Secara kebahasaan, al-Hadzanah berarti “anggota tubuh dari bawah ketiak sampai ke pinggul”; dalam istilah fikih berarti “mengasuh anak kecil atau anak abnormal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri”, yakni dengan memenuhi kebutuhannya, menjaganya dari bahaya, memberinya pendidikan, dan mengembangkan kemampuan intelektualnya agar mampu memikul tanggung jawab hidupnya.
Pengasuhan merupakan hak setiap anak, dan orang pertama yang berkewajiban untuk itu ialah kedua orangtuanya. Apabila terjadi perceraian antara keduanya, ibu lebih berhak atas pengasuhan itu daripada ayah, selama ibu memenuhi persyaratan atau selama anak belum sampai pada usia memilih.
Atas dasar hak ibu yang demikian, para fukaha (ahli hukum Islam) memandang kerabat ibu lebih berhak atas pengasuhan daripada kerabat ayah, dan urutan mereka telah diatur dalam fikih. Apabila anak tidak mempunyai kerabat dari mahram (kerabat dekat yang tidak boleh dinikahi) ini –atau di antara mereka tidak seorang pun yang memenuhi syarat– hak pengasuhan berpindah kepada asabat (ahli waris yang berhubungan darah langsung) dari mahram laki-laki sesuai dengan urutan di dalam pewarisan.
Jika mereka yang disebut terakhir pun tidak ada, hak hadanah berpindah kepada mahram laki-laki yang bukan asabat. Jika kerabat tidak ada, pemerintah bertanggung jawab untuk menentukan orang yang pantas memberikan asuhan itu.
Syarat yang harus dipenuhi seorang pengasuh adalah sebagai berikut: (a) berakal, (b) balig, (c) mampu mendidik, (d) dapat dipercaya dan berakhlak mulia, (e) beragama Islam, (f) tidak kawin lagi dengan lelaki lain, dan (g) wanita merdeka.
Pengasuhan merupakan wilayah (penguasaan) Allah SWT tidak menjadikan orang kafir berkuasa atas orang mukmin (lihat QS.4:141). Sebagian golongan, seperti penganut Mazhab Hanafi, tidak mengharuskan syarat ini, karena pengasuhan tidak lebih dari menyusui anak dan mengabdi kepadanya, dan hal ini boleh dilakukan oleh pengasuh yang kafir.
Ibu yang kawin lagi dengan lelaki lain (ajnabi) menyebabkan hak asuhnya gugur, kecuali apabila ia kawin dengan kerabat mahram anak asuh, seperti pamannya, hak pengasuhan itu tidak gugur karena paman adalah orang yang mempunyai hak pengasuhan. Pengasuh haruslah wanita merdeka, sebab budak selalu sibuk dengan hak tuannya, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mengasuh anak kecil.
Upah mengasuh serupa dengan upah menyusui. Ibu tidak berhak menerima upah selama dalam keadaan menjadi istri dari ayah si anak atau dalam keadaan idah, karena dalam keadaan tersebut ia mendapat nafkah istri atau nafkah idah (QS.2:223). Akan tetapi, setelah idah berakhir, ibu berhak menerima upah mengasuh sebagaimana berhak menerima upah menyusui (QS.65:6).
Ayah tidak hanya berkewajiban membayar upah menyusui dan mengasuh, tetapi juga membayar biaya tempat tinggal atau mempersiapkannya jika ibu belum mempunyai tempat tinggal untuk mengasuh anak kecil. Bahkan, ayah berkewajiban membayar pembantu jika diperlukan. Semua itu harus dipenuhi oleh ayah di samping kebutuhan primer anak, seperti makan, pakaian, dan obat-obatan.
Apabila ibu tidak mau mengasuh tanpa diberi upah, ayah harus membayar upah kepada ibu jika ayah seorang yang kaya. Kemudian anak tidak diberikan kepada penderma, meskipun di dalam kerabat anak terdapat orang yang pantas dan mau berderma untuk mengasuhnya, karena
asuhan ibu lebih bermaslahat (berfaedah) bagi anak. Lain halnya jika ayahnya seorang miskin, maka ia boleh menyerahkan pengasuhan kepada penderma dari kerabatnya. Semua ini berlaku jika kewajiban memberi nafkah menjadi tanggungan ayah. Apabila anak mempunyai harta, maka untuk memeliharahartanya, anak diserahkan kepada penderma dari kerabatnya.
Apabila ayahnya seorang miskin dan anak tidak mempunyai harta, sementara ibunya tidak mau mengasuh apabila tidak diberi upah dan tidak ada mahram yang mau berderma untuk mengasuh, ibu boleh dipaksa untuk mengasuh dan upah menjadi utang si ayah.
Pengasuhan berakhir jika anak sudah tidak membutuhkan lagi pelayanan wanita, yaitu telah mencapai usia tamyiz (lebih kurang pada umur 7 tahun). Anak telah mampu melayani dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Dalam hal ini tidak ada kesepakatan ulama untuk menentukan batas akhir pengasuhan; ada yang mengatakan setelah anak laki-laki berumur 7 tahun dan anak perempuan berumur 9 tahun. Ada pula yang memegang tolok ukur sampai anak mampu membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya, serta tidak membutuhkan lagi pelayanan wanita.
Apabila anak telah mencapai tamyiz dan pengasuhan telah berakhir, sementara orangtua berselisih mengenai pengasuhan anak, anak disuruh memilih salah satu di antara mereka.
Daftar Pustaka
Ibnu Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Penang: Sulaiman Mari’i, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Cairo: Matba‘ah al-Istiqamah, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
az-Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Madkhal al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi Saubih al-Jadid. Beirut: Dar al-Fikr, 1976.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Hery Noer Aly