Fath Al-Makkah

Salah satu peperangan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW melawan kaum kafir  Quraisy Mekah adalah Fath al-Makkah (penaklukan kota Mekah) pada 8 H/630 M. Dalam perang ini, Nabi SAW mengerahkan pasukan sebanyak 10.000 orang, terdiri dari golongan Muhajirin dan Ansar.

Fath al-Makkah antara lain terjadi karena pada tahun 8 H/630 M pihak kafir Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyah, yaitu perjanjian gencatan senjata antara pihak Muhammad SAW dan kafir Quraisy yang ditandatangani pada Zulkaidah 6 (Maret 628). Dalam perjanjian ini disepakati bahwa kedua belah pihak tidak saling menyerang selama 10 tahun.

Gencatan senjata tersebut berisi beberapa ketentuan.

(1) Apabila ada seseorang dari golongan Quraisy yang menyeberang kepada Muhammad SAW tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka. Sebaliknya apabila seseorang dari golongan Muhammad SAW menyeberang kepada golongan Quraisy, tidak akan dikembalikan.

(2) Siapa saja dari bangsa Arab yang ingin mengadakan persekutuan dengan Muhammad SAW diperbolehkan, dan siapa pun dari mereka yang ingin mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan.

(3) Tahun ini Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya harus meninggalkan Mekah dan kembali ke Madinah, dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya. Mereka diperbolehkan memasuki kota dan tinggal tidak lebih dari tiga hari tiga malam di Mekah. Senjata yang boleh dibawa hanya pedang bersarung dan tidak diperkenankan membawa senjata lain.

Menurut Muhammad Husain Haekal (1888–1956), sejarawan Mesir, isi perjanjian ini merupakan suatu hasil politik yang bijaksana dan memiliki pandangan jauh ke depan. Perjanjian ini memberi pengaruh yang besar sekali terhadap masa depan Islam dan masa depan orang Arab.

Dengan perjanjian ini berarti untuk pertama kali Quraisy mengakui Muhammad SAW bukan sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang memiliki kedudukan sejajar dengan mereka, sekaligus diakuinya pula kedaulatan Islam.

Dengan perjanjian tersebut juga berarti adanya pengakuan dari kafir Quraisy bahwa muslimin pun berhak berziarah ke Ka’bah serta melakukan upacara-upacara ibadah haji, dan bahwa Islam adalah agama yang diakui sah sebagai satu agama di Semenanjung Arabia.

Selanjutnya, adanya gencatan senjata selama 10 tahun membuat pihak muslim merasa lebih aman dan tidak khawatir akan mendapat serangan Quraisy, sehingga jalan bagi penyebaran Islam menjadi lebih terbuka. Di dalam surah al-Fath (48) ayat 1–3, Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).”

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud “kemenangan” dalam ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa “kemenangan” tersebut adalah penaklukan negeri-negeri yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi, dan ada juga yang berpendapat bahwa pengertiannya adalah tentang Perjanjian Hudaibiyah.

Kebanyakan ahli tafsir mengikuti pendapat terakhir ini, di antaranya Ibnu Abbas, Ibnu Mas‘ud, dan az-Zuhri. Dalam ayat 2–3 surah ini juga diterangkan bahwa dengan terjadinya Perjanjian Hudai-biyah, berarti Allah SWT telah menyempurnakan nikmat-Nya yang tiada terhingga kepada Rasulullah SAW.

Nikmat­nikmat itu adalah:

(1) menutup kelemahan Nabi SAW sebelum dan sesudah terjadinya Perjanjian Hudaibiyah;

(2) tersebarnya agama Islam ke seluruh Semenanjung Arabia, bahkan ke beberapa daerah­ Kerajaan Romawi;

(3) membimbing Nabi SAW ke jalan yang lurus dan diridai-Nya;

(4) menolong Nabi SAW dari gangguan dan serangan musuh sehingga tidak satupun dari musuh itu dapat menyerang dan membunuhnya.

Pada saat gencatan senjata tersebut ditandatangani, pihak Khuza‘ah segera bergabung dengan Muhammad SAW sedangkan Bani Bakar bergabung dengan pihak Quraisy. Dengan bantuan dari Quraisy (salah seorang kepala dari persekutuan Bani Bakar), pihak Bani Bakar mengambil kesempatan pada 8 H/630 M untuk membalaskan dendamnya kepada pihak Khuza‘ah.

Berita ini kemudian disampaikan oleh wakil Khuza‘ah, Amr bin Salim, kepada Nabi SAW. Perbuatan Quraisy membantu Bani Bakar mengadakan penyerangan terhadap pihak Khuza’ah merupakan pengkhianatan terhadap perjanjian gencatan senjata. Karena itu, Nabi SAW berniat ingin menyerang Quraisy dan menyerbu Mekah sebagai pusat kekuatan mereka.

Berita tentang niat Nabi SAW ini didengar pihak Quraisy, sehingga mereka merasa bersalah. Untuk memperbaiki kesalahannya itu, pihak Quraisy kemudian mengutus Abu Sufyan untuk berunding dengan Nabi SAW di Madinah. Namun Nabi SAW telah mengetahui bahwa kedatangan Abu Sufyan bukan untuk mengakui kesalahannya melainkan ingin mengadakan pembaruan perjanjian.

Nabi SAW tidak ingin mengadakan perjanjian baru dan tetap bertahan dengan Perjanjian Hudaibiyah. Karena itu, Abu Sufyan disuruh pulang ke Mekah tanpa membawa hasil sesuai yang dikehendaki Quraisy. Pada saat itu, Nabi SAW menyerukan kepada para sahabatnya untuk siap berjihad menuju Mekah.

Bersama 10.000 pasukan, Nabi SAW memulai perjalanan jihad menuju Mekah. Sesampainya di Murrur Zahran, tiga orang mata-mata Quraisy tertangkap. Salah satu di antaranya adalah Abu Sufyan sendiri, namun kemudian ia masuk Islam.

Setelah itu, Abu Sufyan disuruh kembali ke Mekah oleh Nabi SAW dengan membawa berita bahwa Mekah akan diserang. Semua orang yang berada di sana akan diperangi, kecuali mereka yang masuk rumah Abu Sufyan atau tetap tinggal di rumah masing-masing dan menutup pintunya, serta mereka yang masuk ke masjid.

Sebelum memasuki kota Mekah, Nabi SAW terlebih dahulu membagi pasukannya menjadi empat bagian, yaitu satu pasukan dipimpin Zubair bin Awwam ditempatkan pada sayap kiri, dan diperintahkan agar memasuki Mekah dari sebelah utara; satu pasukan dipimpin Khalid bin Walid ditempatkan pada sayap kanan, dan memasuki Mekah dari arah selatan.

Satu pasukan yang terdiri dari orang Madinah dipimpin Sa‘d bin Ubadah dan memasuki Mekah dari sebelah barat; dan pasukan yang keempat dipimpin Abu Ubaidah bin Jarrah, ditempatkan di atas gunung Hindi (wilayah Mekah) dan memasuki Mekah dari arah itu. Semua pasukan diperintahkan agar tidak melakukan pertempuran kecuali dalam keadaan terpaksa.

Ketika semua pasukan Nabi SAW telah memasuki kota Mekah, ternyata mereka tidak mendapat perlawanan yang berarti, kecuali pasukan Khalid bin Walid yang memperoleh perlawanan dari orang yang paling keras memusuhi Nabi SAW, termasuk mereka yang melanggar Perjanjian Hudaibiyah dengan mengadakan serangan terhadap Khuza‘ah.

Kelompok ini dipimpin oleh Sofwan, Suhail, dan Ikrimah bin Abi Jahal. Setelah tidak ada perlawanan, Nabi SAW beserta para sahabatnya melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Selan­jutnya Nabi SAW menyuruh para sahabat menghancurkan berhala dan gambar berhala yang ada di dalam dan sekeliling Ka’bah.

Nabi SAW sendiri membacakan sebuah ayat Al-Qur’an:“Dan katakanlah, yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (QS.17:81).

Kemudian orang yang berkumpul di sekeliling Ka’bah dinyatakan bebas oleh Nabi SAW. Beberapa faktor yang mempermudah pasukan Nabi Muhammad SAW memasuki kota Mekah ini antara lain sebagai berikut.

(1) Kekuasaan dan pengaruh kaum muslimin telah meluas. Segenap penjuru kota Mekah seakan-akan telah terkepung oleh pengaruh kaum muslimin. Kabilah-kabilah penduduk bagian selatan Semenanjung Arabia telah menggabungkan diri pada kaum muslimin.

(2) Banyak tokoh Quraisy telah tewas, antara lain Abu Jahal, Utbah, dan Syaibah. Sementara itu, beberapa tokoh ulung menggabungkan diri kepada pihak Nabi SAW, seperti Khalid bin Walid dan Amr bin As.

(3) Banyak penduduk Mekah yang telah terpikat akan keberhasilan dan kemenangan umat Islam dalam peperangan, selain mereka juga tertarik pada ucapan talbiah (pujian kepada Allah SWT dengan menyebut labbaik Allahumma labbaik pada saat menjalankan ibadah haji atau umrah), tahlil (menyebut keesaan Allah SWT dengan menyebut la ilaha illa Allah), dan takbir (seruan Allahu Akbar) yang didengungkan kaum muslimin pada saat mengelilingi Ka’bah.

(4) Banyak di antara musyrik Mekah yang telah insaf dan merasakan kedurhakaan yang mereka perbuat selama ini. (5) Mereka menyadari bahwa hampir seluruh bangsa Arab telah menerima Islam, sehingga musuh Quraisy semakin banyak. Apabila suasana ketegangan ini terus berjalan, perniagaan mereka ke utara dan selatan tidak akan aman lagi.

Dengan jatuhnya kota Mekah dan tunduknya pihak Quraisy, berarti kekuasaan berhala telah lenyap dan agama Islam mulai berdiri tegak. Setelah berhala-berhala itu dibersihkan dari Ka’bah, Nabi Muhammad SAW meminta kepada Bilal untuk mengumandangkan azan dari atas Ka’bah. Kemudian, orang melakukan salat bersama-sama dan Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai imam.

Keesokan harinya, setelah pembebasan kota Mekah, ada seorang dari pihak Huzail yang masih musyrik dibunuh oleh Khuza‘ah. Atas kejadian ini Nabi Muhammad SAW marah. Dalam khotbahnya di hdapan orang banyak Nabi SAW bersabda,

“Wahai manusia sekalian! Allah telah menjadikan Mekah ini tanah suci sejak Ia menciptakan langit dan bumi. Ia suci sejak pertama, kedua, dan seterusnya hingga hari kiamat. Oleh karena itu, orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tidak dibenarkan mengadakan pertumpahan darah dan menebang pohon di tempat ini, kecuali untuk saat ini.”

Larangan inilah yang menjadikan Mekah kemudian dikenal sebagai “tanah haram”. Beberapa hari kemudian, kunci Ka’bah pindah ke tangan Nabi SAW, selanjutnya diserahkan kepada Usman bin Talha dan sesudah itu kepada anak-anaknya. Kunci ini tidak boleh dipindahkan kepada orang lain. Adapun pemeliharaan air zamzam pada musim haji dipercayakan kepada paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib.

Sekalipun kota Mekah telah dibebaskan dari berhala dan kekuasaan musyrik telah dilumpuhkan, masih ada beberapa kabilah di sekitar Mekah yang belum menyerah pada dakwah Nabi SAW, di antaranya kabilah Bani Syaiban di Nakhlah dan kabilah Hawazin, Saqif, Nasr, dan Jusyam di Hunain dan Ta’if.

Terhadap Bani Syaiban, Nabi SAW mengutus pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid. Setelah seruan menyerah tidak mereka indahkan, pasukan Khalid menyerang dan mereka dapat ditundukkan.

Adapun terhadap kabilah yang ada di Hunain dan Ta’if, karena mereka terdiri dari beberapa kabilah dan mempunyai pengikut yang banyak, Nabi SAW sendiri yang memimpin penaklukan kabilah tersebut. Dengan pasukan sejumlah 12.000 orang (10.000 terdiri dari orang yang bersama-sama Nabi SAW memasuki kota Mekah ditambah 2.000 orang Mekah yang telah masuk Islam) Nabi SAW mulai mengadakan penyerangan ke Hunain dan Ta’if.

Pada penyerangan kali ini pasukan Nabi SAW hampir mengalami kekalahan, namun berkat ketenangan Nabi SAW dan kegigihan pasukannya serta pengaruh seruan Abbas bin Abdul Muthalib untuk tetap bertahan, akhirnya musuh dapat ditaklukkan. Dengan kemenangan pasukan muslimin ini berarti seluruh kabilah yang ada di Mekah dan sekitarnya menyatakan memeluk Islam.

Daftar Pustaka

Abdul Wahid, Mustafa. as-Sirah an-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cet. XIV. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.
HAMKA. Sejarah Ummat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Ibnu al-Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar as-Sadir li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1385 H/1965 M.
al-Ma‘ruf, Ahmad bin Yahya bin Jar. Kitab Futuh al-Buldan. t.tp.: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah al-Qahirah, t.t.
Syalabi, Ahmad. at-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah al-Islamiyyah, terj. Jakarta:Pustaka al-Husna, 1990.

M Suparta