Secara etimologis al-haqiqah berarti “terang, yakin, dan sebenarnya”; dalam filsafat berarti “inti sesuatu”. Sifat yang melekat pada inti dapat berubah, tapi inti tetap lestari. Misalnya, menurut Thales (filsuf Yunani abad ke-6 SM), hakikat segala sesuatu adalah air, yang menjadi inti segalanya. Meskipun benda mempunyai keragaman sifat dan bentuk, intinya adalah satu, yaitu air sebagai asal dan tujuan segala sesuatu.
Karena hakikat sesuatu itu senantiasa ada, ada di kalangan filsuf Islam yang memandang bahwa alam ini adalah kekal. Yang berubah pada alam ini hanyalah bentuk dan sifatnya, sedangkan intinya tetap lestari. Hakikat yang universal seperti ini disebut oleh al-Kindi dengan haqiqah kulliyah atau bisa juga disebut mahiyah.
Di samping hakikat yang universal tersebut ada lagi hakikat yang terdapat pada masing-masing benda atau pada sesuatu yang ada. Hakikat yang demikian dinamai haqiqah juz’iyah atau biasa juga disebut aniyah.
Bagi Ibnu Sina, hakikat yang disebut sebagai haqiqah kulliyah dan haiqah juz’iyah itu hanya ada dalam benak manusia, sedangkan yang tampak pada kenyataan adalah wujud hakikat tersebut. Jadi yang paling berperanan bagi Ibnu Sina pada segala sesuatu adalah wujudnya.
Istilah “hakikat” juga digunakan dalam tasawuf sebagai imbangan kata syariat. Kata “hakikat” di sini identik dengan aspek kerohanian ajaran Islam. Karena itu kajian tentang hakikat dimulai dengan aspek moral yang dibarengi dengan aspek ibadah.
Apabila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, akan meningkatlah kondisi mental seseorang dari satu tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi secara bertahap. Suatu saat, ketika kondisi mentalnya telah sampai pada tingkat tertinggi, Tuhan akan menerangi hati sanubari orang tersebut dengan nur-Nya, sehingga pada waktu itu ia betul-betul dekat dengan Tuhan, dapat mengenal Tuhan, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatinya. Orang yang telah sampai ke tingkat ini di kalangan sufi dinamai ahli hakikat.
Lebih jauh apabila digunakan untuk Tuhan, maka arti kata “hakikat” menurut kajian tasawuf adalah sifat Allah SWT. Adapun zat Allah SWT sendiri disebut al-Haqq. Kajian tentang hakikat dan al-Haqq ini pertama kali dikembangkan oleh al-Hallaj, kemudian disempurnakan oleh Ibnu Arabi.
Bagi al-Hallaj, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak masing-masing mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Tetapi antara dua hakikat itu terdapat kesamaan. Dengan demikian apabila kesamaan itu telah semakin mendekat, kaburlah garis pemisah antara keduanya. Ketika itu terjadilah persatuan (hulul) antara al-Haqq dan manusia.
Bagi Ibnu Arabi, segala sesuatu yang ada berasal dari Tuhan. Oleh sebab itu ia bergabung pada wujud Tuhan. Kalau wujud Tuhan tidak ada, segala yang ada (maujud) ini tidak pula akan ada. Karena itu ia menyimpulkan bahwa segala yang ada ini sebenarnya tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia baru berwujud setelah ada wujud lain yang menyebabkan adanya. Dengan demikian, wujud sebenarnya adalah wujud yang ada dengan sendirinya, tanpa bergantung pada wujud lain. Itulah wujud Tuhan.
Wujud Tuhan inilah wujud yang hakiki atau hakikat dari segalanya, yang disebut oleh Ibnu Arabi dengan al-Haqq atau Haqq al-Haqa’iq. Adapun wujud lain hanya berupa pengejawantahan (tajali) dari wujud al-Haqq tersebut.
Wujud al-Haqq tersebut tidak dapat menampakkan diri-Nya pada alam empiris yang serba terbatas ini, kecuali melalui penampakan sifat-Nya. Dengan sifat serta asma-Nya itu Ia bertajali dalam alam yang terbatas ini. Alam sebagai wadah dari tajali Tuhan disebut al-khalq (makhluk) atau hakikat (realitas).
Wadah tajali Tuhan yang paling sempurna ada pada Nabi Muhammad SAW, karena itu ia disebut al-Haqiqah al-Muhammadiyyah (Hakikat Muhammad/Nur Muhammad). Yang dimaksud dengan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah tersebut bukanlah diri Nabi Muhammad SAW yang lahir dari Aminah dan kemudian meninggal dunia di Madinah, tetapi al-Haqiqah al-Muhammadiyyah itu adalah asal segala yang ada, yang bersifat kadim dan azali.
Nur tersebut berpindah dari satu generasi ke generasi sesudahnya dalam bentuk para nabi, wali, imam Syiah, dan berakhir pada Khatim al-Auliya’ (Penutup para Wali), yakni Nabi Isa AS yang akan turun pada akhir zaman.
Kata “hakikat” digunakan juga dalam ilmu balaghah, sebagai lawan dari majaz (metafora). Yang dimaksud dengan hakikat dalam ilmu balaghah ialah lafal atau ungkapan yang digunakan sesuai dengan pengertian aslinya. Misalnya, kata “tangan” biasanya dipakai untuk tangan yang menjadi salah satu anggota tubuh manusia, tetapi dapat pula diartikan dengan makna “kekuasaan”, misalnya dalam ungkapan “raja itu bertangan besi”.
Daftar Pustaka
Affifi, A.E. The Mistical Philosophy of Muhyiddin ibn al-’Arabi. London: Cambridge University, 1939.
Boer, T.J. De. The History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publication, 1967.
Ibnu Arabi. Fusus al-Hikam. Beirut: Dar al-Kitab Afifi, 1980.
al-Jili, Abdul Karim bin Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma‘rifah al-Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Kalabazi, A.M. at -Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi & Co., 1960.
Mahmud, ‘Abd al-Qadir. al-Falsafah as-Sufiyyah fÓ al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1966.
Yunasril Ali