Hidayah

(Ar.: al-hidayah)

Hidayah memiliki berbagai makna, antara lain “petunjuk Allah SWT kepada manusia mengenai keimanan dan keislaman”, “petunjuk yang diberikan-Nya kepada orang yang beriman”, “petunjuk yang diberikannya kepada manusia sehingga mereka berada pada jalan lurus (sesuai dengan tuntunan-Nya)”, dan “petunjuk yang diberikan secara halus dan lemah lembut”. Al-hidayah berasal dari akar kata hada, berarti “memberi petunjuk”.

Kata “hidayah” terdapat dalam Al-Qur’an dengan berbagai bentuk dan konteks:

Pertama, dalam bentuk fi‘il madhi (kata kerja lampau), yaitu hada dengan segala bentukannya, seperti dalam surah al-Baqarah (2) ayat 143 dan ad-dhuha (93) ayat 8;

Kedua, dalam bentuk fi‘il mudhari‘ (kata kerja yang menunjukkan masa sekarang dan akan datang), yaitu yahdi dengan segala bentukannya, seperti dalam surah asy-Syura (42) ayat 52;

Ketiga dalam bentuk isim fa‘il (yang menunjukkan pelaku), yaitu hadin, seperti dalam surah az-Zumar (39) ayat 23 dan al-hajj (22) ayat 54; dan

Keempat, dalam bentuk masdar (infinitif), yaitu hudan, seperti dalam surah al-Baqarah (2) ayat 2 dan Bani Isra’il ayat 2.

Penggunaan kata “hidayah” dengan bentuk kata hudan, dalam banyak konteks selalu diikuti kata “rahmat”. Kata hudan sendiri mengandung beberapa arti, yaitu petunjuk, keterangan, dan kebenaran. Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hudan dan rahmat secara bersamaan ditemukan sebanyak 13 kali dari 85 kali penyebutan kata hudan.

Penyebutan kedua kata ini secara bersamaan dapat dilihat antara lain dalam surah al-A‘raf (7) ayat 154, Yunus (10) ayat 57, dan Yusuf (12) ayat 111. Dalam surah al-A‘raf (7) ayat 154, misalnya, disebutkan: “dan dalam tulisannya­ terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.

Selain dengan kata “rahmat”, kata hudan juga digabungkan dengan kata lain, seperti (1) busyra (kabar gembira) dalam surah an-Nahl (16) ayat 89 dan an-Naml (27) ayat 2; (2) mau‘izah (nasihat) dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 138; (3) nur (cahaya) dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 44 dan 46 serta al-An‘am (6) ayat 91; (4) ad-din al-haqq (agama yang benar) dalam surah at-Taubah (9) ayat 33 dan as-shaff (61) ayat 9;

(5) furqan (pembeda antara yang hak dan batil) dalam surah al-Baqarah (2) ayat 185; dan (6) Dzikra (peringatan) dalam surah al-Mu’min (40) ayat 54. Semua kata yang bergabung dengan kata hudan dalam ayat di atas selamanya berkonotasi positif serta mengacu kepada hal yang membawa orang kepada sifat dan tindakan yang baik.

Contoh penggunaan kata “hidayah” dalam suatu konteks, yakni hidayah dalam pengertian sebagai “karunia Allah SWT”, dapat dilihat dalam ayat mengenai usaha Nabi Muhammad SAW untuk mengislamkan pamannya, Abi Thalib. Dalam sejarah Islam diketahui bahwa Abi Thalib sampai akhir hayatnya tidak pernah menyatakan diri masuk Islam, walaupun Nabi SAW telah melakukan berbagai upaya dan bahkan berdoa kepada Allah SWT agar pamannya diberi petunjuk untuk menyatakan diri masuk Islam.

Permohonan Nabi SAW ketika itu dijawab Allah SWT dengan menurunkan ayat 56 pada surah al-Qasas (28) yang berarti: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”. Ayat ini menegaskan bahwa yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang benar hanyalah Allah SWT.

Dengan demikian, kata “hidayah” sangat berkaitan dengan persoalan hati. Dari berbagai bentuk yang disebutkan di atas, kata “hidayah” mengandung dua unsur pokok, yaitu petunjuk kepada apa yang diharapkan dan penyampaiannya yang lemah lembut dan halus.

Ulama membagi hidayah Allah SWT menjadi empat tingkatan.

(1) Hidayah berupa naluri (garizah). Potensi naluri pada diri manusia sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan potensi itulah manusia dapat mempertahankan hidupnya. Hal ini terutama terlihat pada bayi yang baru lahir. Pada saat merasa lapar, bayi dianugerahi petunjuk oleh Allah SWT berupa kemampuan mengisap susu ibunya, dan ibunya pun diberi anugerah untuk memahami keinginan bayinya lalu menyusuinya.

(2) Hidayah berupa pancaindra. Pancaindra berupa mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, lidah untuk mengecap, dan kulit untuk meraba dan merasa semuanya merupakan petunjuk Allah SWT bagi makhluk-Nya guna mencapai sesuatu dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kontak dengan dunia luar tidak dapat dilakukan dengan naluri, tetapi hanya dapat dilakukan dengan pancaindra. Karena itu, pancaindra merupakan hidayah yang lebih tinggi tingkatannya dari naluri.

(3) Hidayah berupa akal. Hidayah Allah SWT dalam bentuk akal hanya dianugerahkan kepada manusia, tidak kepada binatang. Dengan akal ini manusia dibedakan dari binatang. Akal terutama berfungsi untuk membedakan yang baik dari yang buruk sebelum syariat datang memberikan penjelasan. Menurut paham Muktazilah, dengan akalnya manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Dengan akalnya manusia dapat sampai kepada kesimpulan bahwa Allah SWT itu ada dan manusia wajib patuh kepada perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Meskipun demikian kemampuan akal manusia sangat terbatas. Ia tidak dapat menjawab sekian banyak pertanyaan manusia, khususnya yang berkaitan dengan alam metafisika atau menyangkut kehidupan sesudah mati. Karenanya, manusia membutuhkan hidayah dalam tingkatan yang lebih tinggi, yaitu hidayah agama.

(4) Hidayah agama. Agama merupakan hidayah tertinggi yang dianugerahkan Allah SWT kepada makhluk-Nya. Agama terutama berfungsi memberi jawaban menyangkut sekian banyak hal yang tak terjawab dengan akal, atau meluruskan beberapa kekeliruan yang dilakukan akal. Dengan kata lain, agama berfungsi membimbing akal. Menurut paham Muktazilah, agama diturunkan untuk memberi konfirmasi dan justifikasi terhadap pendapat akal.

Ulama tafsir membagi hidayah atau petunjuk keagamaan Allah SWT menjadi dua jenis petunjuk. Pertama, petunjuk umum, yaitu petunjuk yang dianugerahkan Allah SWT kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Petunjuk yang dimaksud adalah penyampaian ajaran agama melalui para rasul dan nabi atau yang diketahui manusia melalui kemampuan akalnya. Kedua, petunjuk khusus, yaitu kemampuan aktual yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia tertentu yang dikehendaki-Nya sehingga mereka dapat melaksanakan petunjuk umum tersebut.

Untuk membedakan hidayah yang berarti “petunjuk umum” dari hidayah yang berarti “petunjuk khusus” di dalam Al-Qur’an, Ragib al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), penyusun buku tentang kata-kata Al-Qur’an, memberi penjelasan sebagai berikut. Apabila kata yahdi (memberi petunjuk) diikuti kata ila (menuju/kepada), petunjuk yang dimaksud berarti “bersifat umum”, seperti dalam firman Allah SWT yang berarti: “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk menuju jalan yang lurus” (QS.42:52).

Tetapi apabila kata “memberi petunjuk” tidak diikuti kata “menuju”, berarti petunjuk yang dimaksud adalah yang bersifat khusus. Contohnya adalah surah al-Qasas (28) ayat 56 yang berarti: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

Pada ayat yang pertama disebutkan bahwa Nabi SAW dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus, sedangkan pada ayat berikutnya dijelaskan bahwa Nabi SAW tidak dapat memberi petunjuk sekalipun kepada orang yang dikasihinya. Sepintas terlihat kedua ayat ini berlawanan. Namun dengan memahami kaidah bahasa, seperti dijelaskan al-Isfahani, dapat dibedakan makna hidayah dalam kedua ayat tersebut.

Hidayah dalam ayat pertama diikuti kata “menuju” sehingga yang dikehendaki adalah petunjuk yang bersifat umum, sedangkan yang kedua tidak disertai kata “menuju” dan karenanya yang dimaksud adalah petunjuk yang bersifat khusus. Dengan demikian dipahami bahwa pada ayat pertama Nabi

SAW dapat memberi petunjuk dalam arti “menyampaikan ajaran agama”, tetapi ia tidak dapat memberi petunjuk dalam arti “memberikan kemampuan untuk melaksanakan ajaran agama tersebut”. Berbeda dengan Allah SWT, Dia mampu memberi petunjuk kepada manusia dalam arti “memberi kemampuan untuk melaksanakan ajaran agama yang disampaikan”.

DAFTAR PUSTAKA

al-Isfahani, Ragib. Mufradat Alfadz Al-Qur’an. Damascus: Dar al-Qalam, 1991.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
az-Zamakhsyari. Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. at-Tafsir al-Munir. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991.

A. Thib Raya