Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang ulama dan pimpinan Muhammadiyah. Ia juga pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertindak sebagai juru bicara kalangan nasionalis Islam, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan di kampung Kauman, Yogyakarta, dengan nama Hidayat atau Raden Dayat. Ayahnya, Raden Kaji Lurah Hasyim, adalah seorang abdi dalem pamethakan/putihan atau pejabat keraton di bidang keagamaan Islam. Sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Jawa, seseorang harus mempunyai jeneng cilik (nama kecil) dan jeneng tuwo (nama besar).
Begitu juga Hidayat; setelah ia besar, namanya diganti dengan Ki Bagus Hadikusumo. Nama “Hidayat” sendiri menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan santri. Nama “Hadikusumo” menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan priayi; “Ki” menunjukkan fungsi sosial tertentu, terutama fungsi keagamaan yang bermakna sama dengan kiai; dan “Bagus” adalah panggilan yang berlaku di lingkungan elite Jawa.
Pendidikan formal hanya dilaluinya sampai kelas tiga sekolah dasar yang waktu itu disebut “Sekolah Ongko Loro”. Keulamaannya diperoleh terutama melalui pendidikan informal. Beberapa tahun ia belajar di Pondok Pesantren Wonokromo, Yogyakarta.
Di pesantren tradisional ini ia kemudian berkenalan dengan tradisi keilmuan dan keagamaan. Bidang ilmu yang lebih banyak digelutinya di pesantren adalah bidang akhlak bercorak tasawuf yang menjadi kecenderungan umum pesantren di Jawa waktu itu. Adapun ilmu fikih diperolehnya dari KH Ahmad Dahlan. Pendiri organisasi Muhammadiyah inilah yang kemudian memberi warna intelektual kepadanya.
Setelah itu ia belajar secara autodidak dengan membaca kitab Rasa’il karya Ibnu Taimiyah, al-’Umm karya Imam Syafi‘i, Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali, al-Manar karya Syekh Muhammad Rasyid Rida, dan beberapa karya Ibnu Rusyd.
Motivasi untuk menyebarkan ajaran Islam yang ditanamkan KH Ahmad Dahlan dalam diri Ki Bagus Hadikusumo mendorongnya untuk bergabung dalam organisasi Muhammadiyah. Ia kemudian beberapa kali diutus KH Ahmad Dahlan untuk bertablig ke berbagai pelosok. Bahkan, ia diangkat menjadi guru di Kweekschool Muhammadiyah, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Sejak aktif berdakwah dan mengajar, ia mulai bercita-cita untuk menjadi seorang ulama. Ternyata kemudian ia menjadi seorang ulama yang aktif berdakwah.
Sejak belajar pada KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo sudah terhitung sebagai salah seorang anggota Muhammadiyah. Setelah itu ia menduduki jabatan dalam Muhammadiyah, seperti menjadi ketua Majelis Tablig (1922), ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi Majelis Pendidikan Muhammadiyah, hoofdbestuur (pengurus tertinggi) Muhammadiyah (1926) yang bertugas melengkapi keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, khususnya tentang materi Kongres Masyarakat Pendidikan Muhammadiyah.
Pada kongres ke-26 (1937), ia sudah menjadi kandidat ketua umum yang cukup kuat. Kalau tidak menolak, bukan tidak mungkin pada kongres itu ia terpilih menjadi ketua umum Muhammadiyah. Pada kongres ke-29, ia kembali menjadi kandidat ketua umum. Ia kemudian diangkat menjadi salah seorang ketua Muhammadiyah untuk masa bakti kepengurusan 1941.
Sebagai ketua umum akhirnya terpilih KH Mas Mansur. Ketika KH Mas Mansur disibukkan dengan kegiatan yang dipelopori pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia pada 1943, Ki Bagus Hadikusumo diserahi jabatan ketua umum Muhammadiyah dan terus terpilih sebagai ketua umum dalam kongres berikutnya sampai pada kongres 1953, ketika ia menyatakan diri tidak bersedia lagi dipilih.
Pada masa kepemimpinannyalah disusun mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yang kemudian menjadi dasar ideologis perserikatan ini. Setahun setelah kongres 1953 itu, ia mengembuskan napas terakhir.
Sebagai seorang ulama, pada 1922 ia diangkat pemerintah, melalui Keputusan Raja No. 54 tertanggal 12 Januari 1922, menjadi anggota Priesterraaden Commissie, sebuah panitia yang bertugas menyelidiki keadaan pengadilan agama dan menyampaikan saran kepada pemerintah dalam rangka usaha perbaikan peradilan agama.
Selain aktif dalam organisasi Muhammadiyah, menjelang Indonesia merdeka, ia ikut mendirikan dan kemudian menjadi aktivis Partai Islam Indonesia (PII). Ia ditunjuk menjadi salah seorang anggota panitia perumusan Anggaran Dasar partai tersebut. Pada kongres pertama PII di Yogyakarta (1940), ia terpilih menjadi salah seorang anggota Pengurus Besar (PB) PII. Tetapi partai ini kemudian dibubarkan pemerintah pendudukan Jepang. Ketika Masyumi berdiri 1943, ia bersama KH Abdul Wahab terpilih menjadi penasihat tinggi.
Pada Februari 1945, sebagai wakil umat Islam Indonesia, ia pergi ke Jepang bersama Soekarno dan Mohammad Hatta untuk memenuhi undangan Tennoo Heika (kaisar) dalam rangka membicarakan masalah yang berkenaan dengan janji mengenai kemerdekaan Indonesia.
Untuk mempersiapkan usaha ke arah perwujudan kemerdekaan Indonesia, dibentuklah BPUPKI yang anggotanya dilantik pada 28 Mei 1945. Antara 29 Mei dan 1 Juni diadakan sidang-sidang yang pertama. Anggotanya pada mulanya berjumlah 62 orang, kemudian ditambah 6 orang lagi hingga berjumlah 68 orang.
Dari jumlah itu, hanya 15 orang yang benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam; selebihnya mewakili aspirasi kelompok nasionalis “sekular”. Wakil golongan Islam itu antara lain adalah KH Abdul Halim, KH Ahmad Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), KH Abdul Wahid Hasyim, KH Masykur (NU), Sukiman Wirjosandjojo (PII), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), dan H Agus Salim (Pergerakan Penyadar).
Tokoh terkemuka BPUPKI dari pihak nasionalis “sekular” –semuanya hasil didikan Barat– adalah Radjiman Wediodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonagoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Buntaran Martoatmodjo. Sementara itu dari kelompok pembela dasar Islam, juru bicara terkemuka adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH Ahmad Sanusi, Abdul Kahar Muzakkir, dan KH Abdul Wahid Hasyim.
Dalam BPUPKI kemudian dibentuk sebuah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang –karena itu disebut juga Panitia Sembilan– untuk membahas prinsip dasar negara. Panitia Sembilan akhirnya mencapai sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, yang kemudian menjadi preambul konstitusi yang diajukan ke sidang BPUPKI. Dalam alinea keempat piagam itu disebutkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sebagai orang yang tidak termasuk dalam Panitia Sembilan, Ki Bagus Hadikusumo kemudian mempertanyakan ketujuh kata tersebut. Ia menginginkan kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dibuang sehingga rumusannya menjadi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” saja. Pembicaraan tentang tujuh kata ini mengundang perdebatan hangat, sebagaimana juga terjadi di Panitia Sembilan. Namun akhirnya, Piagam Jakarta diterima 11 Juli 1945.
Setelah proklamasi kemerdekaan, para anggota PPKI di undang untuk mengadakan rapat darurat pada 18 Agustus 1945. Ketika itu Jepang telah memberi tahu Hatta, bahwa kaum nasionalis dan mereka yang bukan muslim benar-benar berkeberatan terhadap beberapa rumusan Islam dalam undang-undang dasar sementara itu. Maka, sebelum rapat, Hatta mengadakan pertemuan informal dengan tokoh Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejo, dan Mr. Teuku M. Hasan.
Dalam pertemuan ini, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dalam kenyataannya Indonesia hanya dapat menjadi satu kesatuan dan tetap bersatu jika di dalam undang-undang dasar tidak terdapat suatu ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan Islam. Oleh karena itu, Piagam Jakarta mengalami perubahan dengan segala implikasinya di dalam batang tubuh undang-undang.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kesempatan rapat PPKI itu Soekarno dan Mohammad Hatta, masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua, menyatakan bahwa undang-undang tersebut bersifat sementara dan menjanjikan bahwa pada suatu saat yang tepat, undang-undang yang lebih terperinci dan lebih sempurna akan dirumuskan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam kesempatan itu, menurut keduanya, umat Islam dapat mengajukan aspirasi politik keagamaannya.
Ki Bagus Hadikusumo, berbeda dengan pertemuan sebelumnya, kali ini memilih diam. Dalam hatinya, ia sebenarnya menolak ajakan Mohammad Hatta itu. Hal itu dikemukakannya kepada Mr. Kasman, orang kepercayaannya yang mendesaknya untuk menerima saran Hatta itu. Akan tetapi, ia tidak ingin dituduh menyemai perpecahan.
Untuk menyalurkan ketidakpuasan dan amarahnya, ia segera mengirim kawat kepada Majelis Tanwir Muhammadiyah, yang kebetulan sedang bersidang di Yogyakarta. Ia meminta agar penutupan sidang ditunda sampai ia kembali dari Jakarta. Setelah sampai di Yogyakarta dan memasuki sidang Tanwir, ia kemudian mengemukakan ketidakpuasannya tentang apa yang terjadi dengan pengesahan UUD 1945.
Ia mengecam kalangan nasionalis “sekular” dalam PPKI. Ia pun mengingatkan Majelis Tanwir, dan secara tidak langsung umat Islam Indonesia, bahwa perjuangan belum selesai dan bahwa umat Islam masih perlu terus bersiap-siap menghadapi segala tantangan pada masa berikutnya.
Piagam Jakarta kemudian mengalami perubahan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka. Perubahan itu berkenaan dengan alinea keempat preambul, yang semula berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan terakhir ini didapat atas usul Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan itu diusulkannya karena menurutnya mempunyai pengertian yang sama (tauhid).
Sebagai seorang juru bicara nasionalis islami yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, Ki Bagus Hadikusumo menulis sebuah buku berjudul Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin (Yogyakarta: Pustaka Rahayu, 1954), yang menggambarkan pengalamannya sebagai anggota BPUPKI ketika berhadapan dengan golongan nasionalis “sekular”.
Melalui karya ini, pemikirannya tentang politik dapat disimak. Ia memperjuangkan penerapan hukum Islam di Indonesia dan membelanya terhadap tuduhan yang menurutnya tidak tepat sasaran. Ia mengatakan, “Sering kali terdengar suara yang mengatakan bahwa hukum Islam itu adalah peraturan yang sudah tua, tidak dapat lagi dilakukan di zaman sekarang ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan penduduknya beragama Islam, tetapi hukum Islam nyata tak dapat berjalan. Memang benar, tetapi… harus diingat juga apa yang menyebabkan hukum Islam tak dapat berjalan dengan sempurna di Indonesia. Sebabnya tak lain ialah karena tipu muslihat curang yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha hendak melenyapkan agama Islam dari jajahannya, karena mereka tahu bahwa selama bangsa Indonesia tetap berpegang teguh kepada agama Islam, tentu tidak akan menguntungkan dia. Oleh karena itu hukum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia sedikit demi sedikit hendak dihapuskan dan digantikan dengan hukum lain yang dikehendakinya.”
Di dalam BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo mengingatkan apa yang terjadi pada hukum Islam pada 1922, yaitu usaha pemerintah Hindia Belanda mengganti hukum warisan Islam dengan hukum adat dengan melaksanakan propaganda hukum adat secara gencar di seluruh tanah Jawa. Ia juga menjelaskan bagaimana usaha pemerintah Hindia Belanda dalam mengubah hukum perkawinan Islam dengan “kawin-catat”, yang akhirnya diurungkan karena khawatir akan timbulnya peristiwa yang tidak diinginkan.
Sebagai seorang yang mempunyai visi politik, di samping memimpin organisasi Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo juga aktif dalam partai politik Masyumi. Pada kepengurusan masa bakti 1945–1949, ketika Masyumi baru berdiri, ia menjadi ketua muda I Majelis Syuro (Dewan Pertimbangan Partai) Pimpinan Pusat Masyumi. Pada kepengurusan masa bakti 1949–1951 dan 1951–1954, ia termasuk salah seorang anggota Pimpinan Pusat Masyumi.
Sebagai seorang nasionalis islami, ia ikut aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer yang merupakan usaha Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Pada 1948 ia ikut memprakarsai berdirinya Markas Ulama dan Laskar Angkatan Perang Sabil (MU-LAPS), sebuah wadah sosial keagamaan semimiliter, yang resmi berdiri 23 Juli 1948. Dalam susunan pimpinan MULAPS, Ki Bagus Hadikusumo duduk sebagai penasihat.
Selain Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, ia juga menulis beberapa buku lagi dalam bahasa Jawa, yaitu: Risalah Katresnan Djati (Mataram, Persatoean, 1935), Poestaka Hadi (Mataram, Persatoean, 1936), Poestaka Islam (Mataram, Persatoean, 1940), Poestaka Ihsan (Mataram, Persatoean, 1941), dan Poestaka Iman (Mataram, Persatoean, 1954).
Beberapa pandangannya dapat disimpulkan dari karyanya itu. Iman (tauhid), menurutnya, tidak saja mengandung nilai transendental yang berhenti sampai di situ, tetapi juga mengandung tujuan hidup manusia yang hakiki, yaitu terwujudnya ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian.
Dengan demikian, iman harus termanifestasi dalam kehidupan manusia. Dalam kesempatan membahas masalah keimanan, ia mendorong umat Islam untuk menggunakan rasio. Ia mengingatkan banyaknya ayat Al-Qur’an yang menganjurkan manusia untuk menggunakan rasio dalam rangka memperkokoh keimanan.
Namun, ia mengingatkan, rasio itu tidak boleh menafikan adanya nilai yang bersifat batiniah. Oleh karena itu, ia melontarkan kritik pedas terhadap materialisme-ateisme, yang begitu menggantungkan diri pada rasio dan menolak iman. Pada 9 November 1995 Ki Bagus Hadikusumo mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Utama dari pemerintah RI atas jasanya sebagai salah satu tokoh perancang Pembukaan UUD 1945.
Daftar Pustaka
Hadikusuma, Djarnawi. Matahari-Matahari Muhammadiyah. Yogyakarta: Persatuan, 1974.
Hadikusumo, Ki Bagus. Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin. Yogyakarta: Pustaka Rahayu, 1954.
–––––––. Poestaka Hadi. Mataram: Persatoean, 1936.
–––––––. Poestaka Ihsan. Mataram: Persatoean, 1941
–––––––. Poestaka Iman. Mataram: Persatoean, 1954.
–––––––. Poestaka Islam. Mataram: Persatoean, 1940.
–––––––. Risalah Katresnan Djati. Mataram: Persatoean, 1935.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
Salam, Solichin. Muhammadiyah dan Kebangunan Islam di Indonesia. Jakarta: Mega Djakarta, 1965.
Syaifullah. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Badri Yatim