Ahmad Hassan adalah seorang ulama yang berpendirian teguh dan ahli dalam berbagai ilmu keagamaan, seperti fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan kalam. Ia juga ahli debat dan tokoh pembaru terkemuka dari kalangan Persatuan Islam (Persis). Sebagai ulama dan politikus ia pernah menjadi penasihat Persis dan anggota Majlis Syura Masyumi.
Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad, kemudian masyhur dengan sebutan Hassan Bandung ketika ia tinggal di Bandung; setelah pindah ke Bangil, dekat Surabaya, biasa pula disebut Ahmad Hassan Bangil.
Ayahnya, Ahmad, adalah seorang penulis dan wartawan yang memimpin majalah bulanan Nurul Islam di Singapura; ibunya, Maznah, adalah wanita dari Madras, India, yang mempunyai asal-usul dari Mesir. Ahmad dan Maznah menikah di Surabaya, kemudian pindah ke Singapura. Di sinilah Ahmad Hassan dilahirkan dan dibesarkan.
Ayahnya menginginkan Ahmad Hassan sebagai anak laki-laki untuk menjadi penulis. Untuk itu Ahmad Hassan harus mendapat pengetahuan agama yang memadai. Pada usia 7 tahun, ia mulai mempelajari Al-Qur’an dan pengetahuan dasar keagamaan. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, kedua plajaran ini dapat diselesaikannya dalam 2 tahun.
Setelah itu ia masuk sekolah Melayu selama 4 tahun. Kemudian ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil, dan Inggris, yang juga diselesaikannya selama 4 tahun. Ia menjalani banyak kegiatan belajar sesudah itu dengan mendatangi beberapa ulama, antara lain Haji Ahmad Kampung Tiung, Haji Muhammad Taib Kampung Rokoh, Said Abdullah al-Munawi al-Mausili, Abdul Latif, Haji Hasan, dan Syekh Ibrahim India.
Meskipun ketekunannya dalam belajar begitu tinggi, di luar jam belajar ia juga suka mengasah keterampilan, seperti bertenun dan bertukang. Selain itu, ia sering pula membantu ayahnya di percetakan.
Ketika ia memasuki usia remaja, keinginan ayahnya mulai menjadi kenyataan. Ahmad Hassan mulai mempublikasikan karya tulisnya. Pada 1909 ia menjadi pembantu surat kabar Utusan Melayu, terbitan Singapura. Tulisannya banyak mengandung kritik konstruktif untuk kemajuan umat Islam. Corak tulisan bernada kritik tersebut banyak mewarnai tulisannya di masa sesudahnya.
Di samping menulis, ia juga bekerja sebagai guru di madrasah untuk orang India di beberapa tempat di Singapura. Di luar jam mengajar, ia mencari nafkah dari sumber lain yang halal. Ia pernah menjadi pedagang batu permata, agen es, makelar pakaian, penambal ban mobil, dan selama setahun menjadi kerani kepala di Pilgrim Office yang mengurus perjalanan haji di Jiddah.
Pada 1921 ia berangkat ke Surabaya untuk mengurus toko kain milik guru yang juga pamannya, Haji Abdul Latif. Tetapi di sana ia menyaksikan suatu gejolak pemikiran keagamaan yang sedang hangat antara kaum tua dan muda. Kaum tua mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat, sedangkan kaum muda ingin menghapuskan apa-apa yang tidak mempunyai landasan dari Al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW.
Pada mulanya ia cenderung kepada kaum tua. Ia bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah (seorang tokoh Nahdlatul Ulama) dan terjadilah persahabatan dengan ‘wakil kaum tua’ itu. Tetapi dalam menghadapi berbagai masalah yang muncul ketika itu ia merasa tidak puas lagi dengan jawaban kaum tua.
Dalam pada itu ia bertemu dengan Pakih Hasyim, seorang pedagang dan ulama dari Sumatera Barat, yang telah banyak meneguk pemikiran pembaruan dari kaum muda Sumatera Barat; antara keduanya pun segera terjadi persahabatan yang akrab.
Dalam usaha dagangnya, Ahmad Hassan tidak bernasib baik. Toko yang dikelolanya mengalami kemunduran, lalu dikembalikan kepada Haji Abdul Latif. Ia kembali membuka usaha tambal ban, tetapi usaha ini tidak lama dijalankannya, karena ia mendapat kepercayaan untuk mempelajari cara bertenun di Kediri.
Setelah beberapa bulan di Kediri terasa keterampilan yang diperolehnya masih terlalu sedikit untuk dapat mengelola sebuah perusahaan tenun. Pada 1924 ia meneruskan pelajaran bertenun di Bandung. Di sana ia tinggal pada keluarga KH M. Yunus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis). Oleh sebab itu ia kembali terlibat dalam urusan keagamaan.
Sesuai dengan perjanjian ketika akan berangkat ke Bandung, Ahmad Hassan tetap akan bekerjasama dalam perusahaan tenun dengan dua sahabatnya di Surabaya. Tetapi orang Persis berusaha menahannya di Bandung sebagai guru Persis. Untuk itu mereka mengadakan persetujuan dengan kedua sahabatnya di Surabaya agar perusahaan itu dibuka di Bandung dengan Ahmad Hassan sebagai pengelolanya.
Perusahaan dibuka di Bandung pada 1926, tetapi kali ini usaha Ahmad Hassan juga tidak berhasil karena kesulitan fasilitas benang dan celup, sementara modal terbatas. Akhirnya perusahaan itu terpaksa ditutup.
Ahmad Hassan kemudian menumpahkan perhatian untuk memajukan Persis di samping menuli. Tulisan pertamanya yang mendapat sambutan baik dari masyarakat ialah Tafsir al-Furqan yang dicetaknya sendiri.
Dalam masa ini ia berkenalan dengan Soekarno, yang dengan perkenalan itu mendapat manfaat besar dalam mengenal Islam, meskipun di sana-sini terjadi benturan pemikiran antara keduanya. Di Bandung pulalah ia berkenalan dengan Mohammad Natsir, yang sekaligus menjadi murid dan sahabatnya.
Bersama M. Natsir ia menerbitkan majalah Pembela Islam (terbit sampai 72 nomor), kemudian majalah al-Lisan (terbit sebanyak 58 nomor). Dalam kedua majalah tersebut Ahmad Hassan memperlihatkan sosok pribadinya sebagai pembela, pemurni, dan pembaru Islam. Dengan itu pula namanya dikenal di segenap pelosok Nusantara, Malaysia, dan Singapura.
Dalam membela Islam, Ahmad Hassan bukan hanya mengerahkan keahliannya melalui tulisan, melainkan juga melalui perdebatan lisan. Keahliannya dalam berdebat menyebabkan banyak lawannya kalah dan kembali ke jalan yang benar. Ia tidak memilih-milih lawan berdebat; siapa saja, kapan saja, dan di mana saja perdebatan akan diadakan, bahkan ia bersedia membiayai pelaksanaannya.
Setelah 17 tahun di Bandung dan Persis sudah dikenal masyarakat luas, pada 1941 ia hijrah ke Bangil. Di sini ia terus mengembangkan Persis dengan menulis, bertablig, dan berdebat.
Pada 1956 ia menunaikan ibadah haji, tetapi di tanah suci ia jatuh sakit. Keadaan demikian dibawanya pulang ke tanah air. Kemudian datang lagi penyakit baru, yakni infeksi yang menyebabkan kakinya harus dipotong. Dalam keadaan sakit, ia meninggal dunia dalam usia 71 tahun.
Ahmad Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih (usul fikih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Bukunya yang amat populer antara lain adalah: Soal-Jawab, Tafsir al-Furqan, Pengajaran Salat, al-Fara‘idh, dan at-Tauhid.
Daftar Pustaka
Djaja, Tamar. Riwayat Hidup A. Hassan. Jakarta: Mutiara, 1980.
Mughni, Syafiq A. Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Penerbit CV Diponegoro. “Riwayat Hidup A. Hassan,” Soal Jawab. Bandung: Diponegoro, 1970.
Yunasril Ali