Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan antara kaum muslimin dan musyrikin Mekah pada Zulkaidah 6/Maret 628 di Lembah Hudaibiyah, di bagian barat Mekah. Kesepakatan ini berlangsung ketika Nabi SAW beserta sekitar 1.400 kaum muslimin berangkat dari Madinah menuju Mekah dengan maksud berziarah ke Baitullah untuk memenuhi kewajiban ibadah haji.
Ayat yang menjadi dasar pelaksanaan ziarah ke Mekah untuk beribadah haji adalah Al-Qur’an surah al-hajj (22) ayat 26–27 yang berarti:
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumahku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh’.”
Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW beserta rombongannya hanya membawa perbekalan makanan, ternak kurban, dan senjata ala kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk berperang.
Sebelum memasuki daerah Mekah, kedatangan rombongan kaum muslimin telah diketahui kaum musyrikin Mekah yang menyangka akan diserang. Mereka lalu mempersiapkan pasukan penghadang di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan kaum muslimin menginjakkan kakinya di Mekah.
Untuk menghindari pertumpahan darah, atas petunjuk seseorang dari Bani Aslam, Nabi SAW dan rombongan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang, dengan menuruni dan menaiki bukit terjal dan batu-batu tajam. Ketika sampai di Lembah Hudaibiyah, unta yang ditunggangi Nabi SAW berhenti. Nabi SAW memandang hal itu sebagai isyarat dari Allah SWT agar rombongan berhenti di tempat itu.
Sementara itu, kaum musyrikin Mekah mengirim utusan untuk menanyakan maksud kedatangan kaum muslimin ke Mekah. Pada mulanya diutus Budail bin Warqa dari Bani Khuza‘ah. Ketika kembali kepada kaumnya, ia melaporkan bahwa kedatangan kaum muslimin semata-mata hanya berziarah ke Baitullah.
Namun para pemimpin kaum musyrikin Mekah tidak mempercayai laporannya, bahkan menuduhnya berpihak kepada kaum muslimin. Kemudian mereka mengutus Mikraz bin Hafs. Ia melaporkan hal yang sama dengan laporan utusan pertama. Karena belum yakin, mereka kembali mengutus Halis bin Alqamah. Hasilnya pun sama dengan pendahulunya, bahkan Alqamah dicacimaki, yang mengakibatkan loyalitas Alqamah dan pengikutnya berkurang terhadap para pemimpin kaum musyrikin Mekah.
Lalu mereka mengutus Urwah bin Mas‘ud. Meskipun sempat berlaku tidak sopan terhadap Nabi Muhammad SAW dan beberapa sahabat, ia melaporkan yang sesungguhnya kepada kaumnya mengenai maksud kedatangan kaum muslimin itu.
Dari pihak kaum muslimin, Nabi Muhammad SAW juga mengirim utusan untuk meyakinkan kaum musyrikin Mekah. Nabi SAW mengutus Khurasy bin Khuza‘ah al-Khuza‘i yang nyaris dianiaya jika tidak cepat ditolong orang al-Habsy. Setelah itu Nabi Muhammad SAW bermaksud mengutus Umar bin Khattab. Namun, berdasarkan pertimbangan bahwa di Mekah tidak ada kerabatnya yang dapat melindunginya kelak jika terjadi sesuatu, Umar mengusulkan Usman bin Affan karena ia mempunyai banyak keluarga di kota Mekah.
Atas jaminan seorang kerabatnya, Aban bin Sa‘id bin As, Usman memasuki kota Mekah. Tetapi tidak lama kemudian terbetik berita bahwa Usman dibunuh kaum musyrikin. Mendengar berita itu, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang ikut dalam perjalanan itu mengangkat sumpah setia, akan saling membela, tidak akan lari, tidak takut mati, dan akan terus berjuang dalam keadaan apa pun.
Sumpah yang disebut “Baiat ar-Ridwan” itu diridai Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Fath (48) ayat 18 yang berarti: “Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).”
Usman bin Affan ternyata tidak dibunuh. Ia hanya ditahan dan segera dibebaskan kaum musyrikin Mekah. Tetapi Baiat ar-Ridwan itu membuat para pemimpin kaum musyrikin semakin gentar. Oleh karena itu, mereka segera mengirim Suhayl bin Amr untuk mengadakan perundingan dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam perundingan kali ini kaum musyrikin mengajukan beberapa tuntutan.
Semua tuntutan yang diajukan Suhayl bin Amr diterima sepenuhnya oleh Nabi Muhammad SAW tanpa terlebih dahulu meminta pertimbangan kepada para sahabatnya. Padahal biasanya, jika akan memutuskan suatu perkara penting, Nabi Muhammad SAW selalu meminta pertimbangan kepada para sahabatnya walaupun keputusan akhir ada padanya.
Bahkan Umar bin Khattab yang bertemperamen keras bertanya kepada Abu Bakar as-Siddiq dan Nabi Muhammad SAW, mengapa Rasulullah SAW menerima persyaratan yang merugikan umat Islam. Rasulullah SAW dengan bijaksana menjawab, “Hai Umar, aku ini rasul Allah. Tidak mungkin aku menyalahi perintah-Nya. Dan tidak mungkin pula Allah menyianyiakan diriku.”
Kemudian Nabi Muhammad SAW memanggil Ali bin Abi Thalib untuk mencatat tuntutan yang diajukan Suhayl bin Amr dalam naskah perjanjian. Ketika Nabi Muhammad SAW menyuruh menulis kalimat “Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)” dan “Muhammad Rasul Allah”, Suhayl keberatan, sehingga naskah itu berbunyi: “Bismika Allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah )”.
Inilah Perjanjian Perdamaian yang dibuat Muhammad bin Abdullah dan Suhayl bin Amr. Kedua belah pihak menyetujui adanya gencatan senjata selama 10 tahun. Selama itu kedua belah pihak tidak akan saling menyerang dan semua orang akan terjamin keamanannya. Apabila ada pihak Quraisy menyeberang ke pihak Muhammad dengan tidak ada izin walinya, ia harus dikembalikan.
Sebaliknya, apabila ada pengikut Muhammad SAW yang menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Muhammad SAW. Barangsiapa yang hendak membuat perjanjian dengan Muhammad SAW dibolehkan, demikian juga siapa yang hendak membuat perjanjian dengan pihak Quraisy dibolehkan juga.
Kaum muslimin tidak jadi melakukan ibadah umrah tahun itu, tetapi ditangguhkan sampai tahun berikutnya. Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah, orang Quraisy harus keluar lebih dahulu. Kaum muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak diperbolehkan membawa senjata, kecuali pedang dalam sarungnya, dan tidak boleh tinggal di Mekah melebihi 3 hari 3 malam.
Menurut pemikiran Muhammad SAW mengenai perjanjian itu, orang yang menyeberang ke pihak Quraisy pasti orang murtad, sehingga tidak ada gunanya dikembalikan kepada kaum muslimin. Kaum muslimin yang tertindas di Mekah tidak perlu dikembalikan ke tengah-tengah kaum muslimin di Madinah karena mereka tidak akan mudah dipaksa pindah agama semula oleh kaum musyrikin Mekah. Mereka akan lebih aman setelah adanya perjanjian gencatan senjata ini.
DAFTAR PUSTAKA
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma’arif, t.t.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Sirah Sayyidina Muhammad Rasul Allah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam al-Himyari. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halami, 1355 H/1936 M.
Ibnu Sa‘d. Muhammad. Ath-tabaqat al-Kubra. Leiden: E.J. Brill, 1904–1921.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Zad al-Ma‘ad fi Huda Khair al-‘Ibad. Cairo: Dar al-Babi al-Halabi, 1324 H/1906.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk. Leiden: E.J. Brill, 1936.
Atjeng Achmad Kusaeri