Hulul

(Ar.: al-Hulul)

Secara kebahasaan, Hulul berarti “bertempat tinggal, menempati, atau mengambil tempat”. Dalam tasawuf Hulul berarti “suatu keadaan yang dicapai seorang sufi pada saat aspek an-nasut (sifat kemanusiaan) Allah SWT bersatu dengan aspek al-lahut (sifat ketuhanan) manusia”. Ini dapat terjadi apabila aspek an-nasut manusia telah dihilangkan melalui jalan fana.

Hulul adalah salah satu bentuk kemanunggalan antara Allah SWT dan manusia. Bentuk lain adalah ittihad dan wahdatul wujud. Paham ini pertama kali dikemukakan Mansur al-Hallaj. Dalam karyanya Kitab ath-tawasin (12 seri), al-Hallaj mengemukakan teori kejadian makhluk. Ia mengatakan bahwa tatkala Allah SWT dalam kesendirian-Nya (fil-’ama’), Ia hanya melihat diri-Nya sendiri (Tajalli al-haqq li nafsihi).

Lalu terjadilah dialog antara Allah SWT dan diri-Nya tanpa kata atau huruf. Allah SWT melihat ketinggian dan kemuliaan diri-Nya, lalu mencintai diri-Nya, cinta yang tak disifatkan dan tak ada bandingnya.

Cinta ini merupakan energi yang menjadi sebab wujud selain wujud Allah SWT sendiri. Karena adanya cinta ini, Allah SWT mengeluarkan “gambar” diri-Nya (surah min nafsihi) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Menurut al-Hallaj, “gambar” diri Allah SWT adalah Adam AS. Padanyalah Allah SWT muncul dalam “bentuk”-Nya.

Dengan demikian, menurut al-Hallaj, Allah SWT mempunyai aspek al-lahut dan an-nasut. Demikian juga Adam AS sebagai “gambaran” Allah SWT mempunyai aspek an-nasut dan al-lahut. Paham ini didasarkan atas hadis Nabi Muhammad SAW yang berarti:

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.”

Al-Hallaj memberikan tafsiran terhadap ayat 34 surah al-Baqarah (2) yang berbunyi: “sujudlah wahai para malaikat kepada Adam” karena pada diri Adam AS-lah Allah SWT mengambil tempat, menampakkan diri-Nya, sebagaimana Ia mengambil tempat pada diri Isa AS.

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (fundamentalis tasawuf) dalam kitabnya al-Luma‘ memberi gambaran tentang hulul: “Allah memilih tubuh-tubuh tertentu untuk Ia ambil tempat padanya dengan hakikat ketuhanan setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada tubuh itu Ia lenyapkan.”

Kemanunggalan manusia dan Allah SWT dalam bentuk hulul tersebut merupakan tingkatan tertinggi dalam paham tasawuf al-Hallaj. Agar terjadi hulul, manusia terlebih dulu harus menghilangkan aspek an-nasut dengan jalan fana. Untuk mencapai fana, seorang manusia (sufi) harus meniti sejumlah maqam (tahap latihan kerohanian).

Apabila aspek an-nasut hilang, yang tinggal pada diri manusia itu hanyalah aspek lahutnya. Ketika itulah aspek an-nasut Allah SWT bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Kadaan seperti itu tergambar dalam syairnya: “Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci; Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaan Engkau adalah aku.”

Seorang sufi dalam keadaan hulul dapat mengeluarkan kata-kata yang aneh, seperti yang diucapkan al-Hallaj: “Aku adalah Yang Maha Benar” (Ana al-haqq). Dalam istilah sufi, “igauan” itu disebut syathahat, yang muncul karena rasa cinta yang melimpah-limpah.

Menurut paham hulul al-Hallaj, yang mengeluarkan kata-kata itu bukan roh al-Hallaj, melainkan “Roh” Allah SWT (aspek an-nasutnya) yang sedang mengambil tempat bersatu dengan aspek al-lahut al-Hallaj; bukan pula Zat Tuhan, melainkan aspek an-nasutnya yang mengambil tempat pada aspek lahut manusia. Hal ini terlihat pada syairnya yang berbunyi:

“Aku adalah Rahasia Tuhan Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, bedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar.”

Dalam hulul, proses kemanunggalan Allah SWT dan manusia itu adalah Allah SWT “turun” mengisi dan memasuki serta mengambil tempat pada tubuh manusia yang Ia pilih. Adapun dalam ittihad roh manusia “naik” (mikraj), “lebur” manunggal di alam ketuhanan.

DAFTAR PUSTAKA
Attar, Farid ad-Din. Muslim Saints and Mystics, terj. A.J. Arbery. London: Routledge and Kegan Paul, 1979.
Hilal, Ibrahim. at-Tasawwuf al-Islami Baina ad-Din wa al-Falsafah. Cairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah. 1974.
al-Kalabadi, A.M. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi & Co., 1960.
Mahmud, Abdul Qadir. al-Falsafah as-sufiyyah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1967.
Nicholson, Reynold A. The Idea of Personality in Sufism. New Delhi: Idarat‑i Adabiyat, 1976.
__________________. Studies in Islamic Mysticism. New Delhi: Idarat‑i Adabivat, 1981.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam, atau Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘, ed. A.H. Mahmud dan TAB Surur. Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960.
Wali, Muhibuddin. Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf (al-hikam). Singapura: Pustaka Nasional, 1993.
Ya‘kub, Hamzah. Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin. Jakarta: Tinta mas, 1977.

Atjeng Achmad Kusaeri