Hasan Al-Banna

(Mahmudiya, Mesir, 1906 – Cairo, 12 Februari 1949)

Hasan al-Banna  adalah tokoh pergerakan dan pembaruan Mesir serta pendiri Ikhwanul Muslimin. Ia berasal dari keluarga saleh, berpendidikan, kaya, dan terhormat. Ia taat, sederhana, ikhlas, dan gigih berdakwah. Ayahnya, Syekh Ahmad Abdurrahman, adalah guru, imam masjid setempat, dan pengarang, antara lain Kitab Syarh al-Hadita. Ia pernah belajar di Universitas al-Azhar pada masa Muhammad Abduh.

Sejak masa kanak-kanaknya, Hasan al-Banna telah dididik dan diberi pelajaran tentang berbagai bidang ilmu agama oleh ayahnya. Semula ia memasuki sekolah persiapan dan kemudian meneruskan pelajarannya ke sekolah pendidikan guru di Damanhur. Sejak berusia belasan tahun ia juga aktif dalam kelompok tasawuf Hassafiyah. Di bidang fikih, ia penganut Mazhab Hanbali.

Setelah tamat dari pendidikan guru, ia melanjutkan studinya ke Universitas Dar al-Ulum di Cairo. Di sini ia dikenal sebagai mahasiswa yang rajin, cerdas, dan berbakat menjadi pemimpin. Ia berhasil menyelesaikan studinya di universitas itu dalam usia relatif muda, 21 tahun.

Kemudian ia kembali ke daerah kelahirannya dan mulai merumuskan ide pembaruannya serta aktif melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat. Sejak itulah ia mulai dikenal umum; idenya menarik perhatian dan simpati orang banyak.

Gagasan Hasan al-Banna tidak lepas dari pengaruh situasi sosial politik Mesir kala itu. Setelah Sa‘d Zaglul (w. 23 Agustus 1927), pemimpin kemerdekaan Mesir, meninggal, terjadi disintegrasi politik dalam negeri, dan Mesir menjadi ajang pertarungan antarpartai politik. Akibat persaingan yang tidak sehat ini, memudarlah semangat nasionalisme dan lemahlah bangsa Mesir.

Selain itu, partai politik yang berkuasa pada waktu itu sudah tidak lagi berkiblat ke Islam dalam menentukan arah kebijakan politiknya, melainkan sepenuhnya berkiblat ke Barat. Seluruh aturan, kebiasaan, nilai moral, dan konsepsi politiknya berorientasi ke Barat.

Dalam bidang agama dan moral, Mesir tampaknya sudah melupakan Islam sebagai pandangan hidup. Di bidang ekonomi, rakyat jatuh miskin dan lemah; sumber daya alam, modal, dan pengawasan perekonomian berada di tangan asing, Inggris. Sementara itu, dalam dunia pendidikan terjadi pula kepincangan, terutama dalam soal kurikulum.

Sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengesampingkan ilmu agama. Sebaliknya, sekolah agama semata-mata mengutamakan ilmu agama dan tidak menghiraukan ilmu umum.

Selain itu, khusus di bidang politik, tampak adanya pengelompokan dan pemisahan tajam antara ahli agama dan ahli politik. Ahli agama dipandang hanya berwenang berbicara mengenai agama, dan ahli politik berwenang berbicara mengenai politik.

Berbicara mengenai politik dipandang tabu bagi ahli agama, sehingga pada waktu itu, terutama di Mesir, muncul organisasi agama, seperti perkumpulan ta­sawuf, yang mencantumkan dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi itu tidak mempunyai hubungan dengan soal politik.

Sebaliknya, lahir pula banyak partai politik yang mengaku tidak mempunyai hubungan dengan soal agama. Pendek kata, Mesir dan rakyatnya, paling tidak di mata Hasan al-Banna, telah dilanda kemerosotan dalam berbagai aspek kehidupan. Suasana demikian sangat memprihatinkan dirinya.

Kemerosotan yang tengah melanda Mesir itu, demikian Hasan al-Banna, hanya dapat diatasi dengan kembali kepada Al-Qur’an dan hadis serta sirah Nabi SAW. Ide dasar yang dikemukakannya adalah bahwa Islam membawa ajaran yang sempurna, mencakup semua aspek kehidupan. Tampaknya ide itu dilontarkannya sebagai reaksi terhadap beberapa ide yang telah berkembang pada waktu itu, seperti sekularisme dan westernisme.

Sebenarnya apa yang diinginkan Hasan al-Banna adalah diterapkannya ajaran Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Islam harus dijadikan pedoman dalam setiap hal, dari soal mengatur rumahtangga sampai kepada mengatur negara.

Hasan al-Banna menyadari bahwa perjuangan untuk mencapai suatu masyarakat Mesir yang betul-betul islamiah tidaklah mudah, melainkan memerlukan waktu yang cukup lama serta menuntut adanya suatu rencana dan program yang harus terorganisasi. Maka pada 1928 ia bersama beberapa kawannya mendirikan sebuah perkumpulan yang terkenal dengan nama Ikhwanul Muslimin. Sejak itu ia terus aktif berdakwah dan berjuang tak kenal lelah bersama Ikhwanul Muslimin sampai akhir hayatnya.

Ikhwanul Muslimin mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, organisasi ini berkembang dengan pesat. Pada 1932 Ikhwanul Muslimin telah mempunyai 15 cabang, kemudian meningkat menjadi 500 cabang pada 1940, dan 2.000 cabang pada 1949 dengan jumlah anggota aktif sekitar 500.000 orang, ditambah para simpatisan yang tidak kecil jumlahnya.

Pada 1948, setahun sebelum tokoh pendirinya mati tertembak, organisasi ini bagaikan sebuah negara di dalam negara, yang lengkap dengan pasukan militer, persenjataan, pabrik, sekolah, dan rumah sakit serta klinik sendiri.

Sehubungan dengan cita-cita perjuangannya untuk menerapkan ajaran Islam yang lengkap itu pada semua aspek kehidupan, aktivitas Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin menggapai bidang yang amat luas dan meliputi berbagai aspek, antara lain sebagai berikut.

  1. Aspek Agama dan Moral. Menurut al-Banna, upaya untuk mengatasi melemahnya kesadaran beragama dan dekadensi moral di kalangan masyarakat Mesir dilaksanakan dengan kembali kepada Al-Qur’an dan hadis. Ia, melalui kegiatan Ikhwanul Muslimin, berupaya secara maksimal untuk membina masyarakat dengan iman dan ibadah. Dari upaya ini diharapkan akan lahir masyarakat yang memiliki semangat agama yang kuat dan budi pekerti yang mulia. Akhlak, demikian Hasan al-Banna, adalah tonggak komando perubahan, bagaikan sebatang tongkat yang mengalihkan perjalanan kereta api dari satu jalur rel ke jalur lainnya.
  2. Aspek Sosial. Hasan al-Banna juga sangat menaruh perhatian terhadap masalah sosial. Baginya, beramal untuk kebaikan masyarakat adalah bagian dari misi seorang muslim dalam kehidupan ini. Ia bersama Ikhwanul Muslimin berupaya dan berkarya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat berdasarkan syariat Islam. Hasil konkret yang dicapai dalam kegiatan sosial ini antara lain adalah berdirinya sejumlah rumah sakit dan klinik kesehatan.
  3. Aspek Pendidikan. Inilah aspek sentral dalam kegiatan Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin. Sebab, semua ide al-Banna pada dasarnya ditanam dan diwariskan melalui jalur pendidikan. Secara garis besar, materi pendidikan yang dirancangnya meliputi aspek akal, akhlak, jasmani, jihad, sosial, dan politik. Pendidikan ideal yang diinginkannya adalah pendidikan seimbang yang mementingkan aspek akal dan aspek rohani sekaligus, berlandaskan Al-Qur’an dan hadis, serta memiliki corak keislaman yang jelas. Pembaruan yang dilakukannya terutama menyangkut kurikulum, yaitu berupaya menyeimbangkan antara pelajaran agama dan umum. Ia mengimbau pemerintah agar pengetahuan agama diajarkan di sekolah pemerintah dan sebaliknya pengetahuan umum diajarkan di sekolah agama. Untuk memperluas kesempatan belajar sekaligus merealisasikan sistem pendidikan yang dicita-citakan, ia dan Ikhwanul Muslimin mendirikan sekolah yang tidak sedikit jumlahnya.
  4. Aspek Ekonomi. Melihat keadaan ekonomi Mesir yang sangat lemah dan memprihatinkan akibat dominasi asing, al-Banna dan Ikhwanul Muslimin bangkit membela kepentingan masyarakat ekonomi lemah. Ia gigih memperjuangkan hak para pekerja dan petani serta berusaha memperbaiki kehidupan ekonomi melalui usaha swadaya. Ia berseru kepada pemerintah dan masyarakat agar menguasa dan mengolah sendiri semua sumber daya alam serta menentang setiap campur tangan asing. Secara konkret ia dan Ikhwanul Muslimin mendirikan aneka perusahaan, seperti perusahaan tenun dan pemintalan, perusahaan bangunan dan dagang, percetakan dan penerbitan, serta berbagai usaha di bidang pertanian.
  5. Aspek Politik. Sebenarnya Hasan al-Banna bukan seorang politikus dan Ikhwanul Muslimin yang didirikannya hanya sebuah perkumpulan, bukan partai politik. Walaupun demikian, ia dan tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya tidak absen dari pembicaraan mengenai politik. Hal ini bisa dimaklumi, karena menurut pendapatnya Islam itu suatu sistem yang meliputi berbagai sistem, termasuk sistem politik. Inti idenya dalam bidang politik ini adalah keharusan diterapkannya hukum Islam secara konsekuen di negara Mesir. Secara politis, ia adalah tokoh anti-Barat.

Ada dugaan, keterlibatan Hasan al-Banna dalam politik praktis inilah yang menimbulkan akibat fatal bagi dirinya dan perkumpulan yang didirikannya. Pihak penguasa semakin menaruh curiga terhadapnya dan Ikhwanul Muslimin. Kecurigaan tersebut semakin memuncak dan akhirnya pada 8 Desember 1948 pemerintah Mesir membubarkan Ikhwanul Muslimin, menyita semua kekayaannya, dan memenjarakan tokoh penting organisasi itu selain Hasan al-Banna sendiri.

Tiga minggu setelah pemerintah mengumumkan pembubaran organisasi itu, Perdana Menteri Nuqrashi Pasha mati terbunuh. Pihak penguasa rezim Faruq mempunyai dugaan kuat bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Tujuh minggu kemudian terjadilah tragedi berdarah yang sangat memilukan, terutama bagi warga Ikhwanul Muslimin. Hasan al-Banna tewas ditembak anggota dinas rahasia pemerintah pada 12 Februari 1949.

Daftar Pustaka

al-Banna, al-Imam asy-Syahid Hasan. Mudzakkirah ad-Da‘wah wa ad-Da‘iyah. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1974.
Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age, 1793–1939. London, Oxford, New York: Oxford University Press, 1970.
Mortimer, Edward. Faith and Power: the Politics of Islam. New York: Random House, 1982.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. at-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Madrasah Hasan al-Banna. Cairo: Maktabah Wahbah, 1982.
Rosenthal, Erwin J. Islam in Modern National State. London: Cambridge University Press, 1965.
Youssef, Michael. Revolt Against Modernity. Leiden: E.J. Brill, 1985.

Suryan A Jamrah