Al-hudud adalah bentuk jamak dari kata hadd yang berarti “batas”, “rintangan”, “halangan”, dan “pagar”. Dalam Al-Qur’an, hudud atau had sering kali diartikan sebagai “hukum atau ketetapan Allah SWT”, misalnya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 187, 229, dan 230; surah an-Nisa’ (4) ayat 13 dan 14; surah at-Taubah (9) ayat 97 dan 112; surah al-Mujadalah (28) ayat 4; dan surah ath-talaq (65) ayat 1.
Dalam ilmu fikih, hudud atau had ialah hukuman atas perbuatan pidana tertentu (jarimah hudud) yang jenis dan bentuk hukumannya telah ditentukan Syari‘ (pembuat syariat/Allah SWT), tidak bisa ditambah atau dikurangi. Hukuman ini merupakan hak Tuhan dalam pengertian tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan yang menjadi korban jarimah itu sendiri maupun oleh masyarakat yang diwakili lembaga negara.
Had dikenakan pada tujuh macam perbuatan pidana, yaitu: zina, qadzf, meminum khamar (minuman keras), mencuri (sariqah) dengan ukuran minimal tertentu, hirabah (orang yang memerangi Allah SWT dan rasul-Nya), murtad, dan memberontak terhadap penguasa yang sah (al-bagy).
Had zina ada tiga macam, yakni: (1) bagi pezina yang belum menikah dikenai hukuman cambuk seratus kali (QS.24:2); (2) bagi pezina laki-laki yang belum menikah dikenai pula hukuman pengasingan (HR. Imam Malik); dan (3) bagi pezina yang pernah menikah (muhsan) dikenai hukuman rajam atau dilempari dengan batu sampai mati (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun had qadzf adalah hukuman 80 kali cambuk atau dera (QS.24:4).
Had minum khamar adalah hukuman cambuk 80 kali. Jumlah ini berdasarkan ijmak kebanyakan sahabat Nabi SAW yang didasarkan atas hadis Nabi SAW.
Had pencurian adalah potong tangan sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 38. Kalangan ahli fikih sepakat bahwa yang dimaksud dengan yad dalam ayat tersebut termasuk juga kaki.
Dalam kitab fikih disebutkan bahwa apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama kali, maka dipotong tangan kanannya; jika mencuri untuk kedua kalinya, dipotong kaki kirinya; jika mencuri untuk ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya; dan jika mencuri keempat kalinya, dipotong kaki kanannya. Demikian menurut pendapat sebagian ulama, antara lain Imam Malik dan Imam Syafi‘i. Sebagian ulama lain berpendapat, antara lain Ata bin Abi Rabah, pencuri hanya boleh dipotong tangan kirinya.
Apabila mengulangi pencuriannya, tidak boleh lagi dipotong tangannya akan tetapi cukup dengan hukuman takzir (pendisiplinan), seperti penjara
Menurut ulama lainnya, antara lain Abu Hanifah (Imam Hanafi), hukuman maksimal bagi pencuri adalah dipotong tangan kanannya. Tetapi tidak semua pencuri dihukum potong tangan atau kakinya. Dalam hal ini harus dihitung batas minimal harga barang untuk dapat menentukan hukuman. Adapun batas minimal tersebut ialah seperempat dinar.
Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan al-Jama’ah yang berarti: “Tidak ada hukum potong tangan bagi pencurian di bawah seperempat dinar.” Menurut sebagian ulama lain, antara lain Abu Hanifah, batas minimal pencurian yang menyebabkan pelakunya boleh dipotong tangannya ialah 10 dirham, bukan seperempat dinar seperti pendapat pertama.
Sebagian pemikir pembaruan, antara lain Sir Sayid Ahmad Khan, di India, menafsirkan kata qath‘ al-yad (potong tangan) dengan memutuskan fungsi tangan, sehingga menurutnya hukuman bisa dijatuhkan dalam bentuk hukuman penjara. Qath‘ al-yad bisa dilakukan sebagai hukuman maksimal bagi pencurian berat.
Had hirabah ada empat macam, yaitu:
(1) hukuman mati biasa: dipenggal, ditembak, atau digantung;
(2) hukuman mati dengan disalib;
(3) hukuman potong tangan serta kaki (anggota badan); dan
(4) hukuman dengan diasingkan atau dipenjarakan.
Ketentuan itu didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 33. Pemberian empat macam hukuman itu tergantung bentuk hirabah-nya itu sendiri. Hukuman mati biasa dijatuhkan kepada penyamun atau pembegal yang sangat mengganggu keamanan masyarakat luas.
Hukuman mati salib dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan dan perampasan harta. Hukuman pemotongan anggota badan dilakukan kepada perampas harta benda, yang tidak melakukan pembunuhan. Hukuman pengasingan atau penjara dijatuhkan kepada pengganggu keamanan yang tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh. Lamanya pengasingan disamakan dengan pengasingan pezina.
Had murtad ialah hukuman mati dan sekaligus perampasan hartanya. Hukuman ini dijatuhkan apabila dalam keadaan genting, misalnya hubungan antara kaum muslimin dan kaum kafirun dalam keadaan perang, sehingga kemurtadan seorang muslim bisa membahayakan keselamatan umat secara keseluruhan.
Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 217. Selain itu juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang berarti: “Tidak halal darah seseorang muslim kecuali karena oleh salah satu dari tiga sebab, pezina muhsan (sudah menikah), orang yang membunuh orang lain tanpa hak, dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta memisahkan diri dari kelompok atau jemaah kaum muslimin.”
Had pemberontakan ialah hukuman mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-hujurat (49) ayat 9 dan hadis Nabi SAW yang berarti: “Barangsiapa yang setia kepada pemerintah negara yang sah taatilah sepenuh hati, jika ada pihak lain yang memberontak kepada pemerintahan itu maka potonglah leher mereka” (HR. Bukhari dan Muslim).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Amir, Abdul ‘Aziz. at-Ta’zir fi Syari‘ah al-Islamiyyah. t.tp.: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami. Dar at-Turas: t.p., t.t.
Bahnasy, Ahmad Fathi. Madkhal al-Fiqh al-Jina’i al-Islami. Cairo: Dar asy-Syuruq, 1972.
__________________. al-Mas’uliyyah al-Jina’iyyah fi al-Fiqh al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Qalam, 1961.
__________________. al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar ar-Ra’id al-Arabi, 1970.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
Ibnu Umar, Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husen. Bugyatul Mustarsyidin. Surabaya: Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1969.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru, 1990.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1973.
as-Sabuni, Muhammad Ali. Rawa’i‘ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam. Juz 2. Mekah: t.p, t.t.
Syaltut, Mahmud. al-Islam ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damascus: Dar al-Fikr, 1985.
Atjeng Achmad Kusaeri