Hal adalah sebuah istilah dalam tasawuf atau mistisisme Islam yang ditandai dengan keadaan mental tertentu, seperti senang, sedih, dan takut. Hal yang biasa dikenal meliputi rasa takut (al-khauf), rendah hati (at-tawadhu‘), patuh (at-taqwa), ikhlas (al-ikhlash), rasa berteman (al-uns), gembira (al-wajd), dan syukur (asy-syukr).
Hal berlainan dengan maqam, yaitu jalan panjang yang berisi tingkatan atau stasiun (maqamat) yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Tuhan. Hal diperoleh bukan karena usaha manusia tetapi didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Allah SWT, sedangkan maqam diperoleh melalui upaya yang sungguh-sungguh oleh seorang pelaku suluk. Hal bersifat sementara, datang dan pergi, yaitu datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidak mudah dan tidak pula mulus. Jalan itu demikian panjang dan amat berat. Perpindahan dari suatu maqam ke maqam lain menuntut usaha yang berat dan memerlukan waktu yang tidak singkat. Ini berbeda dengan hal yang terkadang diperoleh dengan mudah dan cepat, meskipun cepat pula hilang.
Hal (jamak: ahwal) merupakan situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah SWT dan bukan hasil usaha manusia. Datangnya kondisi mental seperti itu tidak menentu. Jika datang dan perginya berlangsung dengan cepat, keadaan itu disebut lawa’ih.
Jika datang dan pergi dalam tempo yang panjang dan lama, kondisi mental itu disebut bawadih. Apabila kondisi mental itu berlangsung secara terus-menerus dan menjadi kepribadian, pada hakikatnya itulah yang disebut hal. Hal selalu bergerak naik setingkat demi setingkat sampai ke titik puncak kesempurnaan rohani.
Isi atau kandungan hal sebenarnya merupakan manifestasi dari maqam yang mereka lalui. Dengan kata lain, kondisi mental yang diperoleh sufi merupakan hasil dari amalan yang dilakukannya. Hanya saja seorang sufi “segan” mengatakan bahwa mereka selamanya bersikap hati-hati dan berserah diri kepada Allah SWT, karena dalam kesempatan yang lain mereka juga mengatakan bahwa sekalipun sikap mental atau kondisi kejiwaan itu diperoleh sebagai karunia Allah SWT, orang yang ingin mendapatkannya harus berusaha meningkatkan kualitasnya dengan meningkatkan amalnya. Hal ini berarti bahwa orang yang pantas menerima Hal adalah orang yang mengkondisikan dirinya ke arah hal itu.
Maqam merupakan tingkatan sikap hidup yang dapat dilihat dari perbuatan seseorang, sedangkan Hal adalah kondisi mental yang bersifat abstrak. Hal tidak dapat dilihat, tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana halnya maqam, dalam hal ini juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sufi tentang jumlah dan formasi. Di antara sekian banyak nama dan sifat hal, yang terkenal adalah muraqabah, al-khauf, ar-raja’, asy-syauq, al-uns, at-tuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.
Muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah SWT dan merasa diri diawasi oleh Penciptanya. Jadi sikap mental muraqabah ini merupakan suatu sikap yang selalu memandang Allah SWT dengan mata hatinya, sebaliknya ia pun sadar bahwa Allah SWT selalu memandangnya dengan penuh perhatian. Orang yang berada pada kondisi mental seperti ini akan selalu berusaha menata dan membina kesucian dirinya.
Al-Khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah SWT karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah SWT merasa tidak senang kepadanya. Dengan sikap itu yang bersangkutan melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang keji.
Ar-Raja’ adalah suatu sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hamba yang saleh. Ia menyadari bahwa Allah SWT itu Maha Pemurah, Maha Penyayang, dan Maha Pemaaf, sehingga dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji guna mewujudkan harapannya itu.
Asy-Syauq (rasa rindu) adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabah (Ar.: al-mahabbah = perasaan kasih sayang). Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang lebih mendalam akan menimbulkan rasa senang dan gairah yang besar untuk selalu bersama-sama dengan Tuhannya pada setiap denyut jantungnya.
Al-Uns adalah rasa berteman yang akrab dengan Allah SWT yang menimbulkan kegembiraan karena tersingkapnya keindahan rahasia Ilahi yang belum pernah dilihatnya, sehingga seluruh ekspresi jiwanya terpusat penuh kepada satu titik, yaitu Allah SWT saja. Tidak ada yang dirasa, diingat, dan diharap selain Allah SWT. Segenap jiwa dan perhatian nya terpusat pada Allah SWT, sehingga dirinya seolah-olah telah hilang.
Menurut Zunnun al-Misri, orang seperti ini sungguhpun dilemparkan ke dalam api neraka, tidak akan merasakan panasnya. Menurut al-Junaid, tokoh tasawuf modern, orang seperti itu sekalipun dibelah dengan pedang tidak lagi merasakannya.
At-Tuma’ninah berarti tenang dan tenteram. Orang yang mencapai tahap ini tidak memiliki rasa was-was dan khawatir. Tidak ada lagi yang dapat mengganggu perasaan dan pikirannya karena sudah berhasil mencapai tingkat kesucian jiwa yang paling tinggi. Orang ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. Karenanya ia merasa sangat senang dan bahagia. Tentu saja semuanya itu dicapai setelah melalui berbagai perjuangan.
Al-Musyahadah berarti menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu; dalam hal ini yang dicari oleh seorang sufi adalah Allah SWT. Jadi, ia telah merasa berjumpa dengan Allah SWT. Orang seperti ini merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya, sehingga tersingkaplah segala rahasia melalui sir (mata hati)-nya mengenai apa yang ada pada Allah SWT.
Al-Yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Pada tingkat ini seseorang memiliki kepercayaan yang kokoh dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimilikinya, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya, dirasakan dengan seluruh ekspresinya, dan disaksikan oleh segenap keberadaannya.
Apabila pada suatu saat seorang sufi telah mencapai tingkat tertinggi, tidak berarti selesailah mujahadatnya atau tamatlah latihannya. Mujahadat itu harus dilakukannya secara terus-menerus sampai ujung perjalanan suluknya.
Daftar Pustaka
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
Mahmud, ‘Abd al-Qadir. al-Falsafah as-Sufiyyah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1966.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Tim Penyusun Naskah Textbook Pengantar Ilmu Tasawuf. Pengantar Ilmu Ta sawuf. Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Sumatera Utara, 1981/1982.
Nasaruddin Umar