Futuwwah berasal dari bahasa Arab dengan arti “masa muda” dan “sikap murah hati”. Istilah ini digunakan di bidang tasawuf. Ada empat pendapat ahli tasawuf mengenai definisi istilah itu, yang dapat disimpulkan dalam tiga keutamaan: tanpa pamrih, tabah, dan rela.
Pendapat pertama menyatakan bahwa futuwwah sama dengan sikap pemaaf. Pendapat ini tercermin dalam ucapan Imam al-Fudail bin Iyad (w. 187 H/803 M), “futuwwah adalah sikap pemaaf terhadap teman-teman” dan jawaban al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/911 M) ketika ditanya tentang apa yang dimaksud dengan futuwwah, “Janganlah anda bersikeras terhadap orang miskin dan jangan pula anda saling membantah dengan orang kaya.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa futuwwah adalah sikap tabah dalam menghadapi penderitaan serta senantiasa berbakti tanpa mengharap balas jasa. Pendapat ini dilontarkan al-Junaid al-Baghdadi. Menurutnya, futuwwah ialah kemampuan menahan penderitaan dan berbakti secara dermawan.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa futuwwah adalah persamaan derajat manusia. Hal ini diungkapkan Abdullah al-Ansari al-Harawi (396 H/1005 M–481 H/1089 M) ketika ia menyebutkan pendapat sekelompok sufi.
Adapun pendapat keempat menyatakan bahwa futuwwah adalah rasa hormat terhadap orang lain. Ibnu Arabi (w. 638 H/1240 M) mengatakan, pemilik futuwwah (fata) adalah seseorang yang menghormati orang lain yang lebih tua darinya, memberikan maaf kepada yang lebih muda, dan menyukai orang yang sejajar dengannya.
Berdasarkan keempat pendapat tersebut, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyimpulkan bahwa ada tiga unsur utama dalam futuwwah.
(1) Berbuat baik kepada orang lain tanpa mengharap balasan apa pun darinya.
(2) Menahan penderitaan yang ditimpakan orang lain dengan tabah dan senantiasa berserah diri kepada Allah SWT atas segala sesuatu.
(3) Menanggung penderitaan orang lain dengan rela.
Ketiga unsur futuwwah itu merupakan tahap kedua dari tiga tahap realisasi akhlak mulia. Tahap pertama, internalisasi (penghayatan) sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia (at-takhalluq bi akhlaq Allah); tahap kedua, aktualisasi sifat-sifat itu pada sesama makhluk (futuwwah); dan tahap ketiga, mempertahankan sifat-sifat itu sepanjang hayat (muruah).
Sikap rela berkorban untuk sesama manusia dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya atas dasar keimanan dan kasih sayang itu disebutkan oleh Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur’an ketika menceritakan sikap kaum Ansar:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS.59:9).
Sikap futuwwah dalam hadis Nabi SAW dipandang sebagai sikap yang luhur dan terpuji, dan pelakunya pun akan senantiasa mendapat pertolongan Allah SWT. Nabi SAW bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sebelum ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain disebutkan pula,
“Barangsiapa yang melapangkan seseorang beriman dari kesempitan dunia, Allah lapangkan dia dari kesempitan-kesempitan pada hari kiamat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya” (HR. Muslim).
Sikap futuwwah secara utuh terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW. Kadi Iyad (Granada, 496 H/1103 M – Marrakech, 544 H/1149 M), ahli hadis dan tarikh, dalam bukunya yang berjudul asy-Syifa’ (Penawar) menceritakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menolak permintaan orang yang meminta kepadanya. Nabi SAW senantiasa memenuhi apa yang diminta seseorang jika ia memilikinya.
Apabila tidak memilikinya, Nabi SAW mempersilakan orang itu meminta kepada salah seorang keluarganya yang terdekat atau Nabi SAW berjanji memberikannya apabila ia telah memilikinya. Sikap itu menjadi acuan para sahabat. Misalnya, Abu Bakar as-Siddiq memberikan seluruh miliknya untuk membantu sesama muslim dan kemajuan dakwah Islam; Usman bin Affan memberikan sebagian hartanya untuk membantu kaum muslim yang sedang menderita akibat paceklik; dan Umar bin Khattab rela hidup dalam kesempitan dan kesusahan demi kepentingan Rasulullah SAW dan umat Islam.
Di kalangan para sufi terdapat pula sejumlah cerita tentang sikap futuwwah. Sahl at-Tustari (200 H/815 M–Basrah, 282 H/896 M) suatu kali ditimpa suatu penyakit. Dia tidak berobat, tetapi orang lain diobatinya. Orang bertanya kepadanya, “Mengapa orang lain Anda obati dan diri Anda sendiri Anda biarkan sakit?”
Diceritakan pula bahwa seorang pencuri berhasil masuk ke dalam rumah Ahmad bin Khazruya (Balkh, 144 H/769 M–Nisabur, 240 H/864 M), tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa setelah memeriksanya. Ketika ia hendak meninggalkan tempat itu, Ahmad memanggilnya,
“Anak muda, ambillah ember itu, timbalah air dari sumur itu, kemudian bersucilah dan salat. Jika nanti kudapatkan sesuatu, akan kuberikan kepadamu supaya engkau tidak meninggalkan rumah ini dengan tangan kosong.”
Anak muda itu berbuat seperti apa yang disarankan Ahmad. Ketika hari telah siang, seorang lelaki datang membawa seratus dinar emas untuk Ahmad. Kemudian Ahmad berkata kepada anak muda itu, “Ambillah uang ini sebagai ganjaran salatmu tadi malam.”
Akan tetapi, pada saat itu pula tubuh anak muda itu gemetar. Ia menangis dan berkata, “Aku telah memilih jalan yang salah. Baru satu malam berbakti kepada Allah, sudah sekian banyak kurnia yang dilimpahkan-Nya kepadaku.” Oleh karena itu, ia tidak mau menerimanya karena telah bertobat dan kembali ke jalan Allah SWT. Ia kemudian menjadi salah seorang murid Ahmad. Ada tiga hal yang harus dilaksanakan untuk mencapai derajat futuwwah.
(1) Menghilangkan permusuhan, melupakan kesalahan orang lain, dan tidak mengingat-ingat lagi penderitaan yang ditimpakan orang lain atas dirinya. Menghilangkan permusuhan mencakup aspek aktivitas lisan, anggota badan, dan aktivitaskalbu.
Dari segi aktivitas lisan, orang yang ingin mencapai derajat futuwwah tidak boleh menyakiti orang lain dengan kata-kata kasar yang dapat menimbulkan permusuhan; dari segi anggota badan, ia tidak boleh menyakiti orang lain dengan menggunakan anggota badan sebagai sarananya; dan dari segi aktivitas kalbu, ia harus menghilangkan niat buruk untuk menyakiti orang lain. Di samping itu, ia tidak boleh membesar-besarkan kesalahan orang lain jika ia melihatnya, dan berupaya melupakannya.
(2) Mendekati orang yang menjauhinya, memuliakan orang yang menghina atau menyakitinya, dan menyayangi orang yang berbuat salah kepadanya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa kejahatan dan dosa itu bersumber dari kesalahan manusia sendiri.
Orang yang berbuat baik mustahil akan dibalas dengan kejahatan. Hal ini diungkapkan Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS.42:30).
(3) Segala tindakan tersebut semata-mata dilakukan karena Allah SWT.
Konsep futuwwah berasal dari masa sebelum Islam. Tujuh ashabul kahfi yang diceritakan dalam surah al-Kahfi (18) ayat 9–26 disebut fityan (jamak dari fata = anak muda atau perjaka gagah berani yang dermawan dan setia). Mansur al-Hallaj (244 H/858 M–309 H/922 M) menggunakan istilah fata bagi orang-orang yang unggul dalam hal kesetiaan dan kepatuhan total terhadap janji yang mereka ikrarkan.
Pada umumnya para sufi menghubungkan istilah itu dengan Ali bin Abi Thalib, karena sebagai pemuda dia paling banyak berkorban untuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia selalu menyertai Nabi SAW dan mengikuti ajarannya sejak ia masih kecil sampai Nabi SAW wafat. Ketika Nabi SAW meninggal, ia pula yang memeluk jenazahnya dan menguburkannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika tarekattarekat muncul di dunia Islam pada awal abad ke-13, Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah as-Suhrawardi (salah seorang pendiri Tarekat Suhrawardiyah, 539 H/1145 M–632 H/1235 M) menggunakan istilah fata untuk menamai kalangan pemuda yang berbakti secara suka rela kepada seorang syekh tarekat, dengan memakai jubah dan hiasan kepala tertentu sebagai tanda kesetiaan.
Gagasan tersebut mendapat sambutan dari penguasa Abbasiyah, Khalifah an-Nasir (memerintah 576 H/1180 M–622 H/1225 M). Ia berupaya mengembangkannya, namun tidak begitu mendapat tanggapan dari umat. Akan tetapi, gagasan tersebut kemudian mendapat tempat di hati masyarakat Timur Dekat dan merupakan bagian penting di dalam kehidupan sosial, terutama di Turki. Misalnya, pembentukan Janissary, kelompok tentara elite Kerajaan Usmani (Ottoman).
Konsep futuwwah pada abad-abad berikutnya di Turki dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan dengan Akhi, kelompok yang hanya menerima anggota dari orang-orang yang mempunyai pekerjaan terhormat. Ibnu Batutah (703 H/1304 M–779 H/1377 M) di dalam kisah perjalanannya mengatakan bahwa ia diterima oleh kelompok-kelompok yang ramah di Anatolia. Dari kelompok semacam itu didirikan perkumpulan seperti gerakan sosialis Akhi Evran pada abad ke-14.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok futuwwah terkait erat dengan perkembangan tarekat-tarekat, karena mereka mengaitkan kebaktiannya dengan para syekh tarekat.
Daftar Pustaka
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Madarij as-Salikin. t.tp.: Dar ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
al-Qusyairi, Abdul Abdul Karim bin Hawazin. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimention of Islam. North Carolina: The University of North Carolina Press, 1975.
Yunasril Ali