Habil dan Qabil adalah dua anak dari pasangan Nabi Adam AS dan Hawa, manusia pertama yang diciptakan Allah SWT, yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Habil adalah orang yang bertakwa, sedangkan Qabil penuh angkara murka, nafsu, dan iri. Habil kemudian dibunuh oleh saudaranya Qabil.
Berdasarkan Bibel (kitab suci Yahudi dan Kristen), Habil dikenal dengan nama Abel dan Kabil dengan nama Cain. Adam AS dan Hawa senantiasa mempunyai anak kembar. Anak kembar pertama adalah laki-laki dan perempuan, begitu seterusnya. Habil lahir bersama dengan Labuda, dan Qabil dengan Iqlima. Menurut sebuah riwayat, Hawa melahirkan anak kembar sampai sepuluh kali. Baru yang terakhir, yang kesebelas, ia melahirkan seorang anak lelaki.
Ketika anak-anak dari pasangan Adam AS dan Hawa itu beranjak dewasa, sudah menjadi sunatullah kalau mereka pun ingin berumahtangga, menjadi suami-istri. Karena belum ada keluarga lainnya selain keluarga Adam AS dan Hawa, maka anak-anak mereka pun saling dijodohkan. Caranya, lelaki pasangan pertama dinikahkan dengan perempuan pasangan kembar kedua, begitu pula sebaliknya.
Qabil adalah anak kembar pertama yang dijodohkan dengan Labuda. Adapun Habil dijodohkan dengan Iqlima, kembaran Qabil. Kisah mereka diabadikan dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 27–32.
Qabil tidak setuju dengan syariat yang digariskan oleh Nabi Adam AS. Qabil merasa bahwa Iqlima, saudara kembarnya, jauh lebih cantik dari Labuda saudara kembar Habil. Qabil bersikukuh dengan pendapatnya itu. Penjelasan Adam AS tidak bisa diterima oleh Qabil. Adapun Habil menerima garis yang ditetapkan oleh ayahnya itu. Tatkala kehabisan kata-kata dan merasa tak sanggup lagi meyakinkan Qabil, Adam AS pun menyerahkan masalah tersebut kepada Allah SWT.
Oleh Allah SWT Qabil dan Habil diminta untuk menyerahkan kurban. Sebagai seorang petani, Qabil menyerahkan hasil pertanian. Adapun Habil, sebagai peternak, menyerahkan ternak piaraannya, yakni seekor domba yang sehat dan paling gemuk.
Ternyata, kurban yang dipersembahkan oleh Qabil ada lah hasil pertanian yang berkualitas jelek, berdaun layu, dan berbuah busuk. Kemudian, Allah SWT menerima kurban Habil, dan pada saat yang bersamaan, menolak kurban Qabil. Artinya, Habil berhak menikahi Iqlima, sedangkan Qabil tetap diharuskan menikah dengan Labuda.
Keputusan Allah SWT itu membuat Qabil marah dan naik pitam kepada adiknya. Ia pun dengan lantang mengancam Habil, “Aku pasti akan membunuhmu!” Dengan tenang Habil menjawab, “Sesungguhnya Allah SWT hanya menerima kurban dari orang yang bertakwa.” Sebenarnya, Habil bisa saja melawan bahkan membunuh Qabil. Tapi, karena jiwa kemanusiaannya yang tinggi, ia tidak sampai hati melakukannya. Dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 28 disebutkan:
“Sungguh jika kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunu hmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam.”
Ketakwaan Habil kepada Allah SWT membuatnya ia tak akan melakukan perlawanan pada Qabil. Tapi, tidak bagi Qabil yang dikuasai hawa nafsu seksualitas, angkara murka, dan iri hati yang menebal, tidak bisa lagi melihat persoalan dengan arif dan mata hati yang jernih.
Qabil membuktikan ancamannya dengan cara memukulkan batu besar ke kepala Habil. Adiknya itu pun tergeletak dan mati. Setelah melihat adiknya tidak bernyawa, Qabil bingung. Jasad adiknya dipanggul ke sana ke mari, tidak jelas mau diapakan. Dalam keadaan bingung itulah muncul dua ekor gagak hitam yang berkelahi habis-habisan untuk memperebutkan sepotong bangkai.
Perkelahian itu menyebabkan salah seekor gagak terbunuh dalam keadaan berdarah-darah. Suasana gaduh pun reda. Lalu, si pemenang menggarukgaruk tanah dengan cakarnya. Ketika tanah sudah berlubang, si pemenang memasukkan gagak yang sudah tidak bernyawa itu ke dalamnya, lalu menimbunnya kembali.
Si gagak yang menang itu pun terbang, meninggalkan jasad yang telah dikuburnya itu. Tampaknya, Allah SWT memang mengirim kedua gagak itu untuk memberi pelajaran kepada Qabil, yakni bahwa mayat hendaknya dikubur, seperti yang dilakukan si gagak. Dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 31 disebutkan,
“Kemudian Allah menyuruh seeokor burung gagak mengali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil, ‘Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’”
Kisah Habil dan Qabil tersebut memberi pelajaran yang sangat berharga kepada umat manusia secara universal. Pertama, kisah mereka adalah catatan pertama adanya pembunuhan manusia atas manusia di muka bumi ini. Inilah kisah cinta yang berdasarkan nafsu dan target duniawi yang telah mencampakkan nilai kemanusiaan. Akibat nafsu dan cinta duniawi itulah manusia terjerumus ke dalam perbuatan keji, tidak peduli kepada saudaranya.
Kedua, kurban berupa daging domba dan hasil bumi yang dipersembahkan oleh Habil dan Qabil sangat berkaitan dengan keikhlasan yang diwujudkan dalam bentuk kualitas pemberian tersebut. Habil berkurban semata-mata untuk mencari rida-Nya, sedangkan Qabil untuk memuaskan nafsunya agar dapat memperistri saudara kembarnya.
Keikhlasan dalam berkurban dan beramal yang diwujudkan dalam bentuk kualitas barang atau benda akan mendatangkan berkah. Karena keikhlasannya, kurban Habil diterima. Sebagai buahnya, ia berhak untuk menikahi Iqlima. Dan, karena ketidakrelaannya, kurban Qabil ditolak. Ia pun membunuh adik kandungnya, dan mendapat dosa besar dari Allah SWT.
Ketiga, untuk kasus yang tidak berkaitan dengan kisas (hukum bunuh ditimpakan kepada pembunuh), pembunuhan atas manusia sama sekali tidak dibenarkan. Membunuh satu manusia sama dengan membunuh kemanusiaan, yang bernilai sama dengan membunuh umat manusia. Hal ini tersurat dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 32. Adapun orang yang memelihara kehidupan adalah bagaikan memelihara kehidupan umat manusia.
Keempat, jenazah seseorang hendaknya dikebumikan. Manusia berasal dari tanah dan mereka pun kembali ke tanah. Sedikitnya lima waktu dalam sehari, yakni setiap kali salat, setiap orang muslim diingatkan akan hakikat dirinya, yakni ketika bersujud dengan dahi menempel ke tanah. Tidak ada yang patut disembah kecuali Allah SWT.
Sujud dalam salat merupakan ungkapan raga yang mengingatka manusia akan asal-usul dirinya. Karena itu, tidak ada yang perlu disombongkan. Ingat mati, ingat akhirat, ingat masa depan ukhrawi, dan inilah yang akan membawa manusia cenderung untuk mendekatkan diri kepada Ilahi.
Daftar Pustaka
Ali, A. Yusuf. The Holy Qur’an: Translation and Commentary. Islamic Propagation Centre International, 1993.
AR., Abd. Hadi. Kisah 25 Nabi dan Rasul. Jakarta: Wangsa Merta, 2002.
Zahran, Mahmud. Kisah dalam Al-Qur’an. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Herry Mohammad