Filsafat

Filsafat adalah cabang ilmu yang mempersoalkan hakikat segala yang ada. Kata “filsafat” atau “falsafat” dalam bahasa Arab berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti “cinta pengetahuan” atau “cinta kebijaksanaan”. Pecinta pengetahuan atau kebijaksanaan disebut philosophos (Yunani) atau filsuf/failosuf (Arab).

Orang yang mencintai pengetahuan atau kebijaksanaan menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan. Istilah philosophia dan philosophos pertama kali digunakan oleh Pythagoras (582–507 SM), tetapi istilah ini menjadi populer dan lazim dipakai pada masa Socrates (469–399 SM) dan Plato (427–347 SM).

Menurut Mustafa Abdurraziq (Mesir), pemakaian kata-kata hikmat dan hakim dalam bahasa Arab sama dengan arti falsafat dan failosuf; hukama’ al-Islam atau falasifat al-Islam. Asal makna kata hikmat ialah tali kendali (bagi kuda untuk mengekang keliarannya). Dari sini, diambil kata hikmat itu dalam arti “pengetahuan atau kebijaksanaan” karena hikmat itu menghalangi orang yang memilikinya untuk melakukan perbuatan rendah (hina).

Hikmat dapat dicapai manusia melalui kemampuan daya nalar dan metode berpikirnya (QS.2:269). Datangnya hikmat bukan hanya dari penglihatan mata kepala saja, tetapi juga melalui mata hati dan pikiran yang tertuju kepada tanda-tanda kebesaran Tuhan yang ada di alam ini. Oleh karena itu, Al-Qur’an banyak mengajak manusia untuk melihat dan berpikir (QS.22:46 dan QS.51:20–21).

Meskipun demikian, tidak semua kata hikmat dan hakim dalam Al-Qur’an berarti falsafat dan failosuf karena terdapat kata hakim yang disandarkan atau dinisbahkan kepada Allah SWT (QS.2:32)­. Kata hakim dalam ayat ini mengandung konotasi bahwa Dialah yang mempunyai hikmat, yaitu penciptaan dan penggunaan sesuatu sesuai dengan sifat, guna, dan faedahnya.

Di sini kata hakim diartikan dengan “Maha Bijaksana” karena dianggap arti tersebut hampir mendekati arti hakim. Dengan demikian, penggunaan kata-kata hikmat dan hakim dalam Al-Qur’an harus dilihat konteksnya, apakah kata itu dapat diartikan filsafat dan filsuf atau tidak.

Para ahli berbeda dalam merumuskan batasan filsafat. Plato, yang belum sampai kepada konsepsi adanya Tuhan menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mencari hakikat kebenaran yang asli.

Aristoteles (384–322 SM), yang lebih menitikberatkan penyelidikannya kepada pembagian ilmu filsafat, menerangkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran mengenai ilmu-ilmu fisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

Di samping itu, ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang mencari kebenaran yang pertama, ilmu tentang segala yang ada yang menunjukkan adanya yang mengadakan sebagai penggerak pertama. Sebagai halnya Plato, ia belum sampai kepada konsepsi adanya Tuhan yang menciptakan.

Marcus Tullius Cicero (106–43 SM), seorang Romawi yang piawai dalam banyak hal (antara lain ahli berpidato dan ahli filsafat), mengemukakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha mencapai yang mahaagung itu.

Al-Farabi (870–950), salah seorang filsuf muslim, memberikan definisi bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya (al-‘ilm bi al-maujudat bima hiya maujudat).

Menurut Syekh Nadim al-Jisr, salah seorang komentator pemikiran filsafat Ibnu Tufail (1100–1185) dan penulis buku Qissat al-Aiman (Kisah Mencari Tuhan), filsafat ialah usaha-usaha pikiran untuk mengetahui semua prinsip pertama.

Sehubungan dengan berbagai definisi yang disebutkan di atas, Harun Nasution merumuskan definisi filsafat antara lain sebagai berikut: pengetahuan tentang hikmat; pengetahuan tentang prinsip atau dasar; mencari kebenaran; dan membahas dasar dari apa yang dibahas.

Lebih lanjut dikatakan bahwa intisari filsafat ialah berpikir menurut tata-tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama), dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar persoalan.

Filsafat agama berarti berpikir tentang dasar agama, mencoba memahami dasar itu menurut logika, sehingga dapat memberikan penjelasan yang dapat diterima akal kepada orang yang tidak percaya kepada wahyu dan hanya berpegang pada pendapat akal.

Pemahaman berdasarkan logika ini memberi kepuasan kepada akal, tetapi belum tentu memberi kepuasan kepada perasaan. Namun demikian, pendekatan rasional untuk memahami agama apat mempertebal keimanan.

Pemikiran filsafat masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai kaum muslimin pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, raja Macedonia (336–323 SM) setelah mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di Arbela (sebelah timur Tigris).

Alexander datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya, ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah meninggalkan bekas besar di daerah yang pernah dikuasainya sehingga timbullah pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexandria (Iskandariyah) di Mesir, Antiokia di Suriah, Jundishapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia.

Pada masa Dinasti Umayah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu tampak karena ketika itu perhatian penguasa Umayah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab.

Pengaruh kebudayaan Yunani baru tampak pada masa Dinasti Abbasiyah karena yang berpengaruh di pusat pemerintahan adalah orang Persia, seperti keluarga Baramikah yang telah lama berkecimpung dalam kebudayaan Yunani.

Para khalifah Dinasti Abbasiyah pada mulanya hanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunani dengan sistem pengobatannya, tetapi kemudian mereka juga tertarik pada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman Khalifah al-Ma‘mun (813–833), putra Harun ar-Rasyid.

Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Utusan dikirim ke Kerajaan Romawi di Eropa untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke *Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Dalam kegiatan penerjemahan ini, sebagian besar karangan Aristoteles, Plato, karangan mengenai Neo-Platonisme, karangan Galen, buku ilmu kedokteran, dan filsafat berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sehingga dapat dibaca oleh kaum muslimin dan para alim ulamanya.

Golongan yang banyak tertarik kepada filsafat­ Yunani yakni kaum Muktazilah. Abu Huzail al-Allaf, Ibrahim an-Nazzam, Bisyr al-Mu’tamir, al-Jubba’i, dan lain-lain, banyak membaca filsafat Yunani sehingga pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran teologi mereka. Oleh karena itu, teologi Muktazilah bercorak rasional dan liberal.

Kegiatan penerjemahan telah menghasilkan pula cendekiawan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan filsuf yang masyhur, seperti al-Kindi (801–866), ar-Razi (864–926), al-Farabi (870–950), Ibnu Sina (980–1037), Ibnu Maskawaih (w. 1030), al-Ghazali (1058–1111), Ibnu Bajjah (w. 1138), Ibnu Tufail (1110–1185), dan Ibnu Rusyd (1126–1198).

Dalam ilmu pengetahuan, dikenal ahli seperti Abu Abbas as-Sarkasyi (abad ke-9) dalam bidang kedokteran; Muhammad, Ahmad, dan Hasan, ketiganya dalam bidang matematika; al-Asma dalam bidang ilmu alam; Jabir dalam bidang kimia; al-Biruni dalam bidang astronomi, sejarah, geografi, dan matematika; dan Ibnu Haitam dalam bidang optika.

Al-Qur’an secara tegas telah memberi kemungkinan bagi pemikiran filosofis itu. Di dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menyuruh manusia untuk menggunakan daya nalarnya dengan menjadikan alam semesta sebagai objek pikirannya.

Ayat-ayat Al-Qur’an itu, di samping mendorong timbulnya ilmu pengetahuan yang amat berguna bagi kemakmuran hidup manusia, juga merangsang munculnya pemikiran filosofis dalam Islam.

Meskipun demikian, sebagian kaum muslimin menolak filsafat Islam karena mereka beranggapan bahwa filsafat hanya akan membawa kepada kekufuran dan pengingkaran agama seperti kaum ad-Dahriyyun/materialistis (QS.45:24).

Aliran idealisme berpendapat bahwa hakikat dari segala yang ada ini terjadi dari roh dan semua yang terlihat pada dasarnya adalah gambaran ide yang ada dalam pikiran atau produk dari Idea Universal, yang dalam kepercayaan agama disebut Tuhan. Konsepsi tentang Tuhan dalam aliran idealisme berbeda-beda sesuai dengan perbedaan konsepsi Tuhan yang dimiliki oleh filsuf yang beraliran idealisme.

Islam mengakui bahwa selain kebenaran hakiki (al-haqq) yang berasal dari Tuhan (QS.3:60 dan QS.18:29), masih ada lagi kebenaran yang tidak bersifat absolut, yaitu kebenaran yang dicapai sebagai hasil usaha akal budi manusia.

Akal adalah anugerah dari Allah SWT kepada manusia, maka wajar apabila akal mampu pula mencapai kebenaran, walaupun kebenaran yang dicapainya itu hanyalah dalam taraf relatif atau nisbi. Oleh sebab itu, apa­bila tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah, maka kebenaran nisbi itu dapat saja dijadikan pegangan atau digunakan dalam kehidupan ini (QS.39:18).

Para filsuf Islam berpendirian bahwa tujuan filsafat mirip dengan tujuan agama, keduanya bertujuan untuk mencapai kebenaran dan mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan yang baik. Mereka juga mengatakan bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah sama, yaitu membicarakan prinsip yang paling mendasar dari semua wujud atau masalah metafisika (filsafat ketuhanan).

Meskipun demikian, filsafat Islam tidak hanya membahas persoalan tersebut di atas, tetapi juga membicarakan problem besar filsafat, seperti soal wujud, esa dan berbilang, teori mengenal kebahagiaan dan keutamaan, dan hubungan Tuhan dengan manusia. Bahkan di kalangan filsuf Islam, filsafat mencakup ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik, dan falak. Oleh karena itu, filsafat juga memasuki lapangan ilmu keislaman yang lain, seperti tasawuf, ilmu kalam, dan usul fikih.

Dalam pembahasan ilmu kalam, tasawuf, dan usul fikih banyak terdapat uraian yang logis dan sistematis serta mengandung pikiran filosofis. Di antara persoalan terpenting yang dibahas para filsuf Islam adalah soal akal dan wahyu, munculnya banyak wujud dari yang Maha Satu atau kejadian alam, roh, dan kelanjutan hidup sesudah roh terlepas dari badan.

Daftar Pustaka

Abdurraziq, Mustafa. Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1959.
de Boer, T.J. The History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publication, Inc., 1967.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. London: Longman Group Ltd., 1983.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

M Arfah Shiddiq