Hayat

(Ar.: al-Hayah)

Secara kebahasaan, al-Hayah berarti “hidup, kehidupan, nyawa, tumbuh berkembang, kekal, atau berguna”. Kata “hayat” dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia di dunia yang ditandai antara lain dengan pertumbuhan fisik, pertambahan usia, pemenuhan kebutuhan biologis, perkawanan, kepemilikan harta, kedudukan, kemegahan, dan seterusnya kemudian pikun dan akhirnya mati.

Kata “hayat” termasuk kata yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an (Kamus yang Menghimpun Kata dalam Al-Qur’an) menginformasikan bahwa kata tersebut dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 76 kali. Enam puluh delapan kali di antaranya dihubungkan dengan kata ad-dunya, sehingga tersusun menjadi kata al-Hayah ad-dunya yang berarti kehidupan dunia sebagai lawan dari kehidupan akhirat (QS.2:85, 86, 204; 3:185).

Ayat lain menjelaskan bahwa kehidupan dunia bersifat permainan, kelalaian, perhiasan, bermegah­megahan di antara sesama manusia, saling memperbanyak harta dan anak, serta bagaikan tanaman yang tumbuh sesudah hujan. Tanaman itu tumbuh dengan subur dan mengagumkan para pe tani, kemudian kering, kuning, dan akhirnya mati (QS.57:20).

Menurut Ali al-Hamidi, pakar fikih, dalam bukunya Jalan Hidup Muslim, sifat kehidupan dunia yang demikian itu sesuai dengan tahap perkembangan kehidupan manusia yang terdiri dari empat masa atau periode.

(1) Masa kanak-kanak, yang dimulai dari usia 1–12 tahun. Pada masa ini seseorang mulai pandai bergerak, berjalan, belajar berbicara, dan belajar mengenal lingkungan yang ditandai oleh kegemaran bermain.

(2) Masa remaja atau masa muda, yang dimulai dari usia 13–20 tahun. Pada masa ini seseorang menyukai kelalaian, pakaian yang bagus, perhiasan yang indah, kendaraan, bunyi-bunyian yang merdu, pesiar ke sana ke mari, bersenda gurau dengan kawannya, dan seterusnya.

(3) Masa dewasa, yang dimulai dari usia 21–40 tahun. Pada masa ini seseorang menyukai kebesaran dan kemegahan, seperti kegemaran memperbanyak harta, anak, kawan, para pengikut, disegani orang, dan sebagainya.

4) Masa tua atau usia lanjut, mulai dari usia 41 tahun ke atas. Pada masa ini seseorang menyukai ilmu pengetahuan dan menunaikan kewajiban hidupnya. Orang yang berada dalam usia lanjut ini sudah berani memberi nasihat kepada kanak-kanak, remaja, dan orang dewasa.

Dijelaskan pula bahwa kehidupan dunia itu merupakan kenikmatan yang bersifat sementara (QS.3:185). Berdasarkan ayat ini al-Ghazali (1058–1111) mengumpamakan kepentingan manusia terhadap kebutuhan dunia dan kealpaannya terhadap akhirat adalah bagaikan satu kaum yang menaiki kapal. Semua penumpangnya turun di suatu pulau untuk memenuhi suatu keperluan.

Kemudian nakhoda kapal itu memberi peringatan, ”Janganlah tuan-tuan lama tinggal di pulau ini, jangan lewat dari waktunya, dan jangan tuan-tuan kerjakan pekerjaan selain salat sebab kapal akan segera berlayar.” Menurut al-Hamidi, perumpamaan yang diberikan al-Ghazali ini menunjukkan keadaan orang yang hidup di dunia.

Ada yang senantiasa ingat kepada kehidupan akhirat. Ada yang lalai dan terpikat dengan kehidupan dunia sehingga tidak memikirkan akhirat. Ada pula yang terpikat kepada kehidupan dunia, namun kemudian segera sadar akan kehidupan akhirat.

Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan yang serba sedikit (QS.9:38) dan bagaikan air hujan yang turun lalu segera surut kembali (QS.10:24). Selain itu dalam Al-Qur’an terdapat pula kata “hayat” yang diberi bermacam-macam sifat, misalnya al-hayah ath-thayyibah yang berarti “kehidupan yang baik dan sejahtera”. Ada pula kata al-Hayah yang dihubungkan dengan kata sifat yang terdapat pada sebelum dan sesudah kata tersebut, seperti di‘fa al-Hayah yang berarti “kelemahan hidup” (QS.17:75).

Jamil Shaliba, seorang filsuf, dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Falsafi (Kamus Istilah Filsafat) menjelaskan berbagai pengertian kehidupan menurut berbagai tinjauan para ahli sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing. Menurutnya, yang dimaksud dengan kehidupan oleh kalangan ulama al-qudama’ (klasik) adalah jasad yang tersusun dari beberapa unsur yang seimbang yang tidak dapat dibagi-bagi lagi.

Dalam pandangan ini kehidupan merupakan wujud (keberadaan), mencakup berbagai pengertian, tingkah laku, bentuk, rupa, ucapan, perbuatan, tumbuhan, dan sebagainya. Selain itu Jamil Shaliba menyatakan bahwa arti kehidupan menurut ulama muta’akhkhirin (generasi belakangan), adalah suatu kesatuan yang terlihat pada binatang dan tumbuhan yang di dalamnya mengandung unsur kemampuan untuk makan, tumbuh, berketurunan, dan sebagainya.

Pengertian kehidupan yang terakhir itu sejalan dengan pendapat Ibnu Sina (980–1037). Namun, istilah yang dipergunakan Ibnu Sina untuk menerangkan sesuatu yang memiliki kehidupan itu adalah “jiwa”. Jiwa yang memiliki kehidupan tersebut ada tiga macam, yaitu jiwa (kehidupan) tumbuhan, binatang, dan manusia.

Ciri jiwa (kehidupan) tumbuhan adalah kemampuan untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak. Ciri kehidupan binatang adalah kemampuan untuk makan, tumbuh, berkembang biak, bergerak, dan menangkap stimulus baik dari luar maupun dari dalam.

Adapun jiwa (kehidupan) manusia selain memiliki ciri kehidupan yang dimiliki tumbuhan dan binatang sebagaimana disebutkan di atas, juga ditandai oleh adanya dua daya atau kesanggupan, yakni daya yang bersifat praktis, yaitu daya menangkap suatu pengertian dengan bantuan pancaindra; dan daya yang bersifat teoretis, yaitu daya yang ada hubungannya dengan akal abstrak.

Daya teoretis dibedakan menjadi empat macam:

(1) akal material, yaitu akal yang mempunyai potensi untuk berpikir namun belum dilatih;

(2) intellectus in habitu (Latin), yaitu akal yang sudah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak;

(3) akal aktual, yaitu akal yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak; dan

(4) akal mustafad, yaitu akal yang telah sanggup memikirkan hal-hal abstrak tanpa memerlukan daya upaya. Akal yang terakhir ini telah terlatih dan sanggup menerima limpahan pengetahuan dari Tuhan.

Ibnu Sina mengatakan corak dan sifat kehidupan manusia sangat ditentukan oleh ketiga jiwa tersebut. Jika jiwa tumbuhan dan binatang berkuasa pada dirinya, orang itu dapat menyerupai kehidupan binatang. Tetapi jika jiwa berpikir mempengaruhi dirinya, kehidupan orang tersebut menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.

Tiga sifat kehidupan yang dimiliki manusia itu sesuai dengan pendapat Barmawie Umarie, pakar ilmu etika, dalam bukunya Materi Akhlak. Menurutnya, dalam diri manusia itu ada empat macam tabiat:

(1) tabiat bahimiyyah (tabiat binatang jinak yang memamah biak), yaitu pandai mendekati manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya;

(2) tabiat sabu‘iyyah, yaitu tabiat binatang buas yang bertabiat ingin senang dan enak sendiri;

(3) tabiat syaithaniyyah, yaitu suka memperdayakan orang lain agar orang tersebut terjerumus ke lembah kehinaan sehingga ia tersesat dan hidup bagaikan binatang; hal ini sejalan dengan keterangan yang diberikan Al-Qur’an yaitu manusia bisa seperti binatang bahkan lebih sesat lagi (QS.7:179); dan

(4) tabiat rububiyyah yang penuh dengan sifat ketuhanan, selalu memelihara semua pekerjaan yang berakhir dengan mengharapkan keridaan Tuhan, belas kasih, ikhlas, menolong, santun, dan segala sifat terpuji lainnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Al-Qur’an yang mengatakan bahwa dalam diri manusia itu terdapat roh yang diembuskan Tuhan, sehingga manusia itu tunduk dan sujud kepada-Nya (QS.15:29; 38:72).

Jamil Shaliba mengatakan bahwa di kalangan para ahli tasawuf terdapat pengertian al-Hayah dalam arti tajalli an-nafs wa tanwiruha fi al-anwar al-ilahiyyah (terbukanya hati yang disinari cahaya Tuhan dengan jelas dan terang). Para ahli tasawuf selanjutnya membuat perbedaan antara kehidupan yang bersifat fisik dan kehidupan yang bersifat spiritual. Menurut mereka, kehidupan secara fisik itu menghendaki adanya sarana dan prasana kebendaan yang tampak dalam kehidupan materiil.

Adapun kehidupan spiritual memerlukan hal yang lebih tinggi lagi, yaitu latihan spiritual yang dapat memperbaiki keadaannya dan membawanya kepada tingkat yang lebih mulia. Kehidupan yang bersifat materiil itu dikenal dengan nama kehidupan duniawi, sedangkan kehidupan spiritual dikenal dengan nama kehidupan ukhrawi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
HAMKA. Falsafah Hidup. Jakarta: Umminda, 1982.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Rahardjo, M. Dawam, ed. Insan Kamil. Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri, 1978.
Umarie, Barmawie. Materi Akhlak. Yogyakarta: Ramadhan, 1978.
az-Zamakhsyari. Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Abuddin Nata