Secara etimologis fasiq berarti “keluar dari jalan kebenaran”, dan secara terminologis berarti “orang yang melakukan dosa besar” atau “terus-menerus melakukan dosa kecil”. Orang fasik sebenarnya percaya kepada Allah SWT, tetapi tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan perbuatan dosa.
Menurut pandangan aliran Muktazilah, orang yang demikian itu tidak dapat disebut mukmin dan tidak dapat pula dikategorikan sebagai orang kafir. Ia tidak dapat disebut mukmin karena telah melanggar prinsip keimanan dengan melakukan dosa besar.
Iman sebagai sifat baik dan terpuji tidak dapat dicampurkan dengan keburukan. Demikian pula ia tidak dapat disebut kafir karena ia telah mengikrarkan dua kalimat syahadat dan di balik perbuatan dosa besarnya ia masih mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Oleh kaum Muktazilah orang tersebut dipandang menduduki posisi antara mukmin dan kafir.
Orang serupa ini kalau meninggal dunia tanpa bertobat akan kekal dalam neraka, hanya siksaannya lebih ringan dari siksaan yang diterima oleh orang kafir. Posisi demikian mereka namakan al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Kaum Murji’ah memandang orang fasik tersebut masih mukmin sepenuhnya. Bagi mereka, orang yang masih memiliki iman di dalam dadanya tidak boleh dipandang sudah keluar dari kategori mukmin; mereka tetap dipandang sebagai mukmin sepenuhnya karena iman tidak berkurang oleh berkurangnya amal baik atau oleh karena seseorang berbuat dosa besar.
Adapun tentang balasannya di akhirat diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Akan tetapi sebagian dari mereka memandang bahwa balasan bagi orang yang fasik adalah neraka, tetapi ia tidak kekal di dalamnya. Ia akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya dan ada kemungkinan Allah SWT mengampuni dosanya sama sekali sehingga ia tidak masuk neraka.
Berdasarkan pendapat Abu Hasan al-Asy‘ari (pendiri aliran Asy‘ariyah), orang yang fasik tetap mukmin sebab imannya masih ada. Orang tersebut menjadi fasik karena ia telah melakukan dosa besar. Dalam hal ini al-Asy‘ari membantah kaum Muktazilah yang mengatakan bahwa orang yang fasik bukan mukmin dan bukan pula kafir.
Seandainya orang yang fasik bukan mukmin dan bukan pula kafir, berarti di dalam dirinya tidak ada kufur (kekafiran) ataupun iman. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu tidak mungkin pula orang yang fasik itu bukan mukmin dan bukan kafir.
Al- Ghazali, pemuka aliran Asy‘ariyah, dalam uraiannya tentang seseorang yang mengaku beriman dengan hatinya dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lidahnya tetapi ia tidak mengiringinya dengan amal, mengatakan bahwa orang tersebut tetap dipandang mukmin dan akan masuk surga setelah lebih dahulu ke neraka karena perbuatan buruk yang dikerjakannya.
Orang fasik tetap akan menikmati surga, tetapi karena dosanyalah ia terlebih dahulu diberikan siksaan neraka. Dalam hal ini al-Ghazali beralasan dengan hadis Nabi SAW, “Akan keluar dari neraka orang yang ada iman di dalam hatinya walaupun sebesar zarah” (HR. Bukhari dari Abu Sa‘id al-Khudri).
Pendapat al-Asy‘ari diperkuat oleh Ibnu Taimiyah dari kalangan aliran Salafiyah. Baginya, iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Orang yang fasik adalah orang yang telah berkurang imannya, tetapi bukan sudah tercabut sama sekali. Oleh sebab itu ia masih tetap dinamakan mukmin, walaupun imannya sudah berkurang.
Meskipun demikian, ia tidak pula boleh disebut sebagai orang kafir, karena ia tidak menyangkal perintah Tuhan dan ia tidak melakukan perintah itu bukan atas dasar keingkarannya pada perintah, tetapi hanya karena kondisi-kondisi lain.
Tentang kedudukan orang fasik dalam hukum Islam, jumhur (mayoritas) ulama memandangnya sebagai orang yang keluar dari kategori adil. Oleh sebab itu, ia tidak dapat dijadikan saksi dalam suatu perikatan ataupun dalam peradilan, sebab kesaksiannya tidak lagi sah.
Jumhur ulama menolak orang fasik menjadi saksi dengan dasar firman Allah SWT mengenai keharusan menjadi saksi yang adil, yakni dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 135, surah al-Ma‘idah ayat 8, dan surah al-Furqan (25) ayat 72.
Abu Yusuf al-Qadi (113 H/731 M–182 H/798 M), seorang rawi hadis, ahli fikih, dan hakim agung Baghdad, memiliki pendapat yang berlainan dengan pendapat jumhur ulama. Baginya, orang yang fasik dapat dijadikan saksi apabila suatu peristiwa yang disaksikannya dihadiri oleh orang banyak dan dia mempunyai muruah (harga diri).
Daftar Pustaka
al-Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. Kitab al-Luma‘. Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1929.
al-Jabbar, Abdul. Syarh al-Ushul al-Khamsah. Cairo: Maktabah Wahbah, 1965.
as-Salman, Abdul Aziz al-Muhammad. al-Kawasyif al-Jaliyah ‘an Ma‘ani al-Wasithiyyah. Jiddah: Riasat Idarat al-Buhus al-Ilmiyah wa al-Ifta’ wa ad-Da’wah wa al-Irsyad, 1982.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.
Yunasril Ali