Perasaan tentang akan terjadinya sesuatu sesudah melihat suatu gelagat, kecakapan mengetahui sesuatu dengan melihat suatu keadaan, atau kemampuan batin yang dimiliki seseorang dalam meramalkan peristiwa yang akan terjadi, disebut firasat.
Secara langsung, kata “firasat” tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Namun di dalam banyak literatur tasawuf, istilah tersebut disinonimkan dengan kata sima (kelihatan/tanda), seperti yang terdapat di dalam surah al-Baqarah (2) ayat 273, al-Fath (48) ayat 29, Muhammad (47) ayat 30, dan al-Hijr (15) ayat 75. Dalam hadis, firasat dijelaskan melalui sabda Nabi Muhammad SAW: “Berjagajagalah terhadap firasat orang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah” (HR. at-Tirmizi).
Di kalangan sufi, firasat mengandung arti anugerah (hidayah) yang diberikan Tuhan dalam bentuk kemampuan batin (al-qalb) menangkap isyarat-isyarat suatu keadaan atau peristiwa yang akan terjadi. Anugerah yang diberikan Allah SWT ini berupa cahaya makrifat yang memancar dalam hati sufi. Cahaya seperti ini merupakan cahaya yang hakiki dan mengandung kebenaran yang daya pancarnya lebih kuat daripada pancaran cahaya bintang-bintang.
Al-Wasiti (ahli tasawuf) menyatakan bahwa firasat merupakan cahaya yang melekat pada hati sufi yang memungkinkan terungkapnya rahasia-rahasia, sehingga ia bisa mengetahui hal-hal yang hanya diketahui Allah SWT. Saat itu Dia berbicara melalui hati hamba yang dikasihi-Nya (sufi). Apabila Allah SWT telah membuka sifat azali-Nya, cahaya yang ada pada hati kekasih-Nya akan bertambah.
Syekh Ahmad bin Ataillah (ahli tasawuf) mengataka bahwa cahaya yang diperoleh melalui pancaindra akan membuka semua yang terjadi (benda-benda di alam ini). Adapun cahaya yang tersimpan pada hati bisa membuka sifat-sifat Allah SWT yang azali. Berdasarkan hal ini, ia membagi cahaya menjadi dua macam.
(1) Cahaya yang diperoleh melalui pancaindra dengan adanya sinar mata hati. Cahaya ini bisa memperlihatkan barang-barang yang ada di alam raya dan bermacam-macam keadaan manusia. Cahaya semacam ini bukan yang dijadikan perhatian oleh para ahli hakikat, melainkan hanya sebagai petunjuk adanya Allah Yang Maha Pencipta.
(2) Cahaya yang tersimpan dalam hati yang disebut sebagai cahaya keyakinan. Cahaya inilah yang bisa membuka sifat-sifat Allah SWT yang azali sehingga menjadi nyata dan terang. Dengan cahaya ini benar-benar orang menjadi makrifat kepada Allah SWT. Cahaya yang dilimpahkan Allah SWT dalam hati seseorang berguna untuk membuka arti-arti yang gaib. Dengan cahaya ini, arti-arti yang gaib menjadi tampak dan dapat disaksikan. Melalui basirah arti-arti itu dapat dipahami.
Firasat dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk. Pertama, firasat dalam bentuk kesadaran atau kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada seorang sufi sehingga ia mempunyai kekuatan rohaniah untuk mengetahui atau meramalkan suatu kejadian atau peristiwa yang akan terjadi. Kedua, firasat dalam bentuk akhlak atau tindakan sebagai hasil dari latihan secara terus-menerus dari seorang sufi.
Dalam bentuk ini ia dapat melakukan atau mengucapkan sesuatu secara serta-merta atau refleks seperti dalam diri manusia biasa. Gerakan serta-merta ini biasanya muncul dalam bentuk tindakan seseorang secara tiba-tiba untuk menyelamatkan diri atau menyelamatkan orang lain dari musibah yang akan terjadi.
Firasat sangat berkaitan dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin dalam tingkat firasatnya. Untuk menjelaskan hal ini, Husen bin Mansur (ahli tasawuf) menggambarkannya dalam bentuk firasat murid dan firasat guru. Dia menyatakan bahwa firasat murid merupakan dugaan menuju kebenaran, sedangkan firasat guru, kebenaran menuju hakikat.
Daftar Pustaka
Barkah, ‘Abd. al-Fath ‘Abdullah. Fi at-Tasawwuf wa al-Islam. t.tp: Dar al-Qalam, 1983.
al-Jurjani, Ali bin Muhammad. at-Ta‘rifat. Beirut: Maktabah Libnan, 1990.
al-Qusyairi, Abdul Abdul Karim bin Hawazin. ar-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm at-Tasawwuf. al-Azhar: Maktabah wa Matba‘ah Muhammad ‘Aly Sabiih, 1958.
M Suparta