyalah satu, yaitu Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan hanyalah penampakan­ lahir (maˆhar) dari Yang Satu itu. Keberadaan yang banyak (makhluk) tergantung pada keberadaan Yang Satu, sebagaimana keberadaan bayang-bayang tergantung pada keberadaan­ suatu benda. Tetapi keberadaan Yang Satu tidak harus ada bayang-bayangnya.

Martabat sufi tertinggi dalam tasawuf Ibnu Arabi adalah menjadi mazhar atau “bayangan” tertinggi dari Tuhan yang disebut insan kamil (manusia sempurna), misalnya “bayangan” Tuhan yang paling ideal ialah Nabi Muhammad SAW.

Karena konsep wahdatul wujud inilah Ibnu Arabi di­ kafirkan oleh ulama lain. Tetapi pemikirannya ini mem­ pengaruhi tasawuf di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat misalnya pada pemikiran tasawuf Syekh Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdus Samad al-Palim bani, dan R. Ngabehi Ronggowarsito.

Menurut Carl Brockelmann, sejarawan dari Jerman, seluruh karya Ibnu Arabi tidak kurang dari 239 judul. Atas usul teman-temannya ia pernah mencoba menyusun daftar kitab karangannya itu. Daftar tersebut yang ada sampai sekarang ada tiga. (1) Fihris (Indeks) ditulis sahabatnya, Sadruddin, 627 H/1230 M. (2) Fihris Mu’allafat Muhyid ad-Din ibn ‘Arabi (Indeks Karangan Muhiddin bin Arabi).

Manuskripnya ditemukan di Kurkis al-Awwad 1337 H/1918–1919 M. Daftar ini sudah dimuat dalam Majallah al-Majma‘ al-‘Ilm li Ibn ‘Arabi (Damascus, 1954). (3) Ijazah, yaitu suatu catatan yang diberikan Ibnu Arabi kepada Gazi Malik al-Adil (ditulis 632 H/1234 M) dan di dalamnya disebutkan bahwa karyanya ada 289 buah.

Kitab lain yang tidak diketahui secara pasti­ tempat penulisannya, karena Ibnu Arabi banyak berkelana, mencakup­ antara lain: Musyahadah al-Asrar (Melihat­ Rahasia), al-Misbah fi al-Jam‘i bain as-sihhah fi al-hadits (Penerang untukMengumpulkan­ Hadis Sahih), al-Jam‘u wa at-Tafsil Asraru Ma‘ani at-Tanzil (Koleksi dan Uraian tentang Rahasia yang Dikandung Al-Qur’an), Futuhat al-Madaniyyah (Penaklukan Madinah).

Juga, at-Tadbarat al-Ilahiyyah (Pengaturan Tuhan), Tafsir asy-Syaikh al-Akhbar (Tafsir Simbolis Al-Qur’an, versi sufi), Sirr Asma’ Allah al-husna (Rahasia da­lam al-Asma’ al-husna), Asrar al-Qulub al-‘arifin (Rahasia dalam Kalbu Orang Yang Arif), al-hikmah al-Ilahiyyah (Hikmah Tuhan), al-Jadwat al-Muqtabisat (Anugerah yang Diperoleh), al-Isra’ ila Maqam al-Asra (Perjalanan Menuju ke Tempat yang Mulia), dan Fasa’il ‘Abd al-‘Aziz al-Mahdawi (Kelebihan Abdul Aziz al-Mahdawi).

Daftar Pustaka

Afifi, A.E. The Mystical Philosophy of Muhyi ad-Din Ibn Arabi. Lahore: t.p., 1964.
Husaini, Moulvi. Ibn al-Arabi the Great Muslim Mystic and Thinker. Lahore: Kashmiri Bazar, t.t.
Ibnu Arabi. Fususs al-hikam. Beirut: Dar al-Kitab Afifi, 1980.
–––––––. al-Futuhat al-Makkiyyah. Cairo: al-Hai’ah al-Misr al-‘Ammah li al-Kutub, 1974.
Palacios, Asin. Ibn ‘Arabi: hayatuh wa Madzhabuh, terj. Abdurrahman al-Badawi. Beirut: t.p., 1979.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar as-Saqafah li at-Tauzi‘ wa an-Nasyr, 1983.

Atjeng Achmad Kusaeri