Ibnu Adham, Ibrahim

(Balkh, Khurasan, 112 H/730 M–Suriah, 161 H/777 M)

Ibnu Adham adalah seorang sufi terkenal dari Balkh (Khurasan, Iran). Ia terkenal juga dengan­ nama Ibrahim bin Adham. Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Yazid bin Jabir (Abu Ishaq) at-Taimi al-Ijli. Data historis mengenai tokoh ini lebih banyak berupa legenda dengan banyak versi sehingga­ data akurat sulit didapat.

Ada beberapa laporan yang dapat dijadi­kan bahan penulisan tentang tokoh legendaris ini. Tentang tahun kematiannya pun terdapat perbedaan pendapat ulama. Dalam Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyyah (Ensiklopedi Islam) disebutkan­ bahwa ia wafat pada 776 atau 783. Namun Abdul Mun‘im al-Hifni, seorang ahli tasawuf Mesir, me­ngatakan Ibnu Adham wafat 161 H/777 M ketika ikut dalam peperangan melawan­ Kekaisaran­ Bizantium. Ia dimakamkan dekat Benteng Suqain, sebuah tempat di wilayah Kekaisaran­ Bizantium.

Ibnu Adham pada mulanya tinggal di tempat kelahir­annya, Khurasan. Pada masa kanak-kanak dan sebelum menjadi seorang sufi, ia hidup dalam lingkungan keluarga raja, karena ayahnya termasuk salah seorang raja di Khurasan. Setelah menjadi seorang sufi, ia lalu pergi mencari­ tempat yang sesuai dengan dirinya­. Mula-mula ia pergi ke Irak. Namun di sana ia hanya tinggal sebentar karena menurut penilaiannya tempat ini tidak cocok untuk kehidupannya.

Beberapa gurunya­ menganjurkan untuk pergi ke Syam (Suriah). Ia tinggal di Suriah dalam waktu yang cukup lama dan tidak pernah kembali lagi ke Khurasan sampai akhir hayatnya. Syam, menurut pengakuannya,­ me­rupakan tempat yang menyenangkan bagi kehidupannya­ dan tempat yang sesuai dengan tuntunan agamanya. Ibnu Adham pernah menziarahi negeri lain, seperti Mesir (Iskandariyah), Yordania, Irak (Basrah), dan Arab Saudi (Mekah).

Sekitar 744, ketika Irak berada di bawah pemerintahan Sultan Ibrahim, salah seorang khalifah­ dari Bani Umayah, Ibnu Adham, pergi menuju­ Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan menuju Mekah, ia singgah di Kufah dan berkenalan dengan seorang wanita bernama Salihah yang kemudian dikawininya. Tidak lama kemudian ia meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya menuju Mekah.

Awal mula kesufian Ibnu Adham mempunyai kisah tersendiri yang berbeda dengan awal kesufian para sufi lainnya. Perjalanan kesufiannya,­ menurut Goldziher, seorang orientalis, mirip dengan kejadi­an yang dialami Sidharta Gautama (Buddha) dalam­ memulai kezuhudannya. Dalam cerita itu disebutkan­ bahwa Ibnu Adham adalah seorang yang senang berburu. Ketika itu ia termasuk salah seorang­ amir (pemimpin) Balkh (Khurasan).

Suatu hari ia berburu dengan menaiki kuda. Dalam perjalanannya dengan tiba-tiba ia dikagetkan oleh se­ekor terwelu (semacam kelinci). Ia lalu menggiring kudanya mendekat ke arah binatang itu. Ketika itu terdengar suara yang datang dari arah belakangnya­. Suara itu berbunyi: “Bukan untuk ini engkau dijadikan dan bukan pula dengan ini engkau diperintah­kan­.” Ibnu Adham mencari suara itu ke kiri dan ke kanan, namun tidak melihat seorang pun. Karena itu ia kemudian berkata, “Semoga Allah SWT melaknatmu, ya iblis.”

Kemudian ketika ia menggiring lagi kudanya, ia mendengar lagi suara yang berbunyi: “Ya Ibrahim, bukan untuk hal seperti­ ini engkau diciptakan dan bukan dengan ini pula engkau diperintahkan.” Ibrahim spontan men­jawab, “Demi Allah SWT, bukan untuk hal ini aku diciptakan­ Tuhan, dan bukan dengan ini pula aku diperintahkan.” Segera setelah itu, ia pulang ke rumahnya­.

Sesampainya di rumah, ia meninggalkan kudanya dan segera menemui salah seorang penggembala­ ternak ayahnya. Ia kemudian meminta dan mengambil jubah serta sarung penggembala itu untuk ditukar dengan pakaian yang dikenakannya­. Ia lalu pergi meninggalkan negerinya menuju Irak. Di negeri ini ia bekerja selama beberapa hari. Tetapi­ di sini ia tidak menemukan pekerjaan yang menurutnya halal. Ia kemu­dian pindah ke Syam dan bekerja sebagai tukang kebun.

Di sini ia merasa menemukan apa yang dicarinya. Ia menemukan­ pekerjaan yang dikerjakan dengan tangannya­ sendiri serta merupakan hasil keringatnya­ sendiri­ dan sesuai dengan agamanya. Ibrahim bin Adham tidak akan makan melainkan hasil usaha tangannya sendiri dan yang sesuai dengan ajaran agamanya­.

Dalam konsep kesufiannya, istilah al-fuqara’ (orang fakir di alam dunia) digambarkannya sebagai “sufi”, sedangkan istilah masakin (orang miskin) digambarkannya sebagai “orang kaya di alam dunia”. Sehubun­gan dengan kedua hal tersebut, pada suatu ketika ia berkata kepada Syaqiq, salah seorang muridnya,

“Ya Syaqiq, sesungguhnya Allah SWT telah melimpah­ kan nikmatnya kepada para fakir (sufi). Mereka tidak akan ditanyai pada hari kiamat nanti, tidak ditanyai tentang zakat yang dikeluarkan, tentang haji yang ditunaikan, tentang jihad yang dilakukan, dan tentang silaturahmi yang diadakan­. Allah SWT hanya me­nanyakannya kepada orang-orang miskin (orang-orang kaya di alam dunia ini).”

Hal yang sama pernah disampaikannya pula kepada Ibrahim bin Bansyar as-Sufi al-Khurasani,­ kawan dan sufi yang semasa dengannya. Sufi menurut pandangannya­ adalah orang miskin di alam dunia ini tetapi sangat kaya dan mulia di alam akhirat. Sebaliknya orang kaya di dunia merupakan orang yang paling miskin dan hina di akhirat.

Sebagai sufi, ia tidak menganut konsep at-tawakkul wa tark al-asbab (bertawakal kepada Allah dan meninggal­kan­ kausalitas), tetapi ia menganut konsep al-‘amal wa al-’akhdz bi al-asbab ma‘a at-tawakkul ‘ala Allah (berusaha dan menganut kausalitas­ disertai dengan tawakal kepada Allah). Hal ini dibuktikannya­ dalam kenyataan hidupnya­ sehari-hari.

Di samping taat melakukan ibadah kepada Allah SWT, ia juga berusaha untuk memenuhi­ kebutuhan hidupnya, seperti­ bertani. Ibnu Adham sendiri menggam­barkan bahwa ia adalah salah se­orang yang diberi kebaha­giaan dan kenikmatan­ oleh Allah SWT. Apabila kebahagiaan­ dan kenikmatan­ itu diketahui para raja dan anak-anaknya,­ ia akan disiksa. Tentang hal itu, ia mengatakan,

“Sekiranya para raja dan anak-anaknya­ mengetahui­ kebahagiaan dan kenikmatan yang ada pada kami, mereka akan menyiksa dan memukul­ kami dengan pedang karena kenikmatan hidup­ yang kami rasakan.”

Ia orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa, tetapi se­ring berpuasa baik dalam keadaan musafir maupun mukim. Kefakiran menurut pendapatnya adalah simpanan­di langit yang dianugerahkan Allah SWT kepada orang yang ikhlas beribadah kepadanya­.

Kefakiran ini menurutnya­ sama dengan kesaksian kepada Allah SWT, yaitu suatu kedudukan yang tidak diberikan Allah SWT kecuali kepada orang yang dicintai-Nya. Semboyannya yang terkenal da­lam hal ini: “Jika engkau senang dengan apa yang ada, engkau bahagia. Tetapi jika engkau se­dih karena tidak ada, engkau celaka.”

Di antara tanda orang yang mengenal Allah SWT ialah bahwa sebagian besar keinginannya­ ditujukan untuk beribadah kepada Allah SWT dan sebagian besar ucap­annya adalah untuk me­muji kebe­saran Allah SWT. Ting­katan kebajikan, menurut dasar pandangan tarekatnya, tidak dicapai­ oleh seorang murid kecuali ia telah melalui enam hal, yaitu:

1) menutup pintu kenikmatan dan membuka­ pintu kesulitan,

2) menutup pintu kemuliaan­ dan membuka pintu kehinaan,

3) menutup pintu ketenangan (rahat) dan membuka pintu kesungguhan­ (juhd),

4) menutup­ pintu tidur dan membuka­ pintu jaga,

5) menutup pintu kaya dan membuka pintu mi-skin, dan 6) menutup pintu ha­rapan untuk hidup lama dan membuka pintu untuk siap menerima kematian.

Daftar Pustaka

al-Hifni, Abdul Mun‘im. al-Mausu‘ah as-Sufiyyah. t.tp: Dar ar-Rasyad, 1992.
asy-Syaibi, Kamil Mustafa. as-Silah baina at-Tasawwuf wa at-Tasyayyu‘. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.
asy-Syantanawi, dan Ibrahim Zaki Khursyid. Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyyah. Cairo: Lajnah at-Tarjamah, 1933.

A. Thib Raya