Hakim

(Ar.: al-Hakim)

Yang dimaksud dengan “hakim” dalam Islam adalah sumber hukum, yaitu Allah SWT. Hal ini tampak dalam definisi hukum ulama usul fikih, yaitu “khithab (perintah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan sesuatu) serta kebolehan memilih, ataupun berupa sebab, syarat, dan mani’ (penghalang).”

Definisi hakim tersebut menunjukkan bahwa sumber hukum adalah Allah SWT (Al-Qur’an). Oleh sebab itu, Allah SWT-lah yang dinamakan hakim yang sebenarnya dalam Islam. Ketika orang Yahudi dan Nasrani saling menuduh, Allah SWT menetapkan bahwa Allah SWT-lah yang akan mengadili mereka tentang masalah yang mereka perselisihkan (surah al-Baqarah [2] ayat 113).

Dalam pengertian lain, yaitu dilihat dari segi perundang-undangan dalam Islam, “hakim” juga diartikan sebagai pelaksana undang-undang dari suatu negara Islam. Sebagaimana dirumuskan ulama, bahwa syariat Islam merupakan tata aturan yang mencakup masalah dunia dan akhirat, syariat juga mengatur tata kehidupan kenegaraan yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Yudikatif dikenal dengan badan pelaksana hukum dalam suatu negara. Dalam negara Islam, hukum atau undang-undang tersebut bersumber dari Allah SWT, sedangkan hakim dalam badan yudikatif ini adalah pelaksana sebagian dari hukum Allah SWT tersebut.

Dalam pengertian ini, hakim dalam bahasan ahkam al-qadha’ (tata aturan yang berkaitan dengan peradilan) disebut kadi (qadhi, jamak: qudhat). Sebagai pelaksana hukum, kadi berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapkan kepadanya, baik yang menyangkut hak Allah SWT, maupun yang berkaitan dengan hak pribadi seseorang.

Kadi sebagai pelaksana hukum Allah SWT mempunyai kedudukan yang sangat penting, strategis, sekaligus mengandung risiko berat. Dikatakan penting dan strategis karena melalui produk hukum kadi diharapkan segala bentuk kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat dapat dicegah, atau paling tidak dapat dikurangi, sehingga ketenteraman masyarakat pun terjamin.

Sementara risiko yang dihadapi kadi bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat nanti. Di dunia tentunya kadi akan berhadapan dengan orang yang tidak puas dengan putusan hakim tersebut. Tentang risiko di akhirat­ ada banyak hadis Nabi SAW yang memperingatkan betapa besar risiko ukhrawi yang akan ditanggung seorang hakim, jika ia tidak benar dan tidak jujur atau tidak adil dalam kedudukannya tersebut.

Hadis Nabi SAW mengatakan, “Siapa yang menerima jabatan kadi, maka seakan-akan ia disembelih tanpa pisau” (HR. at-Tirmizi, Abu Dawud, Ibnu Majah). Kemudian dalam hadis lain dikatakan,

“Siapa yang meminta-minta jabatan kadi, kemudian ia berhasil, dan keadilannya lebih menonjol dari kecurangannya (dalam memutus suatu perkara), maka ia berhak masuk surga, dan siapa yang kecurangannya lebih menonjol dari keadilannya, maka ia berhak masuk neraka” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Dengan demikian, baik-buruknya jabatan hakim atau kadi tersebut tergantung pada adil atau tidaknya ia menyelesaikan perkara.

Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan seorang kadi dalam memutuskan suatu perkara, sebagaimana terdapat dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Prinsip itu antara lain bahwa­ kadi: harus mendengar penjelasan dari kedua belah pihak sebelum memutuskan perkara; tidak boleh memutuskan perkara hanya berdasarkan penjelasan satu pihak; harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak sebelum menangani perkaranya; dan harus memutuskan perkara sesuai dengan bukti yang kuat.

Dalam hadis Nabi SAW dari Mu‘az bin Jabal disebutkan bahwa dalam memutuskan perkara yang telah selesai diproses, seorang hakim harus mendasarkan putusannya pada wahyu Allah SWT (Al-Qur’an), dan kalau tidak didapati dalam Al-Qur’an, harus mencarinya dalam sunah Rasulullah SAW. Kalau dalam sunah Rasulullah SAW ini juga tidak ada, seorang hakim diberi hak untuk berijtihad dalam menentukan hukuman yang sesuai dengan prinsip keadilan serta lebih mendekati kebenaran.

Imam al-Mawardi (364 H/975 M–450 H/1058 M), ahli ilmu ketatanegaraan, penulis buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah (Hukum Tatanegara), mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang agar ia berhak menduduki jabatan hakim: (1) balig dan berakal; (2) laki-laki; (3) merdeka; (4) menganut Islam; (5) adil, dalam arti orang yang amanah (jujur), memelihara diri dari dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil, memelihara integritas pribadinya sebagai pelaksana hukum Allah SWT, dan jujur serta benar; (6) tidak cacat penglihatan dan pendengarannya; dan (7) memiliki pengetahuan yang cukup tentang hukum Islam.

Untuk syarat kedua, yaitu seorang laki-laki, tidak terdapat kesepakatan dalam menerimanya. Imam Hanafi membolehkan wanita menjadi hakim, sekalipun wewenangnya tidak seluas wewenang laki-laki.

Kemudian untuk syarat yang ketujuh, ada yang mengatakan bahwa hakim haruslah orang yang mampu berijtihad (memecahkan masalah) dengan beralasan pada hadis Nabi Muhammad SAW: “Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu perkara, dan ternyata ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala…” (HR. Ahmad).

Akan tetapi Imam as-San’ani (1099 H/1688 M–1182 H/1772 M), seorang ahli hadis dan fikih, tatkala menguraikan hadis tersebut mengemukakan bantahannya terhadap syarat yang berat untuk menjadi kadi seperti yang telah dikemukakan ulama.

Persyaratan bahwa seorang kadi haruslah mujtahid (ulama ahli ijtihad) menurut dia sangat berat, dan untuk itu ia khusus menulis buku bantahannya dengan nama Irsyad an-Nuqqad ila Taisir al-Ijtihad (Petunjuk bagi Pengkritik untuk Mudah Berijtihad). Dalam buku ini ia menjelaskan secara panjang lebar apa yang seharusnya dimiliki seorang hakim dala melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana hukum.

Syarat yang ketat untuk menjadi seorang hakim dikemukakan oleh ulama karena seorang hakim berfungsi sebagai pelaksana hukum Allah SWT. Ia berkewajiban untuk melaksanakan hukum Allah SWT terhadap kasus yang dihadapinya. Untuk bisa dengan tepat memahami hukum Allah SWT, atau paling tidak lebih mendekati kebenaran, ulama mensyaratkan bahwa hakim haruslah seorang mujtahid.

Ada beberapa perkembangan fungsi, tugas, dan kedudukan hakim dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Di zaman awal Islam hakim mempunyai tugas yang terbatas, sedangkan di zaman Abbasiyah tugas hakim semakin luas dalam berbagai bidang kehidupan. Di Andalusia dikenal juga hakim khusus untuk bidang tertentu, umpamanya hakim yang menangani masalah perkawinan saja dan hakim masalah perdata.

Kemudian, muncul lagi jabatan baru yang lebih tinggi kedudukannya daripada hakim, qadha al-qudhat (semacam hakim agung Mahkamah Agung di zaman sekarang) yang berkedudukan di pusat pemerintahan. Kalau selama ini kadi untuk daerah diangkat dan diberhentikan oleh khalifah, maka dengan adanya jabatan qadhi al-qudhat ini, tugas tersebut diserahkan kepadanya.

Segala yang menyangkut permasalahan badan kehakiman ditata dan ditangani langsung oleh qadhi al-qudhat. Jabatan ini pertama sekali muncul di zaman Harun ar-Rasyid dan qadhi al-qudhat (hakim agung) pertamanya adalah Imam Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim al-Ansari (113 H/731 M–182 H/798 M). Kemudian di daerah yang diperintah gubernur (amir) pun muncul jabatan ini, seperti di Mesir, di Syam (Suriah), dan di Irak. Sementara itu, di Andalusia dan

Maroko, qadhi al-qudhat dinamai qadhi al-jama‘ah (hakim kolektif). Qadhi al-jama‘ah pertama untuk daerah tersebut adalah Yahya bin Yazid at-Tajibi.

Perkembangan lain di zaman Abbasiyah adalah munculnya jabatan qadhi al-‘askar (hakim militer). Qadhi al-‘askar dibentuk pada masa Dinasti Mamluk di Mesir. Orang pertama yang menduduki jabatan ini adalah Isma‘il bin Ishaq (200 H/815 M–282 H/895 M). Qadhi al-‘askar Dinasti Ayubiyah (abad ke-12–13) di Mesir yang pertama adalah Bahauddin as-Subhr (707 H/1307 M–777 H/1375 M). Kemudian, di zaman Usmani Turki (abad ke-19), ditunjuk pula qadhi al-‘askar untuk Eropa dan Afrika.

Dengan demikian, dalam sejarah peradilan di kekhalifahan Islam terdapat perkembangan yang menarik tentang jabatan kadi, dimulai dengan bentuk yang amat sederhana sampai kepada bentuk yang amat rumit, yang kadangkala bisa tumpang tindih. Dahulu kadi memutus perkara tanpa terikat pada mazhab, kemudian sesuai dengan mazhab yang dianut penguasa, lalu muncul lagi kadi untuk mazhab tertentu.

Pada zaman awal suatu perkara cukup diputus seorang kadi (hakim tunggal), sedangkan pada zaman Abbasiyah hakim kolektif telah muncul dalam satu kasus yang dihadapi. Sebelum zaman Abbasiyah hakim atau kadi bertanggung jawab langsung kepada khalifah, sedangkan di zaman Abbasiyah hakim diangkat, bertanggung jawab, dan diberhentikan qadhi al-qudhat.

Daftar Pustaka

Duraib, Su’ud bin Sa’ad Ali. at-Tanzim al-Qadha’i fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa‘udiyyah fi Dau’ asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa Nizam as-Sulthan al-Qadha’iyyah. Riyadh: University Ibnu Sa‘ud al-Islamiyah, 1983.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
al-Qasimi, Zafir. Nizam al-Hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1980.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
as-San’ani, Muhammad bin Ismail. Irsyad an-Naqqad ila Taisir al-Ijtihad. Kuwait: Dar as-Salafiyah, 1985.
–––––––. Subul as-Salam. Riyadh: Jami’ah Ibnu Su‘ud al-Islamiyah, 1408 H/1988 M.

Nasrun Haroen