Secara bahasa, fikih berarti paham atau pengertian mendalam yang memerlukan pengerahan potensi akal. Menurut ulama usul fikih, fikih adalah pengetahuan hukum Islam yang bersifat amaliah melalui dalil terperinci. Ulama fikih mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliah yang disyariatkan Islam.
Pengertian fikih secara bahasa, yang berarti paham, antara lain dapat dilihat pada ayat Al-Qur’an berikut. “Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah diantara kami…’” (QS.11:91).
“…Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami (nya)” (QS.6:65)
Dalam pengertian istilah syar‘i (yang berdasarkan syarak), kedua makna ini dikandung oleh istilah tersebut.
Dari definisi para ulama usul fikih terlihat bahwa fikih itu sendiri berarti melakukan ijtihad, karena hukum-hukum tersebut diistinbatkan dari dalil-dalilnya yang terperinci dan khusus, baik melalui nas atau melalui dalalah (indikasi) nas. Semua hal itu tidak dapat dilakukan kecuali melalui ijtihad.
Dari definisi para ulama fikih terlihat bahwa fikih merupakan syarak itu sendiri, baik hukum itu qath‘I (jelas, pasti) atau zanni (masih bersifat dugaan, belum pasti), dan memelihara hukum furuk (hukum tentang kewajiban agama yang tidak pokok) itu sendiri secara keseluruhan atau sebagian.
Dengan demikian, pada definisi pertama terlihat bahwa seorang fakih (ahli fikih) bersifat aktif dalam memperoleh hukum-hukum itu sendiri, sedangkan dalam definisi kedua seorang fakih hanya memelihara atau menghafal hukum-hukum dari peristiwa-peristiwa yang ada.
Objek Bahasan Ilmu Fikih. Bidang bahasan ilmu fikih adalah setiap perbuatan mukalaf (orang dewasa yang wajib menjalankan hukum agama), yang terhadap perbuatannya itu ditentukan hukum apa yang harus dikenakan. Misalnya, jual beli yang dilakukannya, salat, puasa, dan pencurian yang dilakukannya.
Jika jual beli, salat, dan puasa yang dikerjakannya memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan Islam, maka pekerjaannya tersebut dikatakan sah. Sementara pencurian yang berlawanan dengan kebutuhan syarak dihukumkan haram dan wajib dikenakan hukuman pencurian. Dengan mengerjakan salat dan puasa berarti ia telah memenuhi kewajiban syarak. Maka, setiap perbuatan mukalaf yang merupakan objek fikih mempunyai nilai hukum.
Nilai dari tindakan hukum seorang mukalaf tersebut bisa bersifat wajib, sunah, boleh atau mubah, makruh, dan haram, yang semuanya ini dinamakan hukum taklifi (bersifat perintah, anjuran, dan larangan yang wajib bagi setiap mukalaf) dan bisa juga dengan nilai sah, batal, dan fasid (rusak), yang dikenal dengan nama hukum wadh‘i (khitab/perkataan Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu [hukum]).
Dari definisi juga dapat disimpulkan bahwa objek bahasan fikih tersebut menyangkut hukum-hukum amaliah, tidak termasuk bidang akidah dengan segala cabang-cabangnya karena hal tersebut termasuk bidang bahasan ilmu lain. Fikih dimaksudkan agar syarak tersebut dapat diterapkan kepada para mukalaf, baik terhadap perbuatan maupun terhadap perkataan mereka.
Fikih merupakan rujukan bagi para kadi, mufti (pemberi fatwa), dan para mukalaf untuk mengetahui hukum-hukum syar‘i dari perkataan dan perbuatan yang me reka lakukan, sehingga para mukalaf mengetahui apa saja yang wajib baginya dan yang haram dikerjakannya.
Pembagian Hukum Fikih. Para ulama telah membagi hukum-hukum fikih tersebut sebagai berikut.
(1) Hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, seperti salat, puasa dan haji; dinamakan dengan ibadah.
(2) Hukum yang berkaitan dengan permasalahan keluarga, seperti nikah, talak, masalah keturunan, dan nafkah; disebut ahwal asy-syakhsiyyah.
(3) Hukum yang berkaitan dengan hubungan antara sesama manusia dalam rangka memenuhi keperluan masing-masing yang berkaitan dengan masalah harta dan hak-hak; disebut muamalah.
(4) Hukum yang berkaitan dengan perbuatan atau tindak pidana; disebut jinayah atau ‘uqubah.
(5) Hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa antara sesama manusia, dinamakan ahkam al-qadha’.
Hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dan warganya; disebut al-ahkam as-sulthaniyyah atau siyasah asy-syar‘iyyah. (7) Hukum yang mengatur hubungan antarnegara dalam keadaan perang dan damai; disebut siyar atau al-Huquq ad-dauliyyah. (8) Hukum yang berkaitan dengan akhlak, baik dan buruk; disebut dengan adab.
Keseluruhan hukum yang disebutkan di atas tidak hanya mengandung makna keduniaan, tetapi juga mengandung makna keakhiratan. Artinya, nilai dari suatu hukum tidak hanya terkait dengan hukum di dunia ini, tetapi juga hukum ukhrawi, karena Islam tidak memisahkan antara dunia dan akhirat, walaupun keduanya bisa dibedakan.
Sumber Hukum Fikih. Sumber dari produk hukum dengan segala pembagiannya yang disebutkan di atas oleh para ulama dibagi dalam dua bentuk, yaitu yang disepakati sebagai sumber dan yang diperbedakan. Sumber yang disepakati tersebut adalah Al-Qur’an dan hadis.
Adapun ijmak dan kias dinyatakan sebagai sumber hukum oleh kebanyakan ulama. Sebagian ulama, betapa pun kecilnya jumlah mereka, ada yang memandang ijmak dan kias hanya sebagai alat penggali hukum, bukan sumber hukum. Dalil-dalil hukum Islam lainnya yang diperselisihkan ulama ialah istihsan, al-maslahah al-mursalah, ‘urf (adat istiadat), sadd adz-dzari‘ah (Usul Fikih), istishab, dan lain sebagainya.
Mustafa Zarqa (ahli usul dan fikih) mengatakan bahwa bagian yang disepakati tersebut dinamakan al-masadir al-asasiyyah (sumber pokok), sedangkan bagian yang diperselisihkan dinamakan al-masadir at-Thaba‘iyyah (sumber sekunder). Disebut sumber sekunder karena kias, ijmak, istihsan, dan sebagainya itu tidak dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum, akan tetapi harus disandarkan pada Al-Qur’an dan hadis.
Perbedaan dalam menggunakan metode bisa menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Karena itu penilaian tentang hukum suatu perbuatan mukalaf bisa pula lebih dari satu. Hal ini sangat tergantung kepada mujtahid (ahli ijtihad) mana dan metode apa yang digunakan dalam menyelesaikan atau mencarikan hukum perbuatan mukalaf tersebut.
Misalnya, setiap pemegang amanah tidak dituntut pertanggungjawabannya jika barang titipan yang diamanahkan kepadanya untuk dipelihara rusak atau hilang tanpa disengaja. Hukum tidak dituntutnya pertanggungjawaban pemegang amanah ini didasarkan pada kehendak kaidah umum (kias).
Namun, pendapat lain yang mempergunakan kehendak istihsan mengatakan bahwa jika hukum umum itu diberlakukan untuk segala tempat dan zaman, apalagi pada saat sifat amanah sudah mulai berkurang, maka hal ini akan membawa pada sikap memakan hak orang lain secara batil (tidak benar).
Untuk itu agar yang disebut terakhir ini dapat dihindari, pemegang amanah adakalanya harus diminta pertanggungjawabannya. Misalnya, jika tukang binatu mengatakan bahwa pakaian yang diserahkan kepadanya untuk dicuci hilang, maka ia harus diminta pertanggungjawabannya, sekalipun hlangnya pakaian tersebut tidak disengaja; kecuali jika penyebabnya adalah sesuatu yang tak mungkin diatasi manusia (seperti kebakaran dan kebanjiran).
Hal ini dilakukan agar pemegang amanah tersebut tidak mempergunakan posisinya untuk mencari keuntungan yang besar. Cara yang ditempuh ini oleh ulama dari kalangan Mazhab Hanafi disebut istihsan.
Dari contoh ini terlihat bahwa dalam kasus yang sama, tetapi cara penyelesaian masalahnya berbeda, maka hukumnya pun berbeda. Kias menghendaki pemegang amanah tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan atau hilangnya barang yang diamanahkan, selama itu bukan karena kesengajaan dan kelalaian dia.
Istihsan menentukan bahwa pertanggungjawabannya harus diminta, sekalipun bukan dengan kesengajaan dan kelalaian. Pemegang metode istihsan berpendapat, kalau tidak demikian, maka kesempatan ini akan dipergunakan oleh pemegang amanah untuk mengeruk keuntungan lebih banyak dengan cara ilegal.
Perkembangan Fikih. Pertumbuhan dan perkembangan fikih sepanjang sejarah hukum Islam oleh Mustafa Zarqa dibagi dalam beberapa periode, yaitu:
(1) periode risalah, yaitu semasa hidup Rasulullah SAW;
(2) periode al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah besar/utama) sampai pertengahan abad pertama Hijriah;
(3) dari pertengahan abad pertama Hijriah sampai permulaan abad kedua Hijriah;
(4) dari awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat Hijriah;
(5) dari pertengahan abad keempat sampai jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ketujuh Hijriah;
(6) dari pertengahan abad ketujuh sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah (Kodifikasi Hukum Perdata Islam) di zaman Turki Usmani (Kerajaan Usmani/Ottoman) yang diundangkan tanggal 26 Syakban 1293; dan
(7) sejak munculnya Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah sampai pada zaman modern.
Periode Risalah. Periode semasa hidup Rasulullah SAW. Pada periode ini fikih masih dipahami sebagai segala yang dikandung oleh Al-Qur’an dan hadis, yaitu mencakup persoalan akidah, ibadah, muamalah, dan adab.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum ad-Din menyatakan bahwa fikih di zaman awal (masa Rasulullah SAW) mengandung ilmu yang menuju jalan akhirat, dengan didasarkan pada surah at-Taubah (9) ayat 122 yang berarti:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Kalimat indzar (peringatan dengan kabar yang menakutkan) menurut Imam al-Ghazali hanya menyangkut permasalahan akhirat, bukan permasalahan dunia. Kemudian ia juga mendasarkan pendapatnya dengan surah al-A‘raf (7) ayat 179 yang berarti: “…Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami….” Hati tidak dipergunakan memahami makna-makna iman kepada Allah SWT dan segala yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya.
Dengan demikian Imam al-Ghazali melihat bahwa permasalahan primer dari fikih tersebut adalah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang akhirat, sedangkan fikih yang berkaitan dengan masalah muamalah hanyalah masalah yang sekunder atau tambahan.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa fikih di zaman Rasulullah SAW belum terbagi dalam bidang-bidang tertentu, tetapi fikih mencakup segala yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis. Terciptanya hukum dalam berbagai masalah di waktu itu dapat melalui pertanyaan para sahabat tentang suatu peristiwa, yang jawabannya didapat dari wahyu Allah
SWT atau melalui sunah Rasulullah SAW. Dalam kesempatan lain Allah SWT juga menurunkan wahyu-Nya dalam rangka memberikan tuntunan bagi keadaan masyarakat saat itu, atau juga berupa teguran, perintah, dan sebagainya. Dari peristiwa-peristiwa inilah nantinya muncul hukum-hukum yang terperinci dari peristiwa yang ada. Dengan demikian rujukan untuk menentukan hukum di waktu itu hanya Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW.
Periode al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Semasa Rasulullah SAW hidup, para sahabat belum memikirkan secara serius permasalahan-permasalahan hukum karena beban ini seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW sebagai Sahib at-tasyri‘ (pemegang syariat).
Mereka hanya mendengarkan, mengikuti, dan melaksanakan segala yang bersumber dari Rasulullah SAW serta menyampaikan keluhan-keluhan hukum kepada Rasulullah SAW. Para sahabat pada dasarnya tidak berani melakukan ijtihad sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia sehingga tempat bertanya tentang hukum suatu masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunah tidak ada lagi, maka mulailah para sahabat memberanikan diri untuk melakukan ijtihad.
Melakukan ijtihad setelah meninggalnya Rasulullah SAW merupakan panggilan sejarah yang tak dapat dihindari, yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
(1) peristiwa yang terjadi semakin banyak, sementara Rasulullah SAW yang selama ini menjadi sumber rujukan hukum mereka tidak ada lagi dan
(2) masyarakat sudah heterogen dengan adanya penaklukan-penaklukan Islam ke luar Semenanjung Arabia, sehingga muncul di tengah-tengah umat Islam hukum dan kebudayaan baru yang kesemuanya ini mendorong para sahabat untuk melakukan ijtihad.
Setiap menghadapi permasalahan yang muncul, pertama kali mereka berusaha untuk menemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an. Jika mereka tidak dapati dalam Al-Qur’an, mereka meneliti hadis-hadis Nabi SAW.
Apabila dalam hadis Nabi SAW juga tidak ada jawabannya, maka mereka melakukan ijtihad dengan tetap berpegang pada prinsip pokok yang ditinggalkan Rasulullah SAW. Dengan demikian bermunculanlah hasil ijtihad para sahabat dalam berbagai permasalahan umat. Namun, di masa ini fikih belum merupakan bidang ilmu yang terkodifikasi.
Perlu dicatat bahwa pada masa inilah dimulainya penggunaan akal (ar-ra’yu) dan kias dalam mencarikan jawaban hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Beberapa ijtihad telah dilakukan oleh Umar bin Khattab, khalifah yang sangat mengagumkan dalam menjawab permasalahan umat dan berorientasi untuk kemaslahatan umat itu sendiri.
Periode Pertengahan Abad Pertama sampai Awal Abad Kedua Hijriah. Pada masa Usman bin Affan menjabat sebagai khalifah, para sahabat mulai berpencar ke berbagai daerah. Dengan berpencarnya sahabat ini di berbagai daerah, yang sistem sosial masyarakatnya berbeda pula, maka semakin banyak hasil ijtihad yang muncul sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Di Irak, Ibnu Mas‘ud berperan sebagai sahabat yang menjawab berbagai masalah yang dihadapinya di sana, sementara sistem masyarakat Irak berbeda dengan yang ada di Madinah dan Mekah.
Di samping itu di Irak telah terjadi percampurbauran etnis antara Arab dan Persia (Iran), yang membuat penanganan permasalahan di Irak akan berbeda dengan yang ada di Madinah dan Mekah yang memiliki masyarakat yang homogen.
Dalam berijtihad, Ibnu Mas‘ud mengikuti cara-cara yang telah dilakukan Umar bin Khattab, yang dikenal lebih berorientasi pada kepentingan umat dan kemaslahatan mereka, tanpa terlalu terikat dengan teks-teks (arti harfiah) Al-Qur’an dan sunah. Dengan demikian penggunaan nalar sangat dominan dalam berijtihad. Dari sinilah mulai munculnya madrasah atau aliran Ahlurra’yi di Irak.
Sementara itu di Madinah fikih dikembangkan oleh Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar bin Khattab, serta di Mekah oleh Ibnu Abbas dan para sahabatnya. Fukaha kedua kota ini nantinya mempunyai metode yang sama dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, yaitu berusaha untuk menentukan hukum tersebut melalui Al-Qur’an dan sunah.
Mereka senantiasa mencarikan hadis dan berpegang kuat pada hadis dalam menetapkan hukum. Hal ini dimungkinkan untuk kedua kota tersebut karena memang di kedua kota ini hadis-hadis banyak tersebar, di samping masyarakatnya homogen, sehingga penanganan permasalahan yang timbul tidak sekompleks permasalahan yang dihadapi Ibnu Mas‘ud di Irak. Cara-cara yang ditempuh oleh para sahabat di Madinah dan Mekah inilah yang nantinya merupakan cikal bakal bagi munculnya aliran Ahlulhadis.
Murid-murid Ibnu Mas‘ud, Zaid bin Sabit, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas tersebut nantinya juga bertebaran di kota-kota lain, misalnya Sa‘id bin Musayyab di Madinah, Ata bin Abi Rabah di Mekah, Ibrahim an-Nakha‘i di Kufah, Hasan Basri di Basrah, Makhul di Syam (Suriah), dan Tawus di Yaman. Murid-murid para sahabat ini (yang dikenal dengan tabiin) juga mengembangkan fikih-fikih baru sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi di kota tempat mereka tinggal yang satu sama lain juga berbeda.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa fikih semakin berkembang sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapi. Penggunaan ar-ra’yu (akal) pada masa ini dalam berijtihad, seperti cara kias, istihsan, dan istislah (membetulkan), semakin luas dan mulailah terbentuk mazhab-mazhab fikih.
Mazhab fikih yang terbentuk ini mengikuti nama-nama para tabiin yang menjadi pemegang fatwa hukum di negeri tersebut. Misalnya, dalam sejarah perkembangan fikih dikenal adanya istilah fikih Auza dan fikih Ibrahim an-Nakha‘i.
Di samping itu fikih juga sudah merupakan salah satu cabang ilmu yang mendapat perhatian para ulama di waktu itu, yang menjadi dasar kesempurnaan ilmu fikih di zaman sesudahnya di tangan imam mazhab yang empat (Imam Malik, Imam Syafi‘i, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali).
Periode Awal Abad Kedua sampai Pertengahan Abad Keempat Hijriah. Pada periode ini fikih berkembang dengan pesat setelah pada periode sebelumnya diletakkan dasardasarnya oleh para tabiin. Periode ini ditandai dengan munculnya imam-imam mazhab yang terdiri atas Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali.
Pada awal periode ini terjadi perdebatan sengit antara Ahlulhadis dan Ahlurra’yi. Pada akhirnya pertentangan ini dapat mereda tatkala ar-ra’yu dapat dianggap sebagai salah satu cara dalam mengistinbatkan hukum fikih melalui batasan-batasan dan kaidah-kaidah yang ditentukan Ahlurra’yi, sehingga dengan kaidah-kaidah yang mereka buat tersebut mereka terhindar dari tuduhan menetapkan hukum dengan hawa nafsu yang terlepas dari dalil syar‘i.
Imam Abu Zahrah (ahli usul, fikih, dan kalam) mengemukakan bahwa perdebatan ini tidak berlangsung lama karena para murid imam mazhab melakukan interaksi dengan mazhab lainnya, seperti yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
Sahabat Imam Hanafi, yang sengaja mendatangi Hijaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik; Imam Syafi‘i menemui Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani ke Irak untuk mengetahui secara jelas fikih ahli Irak.
Imam Abu Yusuf, sahabat Imam Hanafi, berusaha untuk mencari hadis-hadis yang mendukung pendapat Ahlurra’yi. Oleh sebab itu terlihat banyak kitab fikih dari kedua kelompok ini yang dipenuhi oleh hadis dan ar-ra’yu.
Pada awal periode ini juga dilakukan pembukuan kitab fikih yang dilakukan pada setiap mazhab, di antaranya kitab al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, kitab al-Umm oleh Imam Syafi‘i, dan kitab fikih yang disusun oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Imam Hanafi). Demikian juga halnya dengan ilmu usul fikih; yang paling awal adalah buku ar-Risalah karangan Imam Syafi‘i.
Perkembangan-perkembangan yang ada ini juga membawa dampak yang lebih luas. Fikih tidak saja diistinbatkan dan disusun sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat dan sesuai dengan kehendak perkembangan zaman, tetapi juga muncul hukum fikih yang membahas tentang berbagai kemungkinan dalam masalah-masalah fikih yang belum terjadi.
Periode Pertengahan Abad Keempat sampai Pertengahan Abad Ketujuh Hijriah. Pada periode ini terlihat gerakan ijtihad mulai melemah. Para fukaha lebih memfokuskan diri mereka untuk melakukan pengkajian-pengkajian terhadap pendapat-pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing.
Kajian tersebut merupakan syarah (keterangan, penjelasan, ulasan), tanqih (penerapan), dan tahqiq (penetapan) terhadap buku fikih dalam mazhab mereka masing-masing. Hal ini dilakukan para ulama tersebut karena adanya suatu anggapan bahwa tidak ada lagi ulama yang memenuhi syarat-syarat mujtahid pada periode itu.
Kalaupun ada, mereka itu hanya merupakan mujtahid fi al-madzhab (mujtahid dalam aliran mazhab), bukan mujtahid mustaqill (mujtahid yang berdiri sendiri). Lebih dari itu ada di antara ulama mazhab tersebut yang mengemukakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Abu Zahrah mengemukakan bahwa penyebab munculnya pernyataan tertutupnya pintu ijtihad antara lain adalah:
(1) munculnya ta‘assub al-madzhab (fanatik buta pada satu mazhab), yang mengakibatkan kejumudan (kebekuan berpikir) bagi para murid imam mazhab itu sendiri;
(2) dorongan pihak penguasa bagi para hakim (kadi) untuk memutuskan perkara dengan berpegang pada pendapat satu mazhab saja yang disetujui khalifah; dan
(3) pembukuan pendapat-pendapat mazhab tertentu pada satu buku yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku tersebut sebagai pedoman, sehingga membuat aktivitas ijtihad tidak ada lagi.
Jika pada periode sebelumnya para mujtahid menjawab permasalahan yang timbul melalui ijtihad yang mereka lakukan, maka dengan dibukukannya pendapat para imam, mereka merasa cukup untuk mencarikan jawabannya melalui buku tersebut dengan tidak melakukan ijtihad sendiri.
Implikasi lainnya adalah munculnya taklid terhadap mazhab tertentu. Walaupun ada ijtihad yang dilakukan oleh beberapa ulama, tetapi ijtihad itu tidak lebih dalam bentuk menarjih pendapat yang ada dalam mazhabnya.
Pada masa ini juga terjadi persaingan ketat antara pengikut mazhab. Dalam persaingan ini kadang-kadang sifat subjektivitas lebih menonjol daripada sifat ilmiah dan berbeda dengan sikap imam mazhabnya.
Periode Pertengahan Abad Ketujuh Hijriah sampai Muncul Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah (1293 H/1876 M). Jika pada periode sebelumnya aktivitas ijtihad sudah mulai mundur yang mengakibatkan kejumudan dan taklid, maka pada periode ini fikih semakin memperlihatkan wajah kekakuannya.
Ijtihad sudah semakin tertutup dan penyelesaian permasalahan yang muncul tinggal merujuk pada kitab mazhab yang ada saja, tanpa dibahas dan didiskusikan lagi. Pencapaian maksud-maksud syarak (maqashid asy-syar‘iyyah) dan orientasi pada kepentingan umat yang pada awal munculnya fikih banyak menjadi sandaran pertimbangan hukum, pada periode ini tidak menjadi pertimbangan lagi.
Pembahasan fikih oleh para ulama terbatas pada pemberian syarah, hasyiyyah (catatan tertulis di tepi lembaran buku), dan takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan) terhadap kitab induk dalam mazhab masing-masing. Oleh sebab itu kitab yang ditulis pada masa ini lebih banyak bersifat penjelasan serta perluasan pemahaman terhadap apa yang ditulis oleh pengarang terdahulu.
Oleh karenanya, satu buku bisa disyarah oleh lebih dari dua orang. Kalimat singkat yang terdapat dalam kitab induk bisa disyarah sampai berhalaman-halaman. Kemudian syarah ini disyarah lagi oleh yang lainnya, dan seterusnya.
Apa yang dikenal di kalangan fukaha dengan istilah syarah, hasyiyyah, dan takrir pada umumnya dimaksudkan sebagai penjelasan lafal yang tertulis dalam kitab tersebut, tanpa mencoba mengungkap tujuan ilmiah yang dikandung kitab itu.
Hal ini pada akhirnya membuat kreativitas ilmiah secara mandiri yang sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakat tidak lagi muncul. Namun, apa yang dilakukan para fukaha pada periode ini tak lepas dari niat mempermudah pemahaman kitab induk tersebut.
Ada beberapa hal penting dalam perkembangan fikih pada periode ini. Pertama, berkembangnya aktivitas pembukuan fatwa hukum resmi dengan menyusunnya pada bab-bab tertentu. Kitab fatwa tersebut biasanya disusun dalam bentuk tanya jawab, yang jawaban tersebut biasanya disandarkan pada mazhab tertentu.
Kedua, munculnya kehendak penguasa dalam menentukan sebagian hukum fikih, seperti yang dilakukan oleh penguasa Usmani tentang larangan menerima gugatan perkara jika telah melalui rentangan waktu tertentu (dalam istilah hukum: kadaluarsa).
Hal ini terjadi pada kasus-kasus peradilan dan diatur tersendiri oleh penguasa Usmani pada waktu itu. Kehendak penguasa untuk menerapkan hukum-hukum tertentu atau penguasa ikut campur dalam menentukan pilihan hukum yang akan diterapkan peradilan merupakan warna lain dari fikih pada periode ini.
Ketiga, munculnya usaha pengkodifikasian hukum pada akhir periode ini dalam bentuk undangundang sebagai pengganti hukum fikih Mazhab Hanafi yang merupakan mazhab resmi Turki Usmani. Usaha ini dilakukan setelah mempertimbangkan perkembangan-perkembangan baru dan pengaruh hukum-hukum Eropa, sehingga muncullah hukum perdata resmi Turki Usmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah pada 26 Syakban 1293.
Periode Munculnya Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah sampai Periode Modern. Mustafa Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri fikih Islam pada masa ini.
Pertama, munculnya kodifikasi fikih sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu yang terhimpun dalam Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah yang khusus memuat hukum-hukum mengenai muamalah, yang dalam istilah hukum positif disebut dengan hukum perdata.
Sebelumnya, yang menjadi pegangan resmi Kerajaan Usmani adalah fikih Hanafi. Namun fikih Hanafi itu sendiri terdiri atas berbagai pendapat sesuai dengan yang dikemukakan oleh ulama Mazhab
Hanafi itu sendiri, sehingga sulit dilakukan pemilihan hukum mana yang akan diterapkan dari pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Oleh sebab itu diperlukan kesatuan hukum yang akan dijadikan pedoman dan sekaligus diterapkan di kerajaan, sehingga muncullah pemikiran kodifikasi hukum ini, walaupun sumber utamanya adalah Mazhab Hanafi.
Pendapat yang dipilih dalam Mazhab Hanafi ini adalah pendapat yang lebih dekat dengan kepentingan masyarakat pada masa itu. Dengan usaha kodifikasi hukum ini, maka para praktisi hukum tidak perlu berijtihad lagi untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan.
Kedua, semakin meluasnya usaha untuk melakukan kodifikasi hukum; bukan saja hukum perdata, tetapi juga hukum pidana, hukum acara, dan hukum administrasi negara. Namun yang erat hubungannya dengan fikih Islam hanyalah hukum perdata.
Hukum-hukum lain tersebut sudah mulai bersumber dari hukum Barat. Dalam hukum perdata tersebut terkandung tiga hal, yaitu undang-undang yang mengatur tata niaga/ perdagangan, undang-undang pertanahan, dan hukum acara perdata.
Meluasnya usaha kodifkasi ini dipengaruhi antara lain oleh meluasnya hubungan ekonomi dalam dan luar negeri, kecenderungan penguasa untuk mengikat berbagai bentuk tindakan hukum, transaksi tanah dan lain sebagainya dengan tata administrasi yang baik dan rapi, dan kecenderungan penguasa ikut campur dalam masalah-masalah hukum dalam mengatur segala segi kehidupan masyarakat.
Dengan demikian ada dua bentuk kodifikasi hukum pada waktu itu, yaitu kodifikasi bidang materi (seperti hukum perdata dan hukum pidana) dan kodifikasi bidang nonmateri, yaitu yang menyangkut proses penyelesaian perkara sejak pengajuan gugatan sampai penetapan vonis oleh hukum, yang disebut dengan hukum acara.
Ketiga, munculnya usaha untuk menerapkan materi hukum tanpa terikat pada salah satu mazhab saja dari mazhab yang empat, tetapi juga mulai mempertimbangkan mazhab-mazhab yang selama ini sering tidak diungkapkan, seperti mazhab Makhul, Hasan Basri, an-Nakha’i, Auza, dan Abi Laila. Dengan demikian setiap daerah tidak hanya membatasi diri pada satu mazhab tertentu. Hal ini nantinya juga banyak berpengaruh dalam penyempurnaan Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah tersebut.
Selanjutnya pada masa ini juga muncul kodifikasi hukum keluarga, yang dikenal dengan sebutan qanun al-ahwal asy-syakhsiyyah, yang materi hukumnya tidak terikat dengan pendapat mazhab tertentu saja.
Sebagian ulama pada periode modern ini berpendapat bahwa keseluruhan mazhab tersebut harus dipandang sebagai satu mazhab saja dalam syariat Islam, sedangkan mazhab-mazhab pribadi, seperti Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi‘i, dianggap sebagai salah satu pendapat dari keseluruhan syariat.
Dengan demikian, dalam melakukan kodifikasi hukum, para pakar hukum bebas untuk memilih pendapat mana yang lebih sesuai dengan zamanny dan memenuhi kepentingan umat. Pemikiran ini ingin menghilangkan ta‘assub madzhab (fanatisme kemazhaban) yang selama ini menjadi kendala ijtihad.
Dari berbagai periode fikih yang disebutkan di atas terlihat bahwa fikih dimulai dengan cara yang sederhana dan muncul untuk permasalahan-permasalahan praktis (amali), kemudian berkembang sampai pada pertimbangan yang sifatnya bukan praktis lagi, tetapi sudah merupakan suatu pengandaian, dalam arti menjawab permasalahan yang belum terjadi (yang dalam istilah fikih disebut taqdiri).
Hal ini berakibat pada terjadinya banyak perbedaan pendapat dalam fikih, kecenderungan mempertahankan pendapat, dan tertutupnya pintu ijtihad. Namun sebaliknya, yang disebut terakhir ini membuat khazanah kitab fikih semakin banyak, yang menunjukkan kemampuan ilmiah para pengarang waktu itu.
Pada periode modern kecenderungan-kecenderungan fikih lebih menjurus pada ketidakterikatan pada salah satu mazhab. Bahkan, pada periode ini ahli-ahli fikih menganggap pendapat salah satu mazhab tersebut sebagai salah satu pendapat saja yang tidak mutlak diikuti. Periode modern juga diwarnai oleh kecenderungan dan pertimbangan praktis, sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. al-Milkiyyah wa Nadzariyyah al-‘Aqd fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1974.
Baltaji, Muhammad. Manahij at-Tasyri‘ al-Islami fi al-Qarn ats-Tsani al-Hijri. Riyadh: Univ. Muhammad bin Saud al-Islamiyah, 1977.
Bek, Muhammad Khudari. Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: al-Babi al-Halabi, t.t.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Qadir, Ali Hasan Abdul. Nazrah ‘Ammah fi Tarikh al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr, 1962.
as-Sabuni, Abdur Rahman. al-Madkhal li DirÎsah at-Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Matba‘ah Riyadh, 1980.
az‑Zarqa’, Mustafa Ahmad. al‑Madkhal ila al‑Fiqh al‑‘Am: al‑Fiqh al‑Islami fi Taubihi al‑Jadid. Beirut: Dar al‑Fikr, 1968.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.
Nasrun Haroen