Membuat, jual beli, memajang gambar sudah lama menjadi perdebatan fikih. Gambar di sini (tiruan sosok manusia atau hewan) bukan untuk disembah (berhala). Al-Qur’an melarang berhala dengan menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik” (QS.4:48).
Pada dasarnya Islam melarang gambar atau menggambar makhluk yang bernyawa. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Malaikat Jibril tidak mau masuk ke dalam rumah Nabi Muhammad SAW, sungguh pun beliau telah berkali-kali memintanya. “Masuklah,” kata Nabi SAW.
Namun Jibril menjawab, “Bagaimana aku bisa masuk, sedangkan di dalam rumahmu ada gorden yang penuh dengan gambar. Kalau kamu tetap ingin memakainya, potonglah kepalanya atau sobeklah kain tersebut untuk bantal atau tikar” (HR. Ibnu Hibban).
Hadis di atas merupakan dalil keharaman gambar. Cukup banyak hadis yang semangatnya sama mengenai larangan ini. Demikian juga hadis yang melarang menggambar makhluk yang bernyawa. Di antaranya adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ibnu Abbas, “Setiap gambar yang dibuat seseorang akan diberikan jiwa, lalu semuanya menyiksanya di neraka jahanam” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Para ulama mengartikan gambar dalam hadis ini dalam arti yang luas, termasuk lukisan dan ukiran. Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan keharaman gambar. Imam Nawawi dari Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa menggambar diharamkan karena ia menyerupai pekerjaan Allah SWT dalam menciptakan makhluk.
Sementara umat Islam meyakini bahwa pekerjaan mencipta adalah milik Allah SWT semata. Pada hari kiamat nanti orang yang menggambar dan membuat patung dituntut untuk meniupkan ruh kepada gambar dan patung yang dibuatnya itu. Namun, karena mereka tidak mampu melakukannya, mereka mendapatkan siksa.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Nabi SAW tidak memasuki Ka’bah sebelum ia dibersihkan dari segala gambar dan patung. Dalam riwayat lain dijelaskan, bahwa Nabi SAW memerintahkan Umar bin Khattab untuk menghapus semua gambar di dinding Ka’bah. Penjelasan ini membuktikan adanya larangan pembuatan gambar.
Para sahabat dan ulama berbeda pendapat mengenai hukum keharaman gambar. Apakah semua gambar diharamkan? Berdasarkan hadis Rasulullah SAW di atas, ternyata gambar yang tidak utuh (gambar yang tidak menampakkan seluruh anggota tubuh) diperbolehkan, atau gambar itu diletakkan sedemikian rupa, sehingga jauh dari kesan pengkultusan.
Diceritakan bahwa Urwah bin Zubair (guru Imam Malik, salah satu dari fuqaha’ sab‘ah atau tujuh ahli fikih; w.711) bersandar pada sebuah kursi yang bergambar burung dan manusia. Sementara itu, Ikrimah bin Abu Jahal (panglima pada masa Khalifah Abu Bakar) berpendapat bahwa yang diharamkan adalah gambar dan patung dengan tujuan pengkultusan, sedangkan gambar di lantai, bantal, kain, baju, kaos, dan sebagainya adalah mubah secara hukum.
Para ulama berpendapat bahwa gambar binatang yang dibuat tidak untuk mengagungkan adalah makruh secara hukum. Adapun gambar pemandangan, tumbuh-tumbuhan, dan benda yang tidak bernyawa lainnya diperbolehkan. Sementara itu mengenai lukisan seni yang terdapat pada kertas, pakaian, dinding, lantai, uang, dan lain sebagainya, para ulama memiliki pendapat yang berbeda.
Namun pada dasarnya hukum atas gambar tersebut adalah syubhat (tidak jelas). Mereka harus dilihat dari motif pembuatannya. Apabila motifnya untuk dijadikan sesembahan, maka hukumnya haram.
Sikap Islam yang melarang menggambar makhluk yang bernyawa mengakibatkan Islam tidak mengenal ikonoklasme seperti yang dikenal dalam agama Kristen. Akibatnya, seni Islam tidak mengenal ikon makhluk hidup dengan segala manifestasinya.
Prinsip ini bisa dilihat seperti pada seni kaligrafi, arsitektur, dan batik. Seni Islam hanya mengenal bentuk yang abstrak atau sesuatu yang distilir (disamarkan) dalam perwujudannya. Dalam Islam seni bersifat sakral, ia merupakan media untuk mengungkapkan keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta.
DAFTAR PUSTAKA
Beg, M. Abdullah Jabbar. Seni di dalam Peradaban Islam, terj. Bandung: Penerbit Pustaka, 1988.
l-Faruqi, Ismail Raji. Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, terj. Yogyakarta: Bentang, 1999.
Yudoseputro, Wiryoso. Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung: Angkasa, 1986.
Ahmadie Thaha