Hibah

(Ar.: al-Hibah)

Hibah berarti “suatu pemberian kepada orang lain, yang sebelumnya tidak berhak atas benda tersebut”. Hibah dalam arti tersebut bersifat umum, baik untuk yang bersifat materi (‘ain) maupun nonmateri. Ahli fikih mendefinisikan hibah sebagai “akad yang mengandung penyerahan hak milik seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi”.

Berdasarkan pengertian dari para fukaha, akad hibah semata-mata bersifat penyerahan harta kepada orang lain secara sukarela, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Penyerahan itu dilakukan pemilik selama ia masih hidup. Dengan demikian, akad hibah itu tidak terkait dengan syarat apa pun.

Jika hibah itu dikenakan ganti rugi dari pihak yang akan menerima hibah, hal itu tidak lagi dinamakan hibah, tetapi sudah berubah menjadi akad jual beli. Demikian juga halnya kalau seseorang menghibahkan hartanya yang ia syaratkan baru berlaku setelah ia meninggal dunia, hal ini juga tidak dinamakan hibah, tetapi dihukumkan sebagai wasiat.

Hibah seperti dikemukakan di atas adalah hibah dalam pengertian yang khusus. Adapun pengertian yang umum untuk hibah bisa juga mengandung tindakan hukum hadiah atau sedekah. Keduanya merupakan pemberian yang bersifat sukarela dan mengharapkan rida Allah SWT semata.

Hibah menurut ajaran Islam dimaksudkan untuk menjalin kerjasama sosial yang lebih baik dan untuk lebih mengakrabkan hubungan sesama manusia. Islam, sesuai dengan namanya, bertujuan agar penganutnya hidup berdampingan secara damai, penuh kecintaan serta kasih sayang, dan saling membantu dalam mengatasi kesulitan bersama atau pribadi. Untuk terciptanya hal tersebut, salah satu jalan yang dianjurkan Islam adalah hibah.

Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Saling memberi hadiah dan saling berkasih sayanganlah kamu” (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain dari Khalid bin Adiy, Nabi SAW mengatakan, “Jika salah seorang saudaramu (seiman) datang memberikan sesuatu secara baik tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengharapkan sesuatu sebagai imbalan, maka terimalah pemberian tersebut; jangan kamu menolaknya, karena hal itu merupakan rezeki yang dialirkan Allah kepada kamu” (HR. Imam Hanbali).

Dalam kitab hadis banyak ditemui hadis yang menunjukkan bahwa Nabi SAW sering diberi hadiah oleh orang lain dan tidak pernah menolaknya. Untuk itulah Nabi SAW memotivasi pengikutnya untuk menerima pemberian orang lain yang seiman, jika pemberian itu tidak mempunyai motivasi lain selain dari sekadar rasa persaudaraan dan kerelaan.

Bahkan lebih dari itu, dapat dilihat bahwa Nabi SAW sendiri menerima hadiah yang dikirimkan sejumlah penguasa dan orang kafir. Oleh karena itu, fukaha berpendapat adalah makruh hukumnya jika seseorang menolak pemberian orang lain yang tanpa pamrih.

Hibah merupakan suatu akad yang bersifat untuk mempererat silaturahmi antara sesama manusia, namun sebagai suatu tindakan hukum hibah tersebut mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, baik oleh yang menyerahkan hibah maupun bagi orang yang menerima hibah tersebut. Akibatnya, jika salah satu rukun atau syarat hibah itu tidak terpenuhi, hibah menjadi tidak sah. Adapun rukun hibah itu ada tiga.

Pertama, adanya ijab dan kabul yang menunjukkan pemindahan hak milik dari seseorang (yang menghibahkan) kepada orang lain (yang menerima hibah). Bentuk ijab bisa dengan kata “hibah” itu sendiri, dengan kata “hadiah”, atau juga dengan kata lain yang mengandung arti pemberian.

Terhadap kabul (penerimaan dari pemberian hibah), ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam Syafi‘i menyatakan bahwa harus ada pernyataan menerima (kabul) dari orang yang menerima hadiah, karena kabul ini termasuk rukun. Bagi segolongan ulama Mazhab Hanafi, kabul bukan termasuk rukun hibah. Dengan demikian sigat (bentuk) hibah itu cukup dengan ijab (pernyataan pemberian) saja.

Kedua, ada orang yang menghibahkan dan yang akan menerima hibah. Untuk ini disyaratkan bahwa yang diserahkan itu benar-benar milik penghibah secara sempurna dan penghibah harus orang yang cakap untuk bertindak menurut hukum. Oleh karenanya, harta orang lain tidak boleh dihibahkan. Demikian pula hibah orang gila atau anak kecil.

Syarat lain yang penting bagi penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar.

Ketiga, ada harta yang akan dihibahkan, dengan syarat harta itu milik penghibah secara sempurna (tidak becampur dengan milik orang lain) dan merupakan harta yang bermanfaat serta diakui agama. Dengan demikian, jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, bukan milik penghibah secara sempurna (misalnya harta pinjaman dari orang lain), harta tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda yang ‘ain (materi)-nya diharamkan agama, hibah tersebut tidak sah.

Sesuai dengan definisi di atas, bahwa hibah itu diserahkan semasa penghibah hidup, muncul persoalan seandainya penghibah tersebut dalam keadaan sakit yang sangat parah sehingga kecil kemungkinannya untuk bertahan hidup. Dalam hal ini ulama mengatakan bahwa hibahnya tersebut dihukumkan sebagai wasiat.

Akibatnya, harta yang dihibahkan itu baru bisa berpindah tangan kepada orang yang dihibahkan setelah penghibah meninggal dunia. Karena sifatnya telah berubah dari hibah menjadi wasiat, yang diberlakukan pada waktu itu adalah hukum wasiat. Jika hibahnya itu melebihi sepertiga harta, harus dikurangi menjadi sepertiga harta.

Hal ini sesuai dengan ketentuan hadis Nabi SAW yang menegaskan bahwa batas maksimal wasiat adalah sepertiga harta (HR. Daruqutni dari Mu‘az bin Jabal). Akan tetapi jika penghibah yang sakit parah tadi ternyata sehat kembali, pemberian tersebut tetap berlaku sebagai hibah dan untuknya berlaku ketentuan hibah.

Mayoritas ulama mengatakan bahwa penghibah diharamkan menarik kembali hibahnya jika penyerahan harta telah dilakukan secara sempurna, sekalipun hibah itu berlangsung antara sesama saudara atau suami istri. Tetapi mereka membolehkan seorang ayah menarik kembali hibah yang telah diserahkan kepada anaknya.

Pendapat jumhur ini didasarkan pada sabda Nabi SAW yang berarti: “Jika seseorang telah memberikan suatu pemberian atau menghibahkan suatu barang (kepada seseorang), maka tidak boleh ia tarik kembali (pemberian atau hibah tersebut), kecuali seorang ayah (menarik kembali) apa yang telah diberikan kepada anaknya.

Orang yang menarik kembali pemberian atau hibahnya tak ubahnya seperti seekor anjing yang muntah dan menjilat kembali muntahnya tersebut” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan at-Tirmizi).

Ada ulama lain yang berpendapat bahwa boleh saja menarik kembali hibah apabila sifat harta yang dihibahkan itu belum berubah, misalnya hibah yang dilakukan dengan mengharapkan ganti rugi dari yang menerima hibah; sementara itu orang yang menerima hibah tidak mau membayar ganti rugi yang diminta. Dalam kasus hibah seperti ini, ulama berpendapat bahwa hibah itu boleh ditarik kembali.

Dengan demikian, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, hibah yang tidak boleh ditarik kembali itu adalah hibah yang dilaksanakan semata-mata bersifat kerelaan, bukan untuk mendapatkan imbalan ganti rugi. Hibah yang dilakukan untuk mengharapkan ganti rugi boleh ditarik kembali apabila penerima hibah tidak mau membayar ganti rugi.

DAFTAR PUSTAKA

al-Buqa, Mustafa. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Dar al-Mustaqbal, 1982.
Ibnu Qayyim, Syamsuddin Abu Abdullah al-Jauziyah ad-Dimasqi. I‘lam al-Muwaqqi‘in. Beirut: Dar al-Jail, 1973.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Maqdusi, Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: al-Maktaba ar-Riyad al-Hadisah, 1981.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1971.
az‑Zarqa’, Mustafa Ahmad. al‑Madkhal ilA al‑Fiqh al‑‘am: al‑Fiqh al‑Islami fi Taubih al‑Jadid. Beirut: Dar al‑Fikr, 1946.
az-Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1985.

Nasrun Haroen