Hasan bin Ali bin Abi Thalib adalah cucu Nabi SAW dari putrinya, Fatimah. Menurut Syiah, ia adalah imam kedua setelah Ali. Nama Hasan diberikan Nabi SAW. Ayahnya semula menamainya Harb. Ia tinggal bersama Nabi SAW sampai berusia 7 tahun dan menyimpan kenangan bersama kakeknya, misalnya Nabi SAW membuang makanan yang sudah hampir dimakannya sesudah tahu bahwa makanan itu dari sedekah.
Kecintaan Rasulullah SAW kepada Hasan dan adiknya, Husein bin Ali bin Abi Thalib, digambarkan dalam beberapa riwayat. Misalnya, suatu hari, ketika sedang berpidato, Rasulullah SAW turun dari mimbar untuk menolong Hasan yang jatuh karena menggelayut pada jubahnya. Ketika itu Rasulullah SAW hanya berkata kepada para sahabat, “Biarlah, kekayaan dan anak-anakmu memang menjadi penggoda.” Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW membiarkan cucunya itu menaiki punggungnya ketika ia sedang sujud dalam salat.
Kecintaan Rasulullah SAW kepada cucunya itu juga tergambar pada hadis yang menyatakan, “Hasan dan Husein memberi rasa harum bagiku di dunia.”
Hasan pernah ikut pada ekspedisi penaklukan ke Afrika Utara dan Tabaristan di masa Khalifah Usman bin Affan, ikut melindungi khalifah itu dari serangan pemberontak yang kemudian menewaskannya, ikut dalam Perang Jamal pada 36 H/656 M dan Siffin pada 37 H/657 M bersama ayahnya, dan ikut menjadi staf penasihat ayahnya ketika menjadi khalifah.
Dalam pandangan Syiah, Hasan adalah imam kedua, yang memiliki ilmu batin, dan ditunjuk atas wasiat imam pertama, Ali bin Abi Thalib.
Sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagian masyarakat Arabia, Irak, dan Persia membaiat Hasan sebagai khalifah kelima. Tetapi Hasan tidak berambisi untuk menduduki jabatan itu.
Tiga bulan sesudah dibaiat, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, dengan syarat: Mu‘awiyah tidak menaruh dendam kepada orang Irak dan bekas pendukungnya menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka; pajak dari Ahwaz, salah satu distrik di Persia, diperuntukkan bagi Hasan; Mu‘awiyah membayar uang kompensasi sebesar 5 juta dirham dari bendahara Kufah di samping 1 juta dirham setiap tahun dan pemberian untuk saudaranya, Husein, sebesar 2 juta dirham.
Mu‘awiyah menyetujui permintaan Hasan itu dan pada 41 H/661 M Mu‘awiyah datang ke Kufah untuk menerima penyerahan. Maka tahun itu disebut “Tahun Persatuan” (‘Am al-Jama‘ah), karena hanya ada satu khalifah, yaitu Mu‘awiyah bin Abu Sufyan.
Ketika para pendukungnya mengecam penyerahan kekuasaan kepada Mu‘awiyah, Hasan menjawab bahwa ia tidak rela menyaksikan umat saling membunuh untuk memperebutkan kekuasaan. Dia berkata, “Inti kekuasaan bangsa Arab ada di tanganku dewasa ini. Mereka rela damai jika aku damai dan mereka siap berperang jika aku ingin. Tetapi aku tak ingin pertumpahan darah.”
Dalam literatur Syiah dikatakan bahwa Mu‘awiyah selalu berusaha membunuh Hasan, agar beban pembayaran kompensasi tidak harus dipikulnya terus-menerus. Tercatat 70 kali orang suruhan Mu‘awiyah mencoba meracuni Hasan, tetapi senantiasa gagal, kecuali usaha yang dilakukan melalui istrinya, Ja’dah binti Asy’as binti Qays al-Yamani. Akhirnya, Hasan wafat karena memakan makanan yang dibubuhi racun oleh istrinya. Dalam literatur Syiah juga dikemukakan bahwa orang Mu‘awiyah sempat menancapkan 70 panah ke tubuh Hasan sebelum dikuburkan.
Semasa hidupnya, Hasan berkeinginan dikuburkan di samping kuburan kakeknya, Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi karena ditentang Aisyah binti Abu Bakar dan Marwan bin Hakam, akhirnya jasad Hasan dikuburkan di pekuburan Baqi’ (dekat masjid Madinah).
Istri Hasan mencakup antara lain Haulah binti Manzur al-Fujjariyah yang menurunkan anak Hasan bin Hasan, Ummu Ishaq binti Talhah bin Ubaidullah yang menurunkan Talhah bin Hasan, Ummu Basyar binti Abi Mas’ur al-Ansary yang menurunkan Zain bin Hasan, Ja’dah binti Asy’as bin Qays, Hind binti Suhail bin Umar, dan Hafsah binti Abdurrahman bin Abi Bakar.
Hasan juga mengawini wanita Bani Kalb, anak Amr bin Ahtam, wanita Saqif yang melahirkan Amr, anak perempuan Alqamah binti Zararah, dan wanita Bani Syaiban dari keluarga bangsawan Hammah bin Murrah yang segera ditalaknya karena memiliki paham Khawarij.
Anak Hasan ada sebelas, yaitu: Zaid, al-Hasan, al-Qasim, Abu Bakar, Abdullah, Amru, Abdurrahman, al-Husein yang digelari asy-Asyram, Muhammad, Ya’qub, dan Isma’il.
Daftar Pustaka
Amin, Ahmad. Duha al-Islam. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975.
–––––––. Fajr al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1975.
Goldziher, Ignas, et al. “Ahl al-Bayt,” The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1960.
Haekal, Muhammad Husein. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma’arif, t.t.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Hodgson, Marshal G.S. The Venture of Islam. Chicago: Chicago University Press, 1974.
Ibnu Hisyam. Sirah Ibn Hisyam. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
Jafri, S. Husein M. Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syiah, terj. Meth Kieraha. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989.
al-Malatawi, Hasan Kamil. Khamis al-Khulafa’ ar-Rasyidin al-Imam al-Hasan bin ‘Ali. Cairo: al-Majlis al-A’la li asy-Syu’un al-Islamiyah, 1386 H/1966 M.
Muhammadunnasir, Syed. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi. Bandung: CV Rosda, 1988.
al-Qadir, Ali Hasan Abd. Ahl Bayt al-Jami‘ah at-Ta‘limat al-Islamiyyah, atau Siapa, Mengapa Ahlul Bayt, terj. Bandung: Penerbit Bina Ilmu, 1991.
Rasyid Rida, Muhammad. al-Hasan wa al-Husain Sabta Rasul Allah SAW. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H/1987 M.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988.
Thabathaba’i, Husein. Tafsir al-Mizan. Qum: Mansyurat Jama’ah al-Mudarrisin, t.t.
Vaglieri, Veccia, L. “al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib,” The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1971.
Atjeng Achmad Kusaeri