Al-Qur’an melukiskan harta sebagai kesenangan hidup di dunia (QS.3:14), namun bersifat sementara. Yang kekal adalah kesenangan akhirat (QS.40:39). Demi kebutuhan hidup, Al-Qur’an mendorong manusia mencari harta. Harta juga bermakna rohani dengan cara menafkahkannya di jalan Allah SWT.
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai “segala yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan ketika dibutuhkan” atau “segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan”.
Bagi Mazhab Hanafi, harta tidak termasuk manfaat, karena manfaat termasuk milik. Misalnya, seseorang yang menempati rumah orang lain tanpa izin (gasab) tidak dapat dituntut, karena ia hanya memanfaatkan rumah, bukan mengambil harta.
Jumhur ulama (yang terdiri dari ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali) mengemukakan definisi harta sebagai “segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya”. Dari definisi ini kelihatan bahwa yang dikatakan harta bukan hanya materi, melainkan juga manfaat.
Dalam kasus seseorang yang menempati rumah orang lain tanpa izin di atas, bagi jumhur ulama, orang tersebut dapat dituntut ganti rugi, karena manfaat rumah tersebut mempunyai nilai harta. Menurut mereka, manfaat merupakan unsur terpenting dalam harta karena harta diukur dengan kualitas manfaat dari benda itu sendiri.
Dalam contoh lain, misalnya dalam sewa-menyewa rumah, ulama Mazhab Hanafi memandang hak sewa-menyewa terhenti dengan wafatnya pemilik rumah karena manfaat tidak termasuk harta yang bisa diwarisi. Namun, menurut jumhur ulama, hak sewa-menyewa itu tidak terhenti dengan wafatnya pemilik rumah, karena manfaat adalah harta yang bisa diwariskan. Jumhur ulama berpendapat bahwa terhentinya akad sewa-menyewa itu hanya dengan jatuhnya tempo penyewaan, bukan karena wafatnya pemilik rumah.
Di zaman modern, pengertian harta yang dikemukakan jumhur ulama inilah yang berlaku. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 29 yang berarti: “Dialah yang menciptakan segala sesuatunya di bumi ini untuk (dimanfaatkan) kamu sekalian….” Oleh sebab itu ulama Mazhab Hanafi generasi belakangan (muta’akhkhirin), seperti Ahmad Mustafa az-Zarqa dan Wahbah az-Zuhaili, berpendapat bahwa definisi harta yang dikemukakan para pendahulunya dianggap tidak komprehensif dan kurang akomodatif.
Mereka lebih cenderung untuk menggunakan definisi harta yang dikemukakan jumhur ulama di atas, karena persoalan harta terkait dengan persoalan adat kebiasaan, situasi, dan kondisi suatu masyarakat. Menurut mereka, pada zaman modern ini, kadangkala manfaat suatu benda lebih banyak menghasilkan penambahan harta dibanding wujud benda itu sendiri.
Sekalipun menyatakan bahwa manfaat tidak termasuk harta, ulama Mazhab Hanafi menganggap bahwa manfaat termasuk hak milik yang dapat dijadikan mahar, zakat, dan waris. Dengan demikian, perbedaan pengertian tentang harta menurut pandangan masing-masing kelompok ulama ini hanya merupakan perbedaan lafal, mengingat dalam penerapannya, kedua kelompok menganggap manfaat sama-sama memiliki nilai harta.
Pembagian harta dapat dilihat dari berbagai sisi.
(1) Dari segi kebolehan pemanfaatannya, harta terdiri atas yang mutaqawwim (halal untuk dimanfaatkan) dan gair mutaqawwim (tidak halal dimanfaatkan).
(2) Dari segi jenisnya, harta terdiri dari harta tidak bergerak (seperti tanah dan rumah) dan harta bergerak (seperti barang dagangan).
(3) Dari segi pemanfaatannya, harta terdiri atas harta isti‘mali (sekalipun dimanfaatkan, bendanya tetap utuh, seperti tanah, rumah, dan buku) dan istihlaki (pemanfaatannya melenyapkan materi harta itu sendiri, seperti makanan, minuman, dan minyak).
(4) Dari segi ada-tidaknya jenis serupa di pasaran, harta terdiri atas mitsli (harta yang ada jenisnya di pasaran, yaitu harta yang bisa ditimbang atau ditakar seperti gandum, beras, kapas, dan besi) dan harta yang bersifat qimi (yang tidak punya jenis yang sama dalam satuannya di pasaran, seperti satuan hewan, rumah, dan permadani).
Pembedaan pembagian pertama (mutaqawwim dan gair mutaqawwim) akan terlihat jelas dalam hal keabsahan pemanfaatan harta tersebut menurut syarak. Bangkai, babi, dan khamar dalam Islam bukanlah harta yang halal diman faatkan. Oleh sebab itu, akad terhadap benda tersebut tidak sah dilakukan.
Dari segi ganti rugi, melenyapkan dengan sengaja harta gair mutaqawwi yang dimiliki seorang muslim tidak dikenakan ganti rugi, karena harta tersebut tidak halal bagi umat Islam. Berbeda halnya dengan khamar dan babi milik kafir zimi (kafir yang hidup dan tunduk di bawah perundang-undangan negara Islam). Menurut ulama Mazhab Hanafi, jika melenyapkan harta itu, seorang muslim wajib membayar ganti ruginya, karena kedua bentuk harta itu termasuk yang mutaqawwim bagi kafir zimi.
Pembedaan antara harta bergerak dan harta tidak bergerak dalam Islam akan jelas terlihat dalam hal berikut.
(1) Hak syuf’ah (hak seseorang untuk menuntut tetangganya yang akan menjual tanah/rumahnya agar terlebih dahulu ditawarkan kepadanya). Hak syuf‘ah hanya berlaku terhadap harta tidak bergerak.
(2) Menurut ulama Mazhab Hanafi, wakaf hanya berlaku terhadap harta tidak bergerak atau harta bergerak yang menempel pada harta tidak bergerak. Adapun menurut jumhur ulama, wakaf berlaku terhadap kedua jenis harta tersebut.
(3) Orang yang diberi wasiat (washi) untuk memelihara harta anak kecil, tidak dibenarkan menjual harta tidak bergerak milik anak kecil itu. Pengecualian dibolehkan dalam hal yang sangat mendesak, seperti membayar utang anak kecil itu sendiri, dengan syarat harus ada izin dari hakim. Sebaliknya, seorang washi boleh menjual harta bergerak untuk kepentingan sehari-hari anak kecil itu tanpa izin hakim.
(4) Menurut Imam Hanafi dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, gasab tidak berlaku terhadap harta tidak bergerak, karena tidak mungkin memindahkan harta tersebut. Di samping itu manfaat harta tidak bergerak tersebut bukanlah termasuk harta bagi mereka. Akan tetapi, menurut jumhur ulama dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (sahabat Imam Hanafi lainnya), bisa saja terjadi gasab dalam harta tidak bergerak, paling tidak dalam memanfaatkannya.
Yang juga penting dalam fikih adalah segi pemilikan harta tersebut, yaitu harta pribadi dan harta masyarakat umum. Harta pribadi adalah harta yang dimiliki seseorang dan dipelihara dengan baik. Harta masyarakat umum adalah harta yang tidak dimiliki seseorang, tetapi dimaksudkan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia, seperti air, jalan umum, dan ikan dalam sungai atau laut. Harta seperti ini baru menjadi milik pribadi apabila telah diambil dan dipelihara oleh seseorang sehingga menjadi miliknya.
Harta masyarakat umum dibagi menjadi tiga bagian:
(1) harta yang khusus diperuntukkan bagi kemaslahatan bersama, seperti tempat ibadah, pemakaman, jembatan, jalan umum, dan sarana pendidikan;
(2) harta yang khusus untuk dieksploitasi bagi kepentingan umum, seperti hasil harta wakaf dan harta milik pemerintah; dan
(3) harta seseorang yang manfaatnya diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti tanah yang diwakafkan seseorang untuk diambil hasilnya dan tanah negara yang bisa dipergunakan masyarakat banyak. Harta masyarakat umum tidak bisa dimiliki oleh seseorang, dan segala hasil yang ada pada harta milik bersama ini dapat dimanfaatkan secara bersama pula. Selain itu harta masyarakat umum ini tidak dapat dijadikan jaminan utang seseorang.
Daftar Pustaka
al-Baidawi, al-Imam Nasiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar asy-Syirazi. Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil al-Musamma Tafsir al-Baidhawi. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Birusawi, Isma’il Haqqi. Tafsir Ruh al-Bayan. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Diya’uddin, Muhammad ar-Razi Fakhruddin. Tafsir ar-Razi. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
ad-Duraini, Fathi. al-Haqq wa Mada Sulthan ad-Daulah fi Taqyidih. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1978.
–––––––. at-Ta’assuf fi Isti‘mal al-Haqq. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1978.
Jauhari, Tantawi. al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an. Cairo: Dar al-Babi al-Halabi, 1350 H/1931 M.
Zakaria, Ahmad bin Faris. Mu‘jam Maqayis al-Lugah. Beirut: Dar al-Jail, 1991.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi Taubih al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1967.
az-Zuhaili, Muhammad. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Nasrun Haroen