Hikmah

(Ar.: al-Hikmah)

Secara harfiah, al-Hikmah berarti “ucapan yang sesuai dengan kebenaran, falsafah, perkara benar dan lurus, keadilan, pengetahuan, dan lapang dada”. Para ahli memberi berbagai arti hikmah sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Secara umum hikmah merupakan pengetahuan yang bernilai tinggi, karena menghubungkan manusia ke pemahaman dunia hakikat.

Kata “hikmah” digunakan dalam Al-Qur’an, hadis, dan syair Arab. Dalam Al-Qur’an kata ini terdapat pada 20 tempat.

Secara bersamaan dengan kata “Alkitab”, istilah ini sering dinyatakan sebagai suatu pemberian (QS.2:129, 231; QS.3:81; QS.4:54, 113; dan QS.33:34). Hikmah dianugerahkan kepada Nabi Daud AS, Isa AS, Muhammad SAW, bahkan kepada Luqman AS (QS.2:151, 251; QS.5:­110; QS.31:12; QS.38:20; dan QS.43:63). Hikmah merupakan anugerah besar (QS.2:269) dan juga dihubungkan dengan pemurnian (QS.2:129).

Hikmah biasanya diartikan sebagai “kebijaksanaan” yang berkaitan erat dengan pengertian filsafat. Pada mulanya hikmah berarti “kemahiran dan keterampilan dalam seni bekerja”, seperti pekerjaan berdagang dan menjadi nelayan.

Kemudian artinya berkembang menjadi kemahiran dalam syair dan dihubungkan dengan orang yang berpikiran benar serta bertindak dengan baik dalam berbagai urusan hidup. Selanjutnya istilah ini diartikan sebagai pengetahuan yang paling tinggi, yaitu pengetahuan yang menghubungkan manusia kepada pemahaman tentang dunia hakikat.

Menurut pendapat Pythagoras (580–500 SM), seorang filsuf Yunani, hikmah “kebijaksanaan” dalam arti terakhir ini merupakan perkara yang sulit dicapai manusia dan hanya dimiliki Tuhan. Oleh sebab itu, manusia cukup dipandang mulia apabila ia mencintai dan bersungguh-sungguh dalam mencari hikmah.

Dengan demikian, kalaupun ia memilikinya, hal itu merupakan anugerah dari Tuhan yang menjadikannya mampu melakukan penilaian yang benar terhadap apa yang tepat bagi segala sesuatu. Dalam kaitan ini hikmah berhubungan dengan kata Haqq (hak) yang berarti penilaian yang benar atau Hukm (hukum) yang sesuai dengan hakikat atau situasi yang sebenarnya.

Sehubungan dengan pengertian di atas, terdapat ayat Al-Qur’an yang berarti: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak” (QS.2:269).

Menurut Muhammad Abduh, yang diberikan Allah SWT adalah alatnya, yaitu akal yang sempurna dan taufik agar seseorang dapat mempergunakan alat itu untuk menghasilkan ilmu yang benar. Hikmah seperti ini, menurut Muhammad Rasyid Rida, merupakan alat untuk memahami Al-Qur’an.

Para sufi juga menggunakan kata “hikmah” dalam arti kebijaksanaan, suatu pengetahuan tentang esensi, sifat, kekhususan, dan hasil dari segala sesuatu sebagaimana adanya, melalui studi tentang cara, akibat, dan kegunaannya. Mereka menyebut empat macam kebijaksanaan yang diekspresikan dalam istilah “hikmah”, yaitu:

(1) al-Hikmah al-manthuqah (kebijaksanaan menurut bunyi lafalnya), yakni pengetahuan dalam Al-Qur’an atau dalam Thariqah (jalan orang sufi);

(2) al-Hikmah al-maskutah (kebijaksanaan yang tidak menurut bunyinya), yakni hanya dipahami sufi, tidak oleh orang biasa;

(3) al-Hikmah al-majhulah (kebijaksanaan yang tidak diketahui), yaitu perbuatan Allah SWT yang tidak diketahui makhluk, seperti implikasi kejadian bagi makhluk, kematian anak kecil, dan pembakaran api neraka; atau segala sesuatu yang dipercayai tetapi tidak dipahami; dan

(4) al-Hikmah al-jami‘ah (kebijaksanaan kolektif), yaitu pengetahuan tentang yang hak dan pelaksanaannya, serta persepsi tentang yang batil dan penolakan terhadapnya.

Bagi sufi, hikmah dapat menyucikan jiwa dari kotoran tabiat yang zalim. Apabila telah mengetahui hikmah, jiwa akan senantiasa rindu kepada alam roh tanpa kecenderungan pada syahwat jasmaniah yang mematikan jiwa yang hidup, dan lulus dari pengaruh serta belenggu syahwat yang mengikat orang yang tidak mengetahui hikmah.

Kata “hikmah” digunakan juga oleh fukaha (ahli fikih) untuk menyatakan manfaat suatu perbuatan dan rahasia hukum perbuatan itu, seperti hikmah salat dan hikmah puasa. Di samping itu, hikmah digunakan juga untuk menyatakan ilat (alasan) yang ditetapkan akal yang sesuai dengan hukum.

Dalam bahasa Indonesia, hikmah di samping mengandung arti “kebijaksanaan dan kepandaian”, juga berarti “kesaktian dan magi”.

DAFTAR PUSTAKA

Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an al-Karim. Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah, t.t.
al-Buni, Ahmad bin Ali. Manba‘ Ushul al-hikmah. Beirut: Maktabah Sya’biyah, t.t.
Diya’uddin, Muhammad ar-Razi Fakhruddin. Tafsir ar-Razi. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Hughes, Thomas Patrick. Dictionary of Islam. New Delhi: Cosmos Publications, 1986.
Islam, ‘Azmi, ed. Mabadi’ al-Falsafah wa al-Akhlaq. Kuwait: Wizarat at-Tarbiyah, 1978.
an‑Naquib, Syed Muhanimad. The Concept of Education in Islam, terj. Bandung: Mizan, 1984.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1971.

Hery Noer Aly