HAMKA adalah seorang ulama besar, penulis produktif, mubalig yang berpengaruh di Asia Tenggara, dan ketua pertama MUI. Ia adalah putra H Abdul Karim Amrullah (tokoh gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau) dan lahir pada awal gerakan “Kaum Muda”. Namanya adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Sesudah beribadah haji pada 1927, ia bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat HAMKA.
HAMKA hanya sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) kira-kira 3 tahun. Tetapi, ia berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab, yang membuat nya mampu membaca secara luas literatur berbahasa Arab, termasuk terjemahan dari tulisan Barat.
Sebagai seorang anak tokoh pergerakan, sejak kanak-kanak HAMKA sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakan melalui ayah dan rekan ayahnya.
Sejak berusia sangat muda, HAMKA sudah dikenal sebagai seorang kelana. Ayahnya bahkan menamakannya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa; di sana menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944–1952), RM Soerjopranoto (1871–1959), dan KH Fakhruddin (ayah KH Abdur Rozzaq Fakhruddin) yang mengadakan kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta.
Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya, A.R. Sutan Mansur, yang waktu itu ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah setempat.
Pada Juli 1925 ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.
Pada Februari 1927 ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana lebih kurang 6 bulan. Selama di Mekah, ia bekerja pada sebuah percetakan. Ia kembali ke tanah air dengan tujuan Medan dan menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir 1927 ia kembali ke kampung halamannya.
Pada 1928 ia menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian ketua Tablig, sampai menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang.
Pada 1930 ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada 1931 ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Makassar untuk menjadi mubalig Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Makassar. Pada 1934 ia kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.
Pada 22 Januari 1936 ia pindah ke Medan dan terjun dalam gerakan Muhammadiyah Sumatera Timur. Di kota itu ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat. Pada 1942 ia terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur dan baru pada 1945 meletakkan jabatan itu karena pindah ke Sumatera Barat. Sejak 1946 ia terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Kedudukan ini dipegangnya sampai 1949.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto (1953), ia terpilih menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah dan sejak itu selalu terpilih dalam muktamar. Baru pada Muktamar Muhammadiyah 1971 di Makassar, karena merasa uzur, ia memohon agar tidak dipilih kembali, tetapi sejak itu pula diangkat menjadi penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Sejak 1949, yaitu setelah tercapainya Persetujuan Roem-Royen, ia pindah ke Jakarta. Pada 1950 ia memulai kariernya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipimpim KH Abdul Wahid Hasyim.
Dalam kepegawaian itu, ia diberi tugas memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam: Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang panjang, Universitas Muslim Indonesia (MUI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan.
Pada 1950 itu juga ia mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dalam kesempatan ini, ia bertemu dengan pengarang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui karya mereka, seperti Thaha Husein dan Fikri Abadah.
Sepulang dari lawatan ini ia mengarang beberapa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tnah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelumnya ia telah menulis Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939), Merantau ke Deli (1940), Di dalam Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orangtuanya dengan judul Ayahku (1949).
Pada 1952 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Sejak itu, ia sering berkunjung ke beberapa negara, baik atas undangan negara bersangkutan maupun sebagai delegasi Indonesia. Pada 1958 ia menjadi anggota delegasi Indonesia untuk simposium Islam di Lahore. Dari Lahore ia meneruskan perjalanannya ke Mesir.
Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan pidato promosi untuk mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas al-Azhar, Cairo. Pidatonya yang berjudul “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia” menguraikan kebangkitan gerakan Islam di Indonesia: Sumatra Thawalib, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persatuan Islam.
Gelar Doctor Honoris Causa juga didapatkannya dari University Kebangsaan Malaysia pada 1974. Dalam kesempatan itu, Tun Abdul Razak, perdana menteri Malaysia, berkata,“HAMKA bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”
Dalam bidang politik, HAMKA menjadi anggota Konstituante hasil Pemilu pertama 1955. Ia dicalonkan oleh Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi, Jawa Tengah. Muhammadiyah pada waktu itu adalah anggota istimewa Masyumi. Dalam sidang Konstituante di Bandung, ia berpidato menolak gagasan Presiden Soekarno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin.
Setelah Konstituante dibubarkan pada Juli 1959 dan Masyumi juga dibubarkan pada 1960, ia memusatkan kegiatannya dalam dakwah islamiah dan menjadi imam Masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta. Bersama KH Faqih Usman (menteri agama dalam Kabinet Wilopo 1952, wafat 1968 ketika menjabat ketua Muhammadiyah), pada Juli 1959, ia menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat yang menitikberatkan soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam.
Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr. Mohammad Hatta berjudul “Demokrasi Kita”, yang melancarkan kritik tajam terhadap konsepsi Demokrasi Terpimpin.
Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967, dan HAMKA menjadi pemimpin umumnya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, pada 27 Januari 1964, ia ditangkap oleh alat negara. Dalam tahanan Orde Lama ini ia menyelesaikan Tafsir al-Azhar (30 juz). Ia keluar dari tahanan setelah Orde Lama tumbang.
Pada 1975, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri, HAMKA terpilih menjadi ketua umum pertama dan terpilih kembali untuk periode kedua pada 1980. Ia meninggalkan banyak karya, antara lain 118 buku, belum termasuk karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa dan disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah.
Tulisan itu meliputi banyak bidang kajian: politik, sejarah, budaya, akhlak, dan ilmu keislaman. Karya tersebut meliputi antara lain Sedjarah Ummat Islam (1952), Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia (1961), Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad (1966), Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (1983), serta Islam dan Adat Minangkabau (1985).
Daftar Pustaka
Hamzah, Yunus Amir. Hamka sebagai Pengarang Roman. t.tp.: t.p., 1963.
Noer, Deliar. “Yamin dan Hamka,” Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Jakarta: Grafitipers, 1983.
Rusydi, H. Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Steenbrink, Karel. “Qur’an Interpretation of Hamzah Fansuri (CA. 1600) and Hamka (1908–1981),” Studia Islamika. Vol. II/2, 77–78, 1995.
Badri Yatim