Dari segi arti kata, haul berarti “kekuatan, kekuasaan, daya, upaya, perubahan, perpindahan, tahun, pemisah, dan sekitar”. Sebagai istilah, haul berarti: (1) “berlalunya waktu 12 bulan hijriah terhadap harta yang wajib dizakatkan di tangan si pemilik (muzaki)”; dan (2) “peringatan ulang tahun wafatnya seorang tokoh Islam”, khususnya di kalangan warga NU di Indonesia.
Pengertian “haul” yang akan diuraikan dalam tulisan ini hanya menyangkut pengertian pertama, yaitu yang berhubungan dengan zakat. Haul dengan pengertian “berumur satu tahun” dalam Al-Qur’an didapati hanya satu kali, yaitu pada surah al-Baqarah (2) ayat 240. Kandungan ayat ini menyatakan bahwa istri yang kematian suami berhak mendapatkan nafkah selama satu tahun dan tidak dikeluarkan dari rumah suaminya.
Dalam ayat 233 surah yang sama kata “haul” digunakan juga dalam bentuk mutsanna (dua), yaitu kata haulaini (2 tahun). Ayat ini berbicara tentang masa penyusuan anak, yakni sebaiknya dilakukan selama 2 tahun. Haul dalam kaitannya dengan zakat tidak didapati dalam Al-Qur’an.
Haul yang berkaitan dengan zakat didapati dalam hadis Nabi SAW yang berbunyi: “Tidak wajib zakat terhadap harta yang belum haul (berumur satu tahun)” (HR. Daruqutni dan al-Baihaqi). Syarat haul ini hanya dikenakan pada harta yang sifatnya berkembang, seperti emas, perak, uang, binatang ternak, dan harta perniagaan, karena semua yang disebutkan ini merupakan modal bagi pemilik barang. Jika belum melalui masa satu tahun, harta tersebut tidak wajib dizakatkan.
Untuk hasil pertanian, seperti biji-bijian dan buah-buahan tidak disyaratkan haul, melainkan setiap panennya wajib dizakati. Hal ini secara tegas ditunjuk dalam ayat Al-Qur’an dan hadis. Ayat yang dimaksudkan adalah firman Allah SWT yang berarti: “Tunaikanlah hak (zakat)-nya di hari memetik hasilnya” (QS.6:141).
Dalam pada itu timbul permasalahan bagaimana kalau harta itu telah sampai satu nisab, tetapi belum melalui masa satu tahun. Dalam kasus seperti ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa sekalipun harta itu belum sampai satu tahun tetapi nisabnya telah sampai, zakatnya sudah wajib dikeluarkan.
Menurut mereka, perhitungan haul itu bukan berarti berlalunya satu tahun, melainkan dalam masa berlangsungnya satu tahun itu sendiri jika harta telah memenuhi nisabnya. Berbeda dengan Mazhab Hanafi di atas, ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa sekalipun telah sampai satu nisab tetapi belum sampai satu tahun, zakatnya belum wajib dikeluarkan.
Perbedaan ini muncul karena ulama Mazhab Hanafi lebih menekankan jumlah harta dalam masa satu tahun tersebut, sehingga kalau jumlahnya sudah sampai satu nisab, walaupun masanya belum mencapai satu tahun, sudah wajib dizakatkan.
Sementara ulama dari Mazhab Syafi‘i, di samping jumlah, juga terikat pada hadis Nabi SAW yang mengatakan, “Siapa yang memiliki sejumlah harta, dia tidak dikenakan zakat, kecuali setelah harta itu berumur satu tahun” (HR. Malik dan Ibnu Majah).
Haul juga dikenakan dalam hal perwalian harta yaitu perwalian dalam mengurus seseorang yang dipandang belum mampu mengurus sendiri hartanya, misalnya harta milik anak kecil atau orang yang sakit ingatan. Dalam hal ini wali harta wajib memelihara harta tersebut dan mengeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nisab dan haul (satu tahun).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
al-Atar, Nuruddin. Dirasah Tathbiqiyyah fi al-hadits an-Nabawi. Damascus: Dar al-Kitab, 1975.
al-Maqdusi, Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, 1981.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. Fiqh az-Zakah. Beirut: Dar al-Irsyad, 1969.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1968.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Nasrun Haroen